4a. Olahraga
Jelas lah tentang keasyikan ini. Tadi sore, lari ngabuburit 54 menit telah membakar 504kcal dan lumayan mengeluarkan keringat. Keringat keluar, raga jadi segar. Siap dengan aktivitas makan berbuka, solat teraweh dan aktivitas bulan puasa lainnya yang membutuhkan fisik yang bugar.
Entahlah, berlari di luar ruangan apalagi di lapangan berumput itu rasanya beda. Adem. Damai, Menyatu dengan alam. Seperti yang saya lakukan di jalan Promoter BSD yang cukup sepi, saya bisa menikmati suara-suara di luar suara keramaian. Suara anak-anak yang cekikikan ngabuburit itu begitu renyah. Desir angin yang menimpa kulit itu terasa enak, kadang menyentuh lembut kadang menampar keras. Itu tuh diiringi suara daun-daun begesekan. Ketika lewat jalan tidak beraspal, sepatu terasa berat karena tanah menempel. Rasa berat pun menjadi sebuah rasa tersendiri, kadang membawa memori ke jaman dahulu masa anak-anak ketika kita suka berbecek-becek dan tanah jeblok menyelip di sela jari jemari kaki. Ingin rasanya saya barefoot, nyeker, gak pake sepatu, untuk merasakan nikmatnya jebloknya tanah atau gelinya rumput. Dan lalu ketika lewat ranting-ranting yang dibakar, baunya itu khas. Dan berbeda baunya, ketika kita lewat sate padang yang sedang dibakar, atau ayam bakar.
Dengan berlari di luar, saya bisa bertemu atau melihat banyak orang, banyak peristiwa, banysaak tingkah dan banyak hal yang bisa kita nikmati. Melihat anak-anak yang asyik bercengkerama, jiwa saya meronta. Meminta kembali ke jaman seusia mereka, ketika saya bahagia berceloteh, bercakap tanpa sekat, tanpa pretensi, apa adanya. Ketika melihat dua anak kecil bahu membahu belajar naik sepeda, jiwa saya bahagia karena ingat bahwa saya - sebagai bapak - telah berhasil menyisihkan waktu - dulu - untuk sekedar berlari memegang sepeda sampai anak-anak akhirnya bisa mengayuh. Ketika melihat empat lima Pak Polisi membagikan kotak nasi berbuka puasa di perempatan, jiwa saya merasa bangga. Mereka, yang dikonotasikan galak, tegas, kaku, telah meruntuhkan semua stigma negatif yang cenderung melekat. Bahkan, jiwa saya sangat bahagia ketika berlari melewati mereka, salah satu dari mereka yang melihat saya lewat lalu merunduk, membungkuk. Gestur sopan kepada orang tua. Wait!!!! Jadi, saya sudah tua? Iyeulah. Etapi, belum dapat giliran divaksin mah masih tergolong muda kan? Ah, whatever lah.
Ceritanya aksi larinya selesai. Giliran pulang dengan berjalan kaki. Mengambil jalur pulang yang berbeda dengan jalur pergi, agar bisa menikmati peristiwa berbeda. Lalu terlihatlah ibu-ibu yang sibuk melayani pembeli dengan penganan buka puasanya. Kadang di satu tempat ditemui yang berjualan penganan berbuka itu tidak hanya satu. Ada dua, tiga atau lebih. Dan itu mereka berdagang bersebelahan. Secara pikiran normal dan awam, ngapain sih berdagang barang yang sama di tempat yang berdekatan. Bukankah jika saya menjadi penjual, maka pedagang barang yang sama seperti yang saya jual yang letaknya di sebelah saya itu adalah kompetitor saya? Lalu pikiran saya pergi ke Pasar Modern BSD, yang saya kunjungi sehari sebelumnya. Pedagang sayur-sayuran yang sama itu jualan bersebelahan. Demikian pula pedagang ayam potong. Dan itu yang terjadi di pasar di mana-mana, bukan? Di sinilah kadang pikiran kita harus diolah, bahwa ada sesuatu yang tidak perlu atau tidak bisa diolah pikiran. Rejeki. Itu salah satunya. Itu yang dipercaya para pedagang. Bahwa rejeki dari Allah sudah ditentukan. Meski berdagang barang yang sama bersebelahan, rejeki tidak ke mana. Yang penting, kita terus berusaha.
Nah, itulah kenapa saya katakan bahwa lari adalah jurus bugar terasyik. Asyik kan, ya olahraga, ya olahrasa, ya olahjiwa dan sekaligus olahpikiran. Bugarnya jadi ke mana-mana.
Gitu....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H