Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Konferensi Heritage Toba: Kemasan dan Pendekatan Baru di New Normal-Sebuah Catatan

25 Oktober 2021   18:52 Diperbarui: 25 Oktober 2021   19:00 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarian tradisional Batak disuguhkan dalam acara konferensi | dokpri

Rabu, 13 Oktober 2021. Sebagai satu dari sepuluh penulis yang mendapatkan kesempatan mengunjungi Danau Toba, saya mengikuti sebuah acara resmi yang diadakan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Acara bertajuk "International Conference, Heritage of Toba: Natural & Cultural Diversity". Acara itu diadakan di TB Silalahi Center, disebut juga Museum Batak TB Silalahi yang pernah dianugerahi Cipta Award sebagai Museum Terbaik Indonesia 2011. 

Penulis di depan TB Silalahi Center | dokpri
Penulis di depan TB Silalahi Center | dokpri

Saya melihat bahwa konferensi ini seakan membuktikan kepada publik bahwa kita -- masyarakat, dengan dibimbing oleh pemerintah -- telah siap menghadapi new normal dan beradaptasi dengan berbagai hal baru demi keberlangsungan aktivitas dalam berbagai sektor. Baik dalam sektor pariwisata secara khusus , maupun secara umum (atau malah lebih khusus) dalam kaitannya dengan sektor MICE: meetings, incentives, conventions, exhibitions.

Pembukaan konferensi setelah kata sambutan dari Mas Menteri Sandiaga Uno lewat daring | dokpri
Pembukaan konferensi setelah kata sambutan dari Mas Menteri Sandiaga Uno lewat daring | dokpri

Ada banyak hal yang saya temui dalam acara ini yang memperkuat argumentasi saya itu.

Kesan pertama yang paling terlihat adalah acara ini dilakukan secara kombinasi: luring dan daring, off-line dan on-line. Istilahnya hybrid. Itulah kenapa sebagai konferensi bertaraf internasional, saya tidak melihat terlalu banyak tamu, terutama tamu dari luar negeri. Namun, saya justru mengapresiasinya, karena dengan begitu banyak peserta yang ikutan terlibat dan dalam waktu bersamaan secara daring bisa mengurangi mobilitas dan membantu mencegah meluasnya covid serta tidak lupa....mengurangi jejak karbon. Cakep.

Para peserta offline yang berada di lokasi | dokpri
Para peserta offline yang berada di lokasi | dokpri

Rasanya senang saja melihat acara hybrid itu. Tidak hanya para peserta, para pembicara pun ada yang datang di lokasi acara dan ada juga -- mungkin sebagian besar - mengisinya lewat saluran internet. Demikian pula para petinggi yang diskedulkan memberi kata sambutan, tidak perlu hadir secara fisik di tempat acara. 

Dengan demikian, membuat beliau-beliau yang super sibuk itu bisa memanfaatkan waktu lebih optimal, dan tidak habis di perjalanan. Dengan memberi sambutan secara online pun sebenarnya akan mengurangi alasan pejabat untuk mewakilkan sambutannya kepada bawahannya. 

Mas Menteri memberikan sambutan secara daring | tangkapan layar Komed
Mas Menteri memberikan sambutan secara daring | tangkapan layar Komed

Contoh itu diperlihatkan oleh Menteri Pariwisata, Pak Sandiaga Uno, yang memberi sambutannya secara daring. Saya tidak tahu apakah itu daring langsung, ataukah beliau sudah merekam sambutannya sebelumnya. Tapi, apapun itu, kehadiran beliau yang tidak diwakilkan harus diapresiasi karena dirasakan sebagai bentuk engagement kepada para hadirin.

Hal menarik kedua yang cukup jelas terlihat adalah adanya upaya pelaksanaan protokol kesehatan yang sudah menjadi semakin lumrah dan diterima oleh semuanya. Terdapat satu tenda khusus untuk para peserta untuk diswab sebelum masuk ruangan. Para peserta tanpa disuruh pun selalu memakai masker. Tempat duduk pun dibuat berjarak. Tidak ketinggalan juga satu hal menarik: acara digelar di ruang semi terbuka.

"Pertemuan tidak harus selalu di ruang tertutup".

Suasana lokasi, konferensi di sebelah sana, pameran sebelah sini | dokpri
Suasana lokasi, konferensi di sebelah sana, pameran sebelah sini | dokpri

Jika selama ini acara sebuah konferensi internasional itu diselenggarakan di ruang auditorium hotel megah, acara Konferensi Heritage Toba ini dilakukan di sebuah museum. "Pelataran" Museum. Disebut pelataran, karena lokasinya di luar ruangan utama museum. 

Tapi diberi tanda kutip karena sebenarnya ini juga masih bagian dari museum. Lokasi berada di lantai bawah museum yang terpisah dari gedung utama. Ruangan terbuka, dengan tiga sisi nya bebas, tidak berdinding. Dengan demikian, udara, angin dan sinar matahari pun akan bebas berlalu lalang. Saya pikir ini ide yang oke sekali, karena tentunya ini pun sudah mengurangi jejak karbon secara signifikan: menggunakan cahaya alami dan pendingin ruangan alami. Dan selain itu, view nya tuh ajib banget. Masya Allah indahnya. 

Spot favorit penulis | dokpri
Spot favorit penulis | dokpri

Terutama satu spot yang saya sukai, di sayap kiri jika menghadap panggung. View ke Danau Toba dengan air hijau kebiruan, ditingkahi langit yang biru diselang-seling awan putih. Belum lagi latar depannya hijau pepohonan dan sawah, dengan sudut kiri muncul bangunan gereja dengan menaranya. Picturesque sekali. Spot itu pada saat disirami cahaya mentari akan sangat bagus untuk berfoto.

Penulis dengan produk UMKM yang dibeli dengan voucher digital | dokpri
Penulis dengan produk UMKM yang dibeli dengan voucher digital | dokpri

Hal lain yang sepertinya baru kali ini dilakukan adalah acara konferensi berdampingan dengan pameran produk-produk UMKM. "Tidak ada yang baru ah". Memang sih kalau dilihat dari sisi fisik: konferensi dan pameran berada di satu lokasi hanya dipisahkan sekat tipis. 

Tapi yang sangat menarik adalah para peserta konferensi  "dipaksa" untuk membeli produk-produk peserta pameran setelah "dibekali" voucher berbelanja berupa QR code yang langsung dikirimkan ke hape masing-masing peserta. Saya tidak menggali lebih jauh darimana sumber dana yang diberikan itu -- karena rombongan pemenang tulisan Toba mendapatkannya secara cuma-cuma, namun saya pikir bahwa itu berasal juga dari uang pendaftaran para peserta. 

Tapi yang saya kagumi adalah bagaimana teknis yang dilakukannya sehingga tiap peserta harus berbelanja di beberapa gerai, tidak menghabiskan voucher hanya di satu gerai saja. Ada maksimum pembelian menggunakan voucher itu, dan sisanya menggunakan uang terpisah, baik itu berupa cash atau debit. Saya pikir ide seperti ini bagus sekali. UMKM akan bergairah untuk mengikuti pameran-pameran yang berhasil guna buat mereka.

Gastronomi, salah satu wisata tematik | dokpri
Gastronomi, salah satu wisata tematik | dokpri

Di luar beberapa pendekatan baru yang inovatif di atas, saya pun melihat berbagai hal menarik dari sisi konten konferensi, baik itu dari paparan para narasumber ataupun kesan baru tentang Batak yang muncul saat itu. Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraaan Kegiatan Kemenparekraf Ibu Rizki Handayani dalam sambutan tanpa teks-nya menggarisbawahi bahwa kita harus melihat wisata Danau Toba dengan cara pandang baru. 

Wisata Danau Toba itu bukan wisata kaleng-kaleng. Sudah menjadi wisata internasional dengan kelokalan yang kuat. Juga beliau mengamanatkan arah baru pendekatan wisata berupa wisata tematik. "Karena milenial itu butuh experience". Alih-alih mainstream "Wisata 3 hari 2 malam mengelilingi Toba", wisata ke depan akan digalakkan berdasarkan tema. "Exploring Ulos 3d2n", misalnya. Atau tema gastronomi dengan mengeksplor dan mencicipi masakan-masakan khas Toba, sambil memasak dan langsung menginap, tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat langsung. "Jadinya, wisatanya itu ada kontennya".

Bu Rizki pun menyentuh satu topik yang sepertinya sensitif di masa lalu. Tentang wisata halal. Beliau kembali menekankan program ini dan mengklarifikasi bahwa wisata halal bukanlah mengislamkan wisata di Toba, yang notabene mayoritasnya bukan Islam. Wisata halal bukanlah seperti melarang lapo atau warung menjual tuak atau BPK -- Babi Panggang Karo, tetapi hanya sebagian kecil usaha menyediakan spot wisata seperti rumah makan yang halal sehingga wisatawan muslim tidak mengalami kesulitan untuk mencari makanan yang halal. Apalagi sebenarnya banyak wisatawan dari Timur Tengah dan Malaysia yang sebenarnya sangat tertarik untuk berkunjung ke Danau Toba.

Kudapan tradisional yang disuguhkan | dokpri
Kudapan tradisional yang disuguhkan | dokpri

Sambil mendengarkan paparan dari beberapa ahli, saya dan para peserta pun bisa mencicipi berbagai makanan khas di sana. Itu hal yang menarik bagi saya yang baru pertama kali ini ke Danau Toba. Ada roti ketawa, kacang sihobuk,roti ganda siantar, ombus-ombus, pizza andaliman. Belum lagi pada saat break makan siang, kita menikmati masakan khas: mujair arsik, pecal dan ayam napinadar.  Tentunya napinadar yang dibuat halal, tanpa menggunakan darah seperti umumnya napinadar original. 

Makan siang bersama | dokpri
Makan siang bersama | dokpri

Menarik juga saat makan, kita duduk di kursi dengan meja yang membentuk huruf "u". Bukan meja bundar atau kursi tanpa meja. Konon, itulah cara masayarakat Batak makan bersama saat resepsi. Tidak ketinggalan pula melihat hal menarik, ketika satu orang dewasa -- sepertinya bule yang sudah lama sekali tinggal di Toba -- berkeliling sambal menawarkan minuman dari botolnya. Anggur. Dan yang berkenan, bisa menggunakan gelas kosong atau bahkan botol air mineral kosong untuk menerima sebagian minuman itu. Menarik.

Vicky Sianipar dalam sesi diskusi | dokpri
Vicky Sianipar dalam sesi diskusi | dokpri

Terakhir yang menjadi catatan adalah konten diskusi ilmiah konferensi itu. Dari berbagai keahlian para pembicara yang membagikan insight-insightnya, saya sangat tertarik dengan apa yang diulas Vicky Sianipar. Sebelum menjejakkan kaki di Silangit, saya sama sekali tidak mengenal nama itu. Padahal dia adalah musisi terkenal di Toba, dan tanah Batak. Tentu saja, karena dia adalah composer, musisi dan penyanyi lagu-lagu Batak. 

Beliau juga terkenal di mancanegara, dengan music dan aransemen yang menarik. Kenapa saya tertarik? Karena Vicky membawakan topik sederhana tapi mendalam dan mengena dengan bahasa mudah dicerna dan muda. Dia menceritakan proses kreatif membuat Video tentang Danau Toba yang mengesankan. 

Video yang dipakai sebagai sumber promosi resmi Danau Toba. Beliau menekankan bahwa apa yang dia lakukan adalah membuat kemasan yang berbeda dari berbagai produk seni sehingga bisa diterima khalayak lebih luas. Vicky memperdengarkan beberapa lagu-lagu tradisional Batak yang aransemennya dia modifikasi sehingga lebih bisa diterima anak muda, tanpa meninggalkan esensi dari music tersebut. 

Vicky juga membagikan beberapa testimoni pendengar musiknya yang kaget ketika sekonyong-konyong anaknya yang usia milenial bertanya banyak hal tentang musik Batak, penyanyi Batak dan bahkan belajar Bahasa Batak. Itu bisa jadi karena musik yang kemasannya telah diperbaharui Vicky bisa masuk dan diterima oleh generasi milenial. Dengan cara itulah Vicky berperan serta dalam menjaga budaya Batak.

Penulis dengan kemasan anak muda. Eaaa | dokpri
Penulis dengan kemasan anak muda. Eaaa | dokpri

Ah, betul. Saya melihat bahwa KEMASAN itu sangat penting. Kemasan adalah pintu gerbang. Etalase. Dan saya pikir, Konferensi International Heritage Toba yang saya hadiri itu sejatinya mengangkat hal itu.

KEMASAN ADALAH KOENTJI!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun