Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Backpakeran: Kesederhanaan untuk Zero Emisi

23 Oktober 2021   17:56 Diperbarui: 23 Oktober 2021   17:59 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Backpackeran ke Samosir menggunakan kendaraan umum KBT dari Balige ke Parapat. Mengurangi emisi, menambah emosi.  Adrenaline rush. | Foto: dokpri

Kadang ya saya tuh kesal banget kalo ada teman atau siapa lah yang suka mengomentari aktivitas saya: “Inget loh, kita harus mengurangi jejak karbon”. 

"Apa sih ai kamu téh. Dikit-dikit jejak karbon. Dikit-dikit sayangi bumi. Dikit-dikit global warming. Deuh. Terlalu idealis, bro. Terlalu mengawang-awang, sis. Tidak down to earth", gitu pengen saya komentar. Apaan sih seluruh kegiatan saya, sebagai pribadi, harus disangkutpautkan dengan jejak karbon segala? Ngerti jejak karbon juga kagak. Meski maksudnya benar, lah, bahasanya ketinggian.

Eh, itu perasaan saya, loh. Gak usah dinyinyiri.

Tapi….ada yang merasa seperti yang saya alami gak?

Zero emission? Ngerti ora, son?

Ya ngerti-ngerti dikit lah. Seperti halnya commission itu adalah komisi, jadi emission itu adalah emisi. 

Lah, emisi itu sendiri sebenarnya apa? Langsung deh gugling.

Emisi berasal dari kata Bahasa Inggris:  “emit”. Google menerjemahkannya sebagai “memancarkan”. Sinonimnya dalam Bahasa Inggris adalah “radiate”. 

Lalu apa yang dipancarkan?

Karbon. 

Emisi dan laposan ozon | Foto: kompas.com
Emisi dan laposan ozon | Foto: kompas.com

Tepatnya “zat berupa gas yang dihasilkan dari aktivitas pembakaran senyawa-senyawa yang mengandung karbon”. Kasarnya bolehlah disebut gas buangan. 

Paling gampang dibayangkan dengan gas buangan kendaran bermotor. Iya, gas yang keluar dari knalpot. Atau dari cerobong pabrik. Pokoknya yang membuat polusi udara, gitu. 

Ujungnya kan sering terdengar efeknya: menipiskan lapisan ozon. Ozon itu kan lapisan di atmosfir bumi, atau istilah gampangnya lapisan di langit. Fungsinya melindungi bumi dan makhluk di atasnya dari paparan sinar radiasi matahari. Kan sinar matahari itu tidak semuanya menguntungkan. 

Sebagian dari sinarnya yang merugikan dan berbahaya itu dipantulkan oleh lapisan ozon ke angkasa. Nah, kebayang kan kalo ozonnya menipis atau berlubang. 

Panas matahari bebas masuk ke bumi. Suhu bumi naik. Es kutub mencair. Laut menjadi naik. Kota pesisir pantai tenggelam. Yang di atas bumi kepanasan. Tanaman kering. Ya, persis lah dengan apa yang terjadi jika pintu kulkas terbuka: es mencair, air menggenang, tanaman busuk dan kering.

Nah, zero emission itu maksudnya itu. Mengurangi emisi, atau mengurangi buangan zat yang dihasilkan aktivitas pembakaran yang mengandung karbon ke tingkat NOL. Net zero emissions.

Zero emissions? Memang bisa gitu?

Ménékétéhé 

Teorinya harusnya bisa sih. Tapi prakteknya, ya tanyakan saja kepada Pemerintah yang punya kuasa tentang itu. Bukankah Pemerintah yang menetapkan target Net-Zero Emissions di tahun 2060? 

Tentunya Pemerintah lah yang harus lebih banyak berperan dalam merencanakan dan merealisasikan segala rencananya itu dengan matang agar hal itu tercapai. Peran Pemerintah yang kuat dan tegas dalam hal ini amat sangat diperlukan.


Contoh ketegasan pemerintah ini dapat dilihat seperti apa yang dilakukan oleh Kerajaan Bhutan yang sudah mencapai Carbon Neutral, bahkan justru Carbon Negative. Penjelasan dari Perdana Menteri Kerajaan Bhutan, Tshering Tobgay, di saluran youtube TED, membuka mata bahwa zero emission bisa dicapai jika Pemerintah secara bijak dan serius menerapkan aturan-aturan yang jelas dan terarah yang ramah lingkungan. Aturan yang kemudian diimplementasikan dengan nyata. 

Seperti halnya aturan yang dijadikan undang-undang bahwa 60 persen dari negaranya “under forest cover”. Di bawah kehijauan hutan. Kasarnya 60 persen dari negaranya penuh pepohonan.

Iya, itu sih Bhutan. Negara dengan luas seuprit, 38,500an km2 dan populasi sedikit. 750 rebu orang. Gak bisa lah dibandingkan dengan kita yang berluas 1.9 juta km2 dan berpenduduk lebih dari 270 juta.

Etapi, bisa lah kita meniru langkah-langkah positif Bhutan dengan segera. Mobil listrik? Bisa kan langsung diterapkan tanpa diisi intrik-intrik bisnis dan politik yang memakan waktu dan tenaga. Energi baru terbarukan? Seberapa serius dan maksimalkah kita memanfaatkan tenaga surya, tenaga angin dan tenaga ombak yang begitu berlimpah sebagai pengganti bahan bakar fossil yang boros karbon? Sementara itu, Undang-undang perlindungan hutan harus lebih serius ditegakkan.

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidenreng Rappang (Sidrap) | Foto: news.okezone.com
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidenreng Rappang (Sidrap) | Foto: news.okezone.com

Jadi beneran, target Nol Emisi di tahun 2060 bisa dicapai, jika dan hanya jika Pemerintah – tentu saja dengan para pihak terkait seperti parlemen dan lain-lainnya, serius dan bekerja bersama mewujudkannya. Sebagai warga negara, kita mah gampang. Tinggal patuh mengikuti arahan saja kok. Kita – sebagai warga negara – tanpa diminta pun sedang dan bahkan SUDAH mendukung Net-Zero Emission kok. Iya, dengan pola hidup keseharian: NGIRIT.

Zero Emmisions? Ngirit aja lagee…..

Gitu tuh tagline kalo diiklankan. Saya pikir, pola hidup ngirit selama ini sebagai pensiunan, telah mendukung target pemerintah itu kok. Pola hidup ngirit yang tanpa direncanakan memperhitungkan jejak karbon itu, dengan sendirinya ternyata telah membantu mengurangi emisi karbon. 

Padahal ya, pola hidup ngirit itu adalah mengikuti kearifan orang tua dulu. Ya, selain juga karena faktor lain: takdir. Uhuyy. Ngirit itu boleh lah disebut secara elegan sebagai pola hidup sederhana, low profile, tidak belagu. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan ngirit yang saya lakukan minggu kemaren yang jika diteliti ternyata telah cukup signifikan mengurangi jejak karbon. Itulah kegiatan wisata backpackeran.

Yap. Backpackeran di Pulau Samosir selama dua hari itu kalau ditelusuri ternyata sudah mendukung aksi ke arah zero emission juga ya. Yuk kita data jejak karbonnya. 

Backpackeran ke Samosir menggunakan kendaraan umum KBT dari Balige ke Parapat. Mengurangi emisi, menambah emosi.  Adrenaline rush. | Foto: dokpri
Backpackeran ke Samosir menggunakan kendaraan umum KBT dari Balige ke Parapat. Mengurangi emisi, menambah emosi.  Adrenaline rush. | Foto: dokpri

Saya mulai dari liburan ke Samosir itu dengan extend atau memperpanjang dua hari dari acara Konferensi Heritage Toba. Ngirit. Aji mumpung. Jadi, tidak bolak-balik menggunakan pesawat di hari yang berbeda. Itu kan sudah melaksanakan langkah mengurangi emisi karbon berupa “avoid” atau mencegah atau mengurangi perjalanan, utamanya lewat penerbangan. Pesawat udara itu ternyata menghasilkan dua persen emisi karbon per tahun globally.

Bukan backpackeran jika masih menggunakan mobil sewaan. Dari Balige ke tempat penyeberangan di Parapat, kita menggunakan KBT dong: angkot isi penuh – dua di depan, tiga-tiga di tiga baris belakang. 

Itu berarti kita sudah melaksanakan langkah mengurangi emisi karbon berupa “shift” atau beralih dari mobil sewaan selama acara konferensi menjadi angkutan umum masal selama backpackeran. Apalagi mobil angkotnya ber-AC alami. Ramah lingkungan, kan. 

Ya meski ada efeknya: ramah emisi, tidak ramah emosi: deg-degan, man. Ngeri jalannya ngebut, euy. Menurut sebuah referensi, emisi menggunakan kendaraan umum adalah 0.08 kg CO2/km, jauh lebih kecil dari emisi kendaran pribadi 0.27 kg CO2/km.

Di atas kapal penyebrangan orang ke Tomok Samosir dari pelabuhan Ajibata. Cukup Rp. 12 ribu | Foto: dokpri
Di atas kapal penyebrangan orang ke Tomok Samosir dari pelabuhan Ajibata. Cukup Rp. 12 ribu | Foto: dokpri

Langkah “shift” yang sama juga dilakukan pada saat menyebrang ke Pulau Samosir. Saya memilih menggunakan penyeberangan dari Pelabuhan Ajibata ke Tomok menggunakan kapal penyeberangan orang, bukan kapal fery yang bisa menampung mobil. Kapasitasnya kan beda, jadi diperkirakan emisinya pun jauh berbeda. 

Demikian pula selama di Samosir, saya lebih memilih wisata lebih seru, backpackeran rasa adventure dengan menyewa motor untuk dipakai dua orang. Bukankah emisi dari motor (disebut kereta di sana) adalah 0.15 kg CO2/km sekitar separoh dari emisi mobil pribadi (disebut motor di sana).

Kereta sewaan dari Tomok, Samosir. Sesuai dengan aplikasi ya wkwkwkwk | Foto: dokpri
Kereta sewaan dari Tomok, Samosir. Sesuai dengan aplikasi ya wkwkwkwk | Foto: dokpri

Mengenai penginapan, tentulah kita memilih homestay yang ramah di budget. Bukannya terlalu ngirit, tapi kita realistis dan logis lah. Seharian mau keliling Pulau Samosir, kenapa harus menginap di hotel yang berbintang dengan kolam renang yang tidak akan dipakai. Kita kan pastinya sampai ke hotel di malam hari. Dan buat tidur doang. 

Lalu, kenapa juga harus sekamar satu, ketika kita bisa menyewa satu kamar dengan dua tempat tidur terpisah? Kenapa juga harus di hotel yang bermandikan cahaya, ketika kita justru menyukai suasana temaram? Eaaa… Bayangkan, berapa banyak emisi karbon yang sudah kita tekan dari lampu, AC, kolam renang dan segala hal berkaitan dengan listrik.

Kiri: backpacker homestay Tutuk Siadong Samosir, Kanan: hotel bercahaya berkolam renang | Foto: dokpri
Kiri: backpacker homestay Tutuk Siadong Samosir, Kanan: hotel bercahaya berkolam renang | Foto: dokpri

Bahkan untuk masalah makan pun, tanpa sadar saya sudah mengurangi jejak karbon loh. Kita tidak pernah makan dibawa ke hotel, langsung makan di tempat. Jadi mengurangi sampah dan buangan kelebihan makanan. Kita minum dari gelas, kecuali botol mineral selama perjalanan bermotor. 

Jadi sampah pun ditekan. Jenis makanan pun demikian. Namanya backpackeran, jarang lah kita makan daging sapi. Eh, makan deng: rendang. Tapi itu kan masakan lokal, yang jejak karbonnya lebih sedikit? Bukan sirloin atau tenderloin atau wagyu yang mihil dan harus diimpor dari luar. 

Bayangin coba makan masakan mahal seperti itu, berapa banyak jejak karbonnya sebagai korbannya. Emisi makanan import itu kan tinggi, karena menyangkut distribusi dari luar negeri menggunakan pesawat lah, kapal lah, belum pengolahan de el el.

Warung Muslim Ummi Fazillah di Bukit Beta, Samosir | Foto: dokpri
Warung Muslim Ummi Fazillah di Bukit Beta, Samosir | Foto: dokpri

Terakhir, pun dalam hal minum. Bukan karena ngirit jika saya tidak minum kopi. Tapi ya karena saya tidak suka dan punya masalah dengan lambung.  Air putih saja lah. Dan ternyata kawan, kopi pun membuat emisi karbon cukup tinggi ya. Ilustrasi terekstrem untuk kopi dari luar negeri adalah emisi 4.98kg CO2 per kg kopi. 

Ilustrasi perjalanan proses pembuatan kopi | Foto: zerowaste.id, pinterest
Ilustrasi perjalanan proses pembuatan kopi | Foto: zerowaste.id, pinterest

Jadi kebayang acara beberapa hari sebelumnya ke pabrik pengolahan kopi, bagaimana mengolah kopi dari mulai memetiknya, mengelupas buah dan mengeluarkan bijinya, lalu merendamnya, menjemur, memilah sampai dengan siap digiling menjadi bahan siap seduh. Proses panjang dan tentunya membuat jejak karbon yang signifikan di tiap prosesnya.

Pengolahan kopi dari buah kopi sampai siap diminum ternyata prosesnya panjang, Dolok Sanggul, Sidikalang | Foto: dokpri
Pengolahan kopi dari buah kopi sampai siap diminum ternyata prosesnya panjang, Dolok Sanggul, Sidikalang | Foto: dokpri

Tuh kan, bukan lumayan banget usaha saya – sebagai warga masyarakat biasa – yang biasa, terbiasa dan dipaksa untuk biasa hidup sederhana dalam membantu mengurangi emisi karbon. Artinya kita juga membantu pemerintah dong dalam mencapai target Net-Zero Emissions di 2060.

Nah, justru langkah-langkah ngirit kita inilah yang patut ditiru para pejabat dan mereka-mereka di atas sana. Mulailah tiru kita. Kalo pesiar, jangan lah ke luar negeri, yang dekat-dekat saja di Indonesia yang begitu banyak tempat wisata. Ada Danau Toba. Ada Mandalika. Kan lumayan mengurangi emisi dari penerbangan. 

Kalo bikin rumah, ya jangan mengada-ada harus pake kolam renang atau lift yang ujung-ujungnya justru membuat emisi karbon melonjak. Kalo makan ya yang sedang-sedang saja, gak perlu harus memakan makanan impor yang jejak emisinya tinggi. Kalo ngopi ya jangan…….. Ah, sudahlah.

Tapi terserah deh. Itu mah pilihan pribadi saja deng. Namun kalo saya ditanya “Bagaimana caramu mendukung net-zero emissions?” maka jawabannya adalah : ngirit, jangan belagu, low profile. Semua dirangkum dalam satu pola hidup: SEDERHANA.

Demi kebaikan KITA

Demi kebaikan BUMI KITA

Mari HIDUP SEDERHANA

.... dan mari kita backpackeran :) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun