Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Backpakeran: Kesederhanaan untuk Zero Emisi

23 Oktober 2021   17:56 Diperbarui: 23 Oktober 2021   17:59 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung Muslim Ummi Fazillah di Bukit Beta, Samosir | Foto: dokpri

Lalu, kenapa juga harus sekamar satu, ketika kita bisa menyewa satu kamar dengan dua tempat tidur terpisah? Kenapa juga harus di hotel yang bermandikan cahaya, ketika kita justru menyukai suasana temaram? Eaaa… Bayangkan, berapa banyak emisi karbon yang sudah kita tekan dari lampu, AC, kolam renang dan segala hal berkaitan dengan listrik.

Kiri: backpacker homestay Tutuk Siadong Samosir, Kanan: hotel bercahaya berkolam renang | Foto: dokpri
Kiri: backpacker homestay Tutuk Siadong Samosir, Kanan: hotel bercahaya berkolam renang | Foto: dokpri

Bahkan untuk masalah makan pun, tanpa sadar saya sudah mengurangi jejak karbon loh. Kita tidak pernah makan dibawa ke hotel, langsung makan di tempat. Jadi mengurangi sampah dan buangan kelebihan makanan. Kita minum dari gelas, kecuali botol mineral selama perjalanan bermotor. 

Jadi sampah pun ditekan. Jenis makanan pun demikian. Namanya backpackeran, jarang lah kita makan daging sapi. Eh, makan deng: rendang. Tapi itu kan masakan lokal, yang jejak karbonnya lebih sedikit? Bukan sirloin atau tenderloin atau wagyu yang mihil dan harus diimpor dari luar. 

Bayangin coba makan masakan mahal seperti itu, berapa banyak jejak karbonnya sebagai korbannya. Emisi makanan import itu kan tinggi, karena menyangkut distribusi dari luar negeri menggunakan pesawat lah, kapal lah, belum pengolahan de el el.

Warung Muslim Ummi Fazillah di Bukit Beta, Samosir | Foto: dokpri
Warung Muslim Ummi Fazillah di Bukit Beta, Samosir | Foto: dokpri

Terakhir, pun dalam hal minum. Bukan karena ngirit jika saya tidak minum kopi. Tapi ya karena saya tidak suka dan punya masalah dengan lambung.  Air putih saja lah. Dan ternyata kawan, kopi pun membuat emisi karbon cukup tinggi ya. Ilustrasi terekstrem untuk kopi dari luar negeri adalah emisi 4.98kg CO2 per kg kopi. 

Ilustrasi perjalanan proses pembuatan kopi | Foto: zerowaste.id, pinterest
Ilustrasi perjalanan proses pembuatan kopi | Foto: zerowaste.id, pinterest

Jadi kebayang acara beberapa hari sebelumnya ke pabrik pengolahan kopi, bagaimana mengolah kopi dari mulai memetiknya, mengelupas buah dan mengeluarkan bijinya, lalu merendamnya, menjemur, memilah sampai dengan siap digiling menjadi bahan siap seduh. Proses panjang dan tentunya membuat jejak karbon yang signifikan di tiap prosesnya.

Pengolahan kopi dari buah kopi sampai siap diminum ternyata prosesnya panjang, Dolok Sanggul, Sidikalang | Foto: dokpri
Pengolahan kopi dari buah kopi sampai siap diminum ternyata prosesnya panjang, Dolok Sanggul, Sidikalang | Foto: dokpri

Tuh kan, bukan lumayan banget usaha saya – sebagai warga masyarakat biasa – yang biasa, terbiasa dan dipaksa untuk biasa hidup sederhana dalam membantu mengurangi emisi karbon. Artinya kita juga membantu pemerintah dong dalam mencapai target Net-Zero Emissions di 2060.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun