Aneh sih. Apa hubungannya coba Statistika dengan sebuah Mimpi? Antara ilmu yang bersangkut paut dengan suatu data dan sebuah gambaran di benak saat tidur, atau khayalan sebagai cita-cita? Apakah itu berarti mimpi-mimpi lalu harus didata dengan ilmu statistika untuk lalu menjadi kekuatan yang terbaik itu?
Tentu tidak, Ferguso.
Karena ilmu statistika dan mimpi terkait erat untuk seorang Prof Juhaeri Muchtar. Setidaknya itu yang ditangkap dalam launching buku memoirnya dengan judul seperti itu: Statisctics of Dream. Launching diadakan pada tanggal 21.1.21 di lokasi virtual Ruang Tengah-nya Gramedia, sebagai penerbit buku tersebut.
Statistika adalah ilmu yang cukup vital peranannya di kala pandemi ini, tentunya di samping ilmu kedokteran dan semua yang terkait dengan ilmu kesehatan masyarakat.Â
Bukankah dengan ilmu statistika, data-data tentang covid-19 -- jumlah tes yang dilakukan, pasien terinfeksi positif, jumlah kematian dll, dari tiap negara, itu kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk sebuah informasi?Â
Data-data yang diolah dengan ilmu statistika, kemudian juga digunakan untuk mengembangkan vaksin yang tepat sesuai kebutuhan masyarakat tertentu.Â
Di sinilah seorang Juhaeri Muchtar berperan. USA -- Urang Sunda Asli, keturunan Pinangraja Majalengka itu, sekarang berkiprah di USA -- Amerika Serikat, sebagai Vice President and Head, Global Safety Sciences sebuah perusahaan farmasi global, Sanofi, dan beliau juga adalah Adjunct assistant professor at University of North Carolina.
Memoar Kang Ju, begitu saya memanggilnya, berisi pergulatan hidupnya yang sangat berwarna sehingga sangat inspiratif dan perlu dibaca banyak kalangan, terutama masyarakat-masyarakat yang merasa "tidak berdaya" didera kemiskinan.Â
Dilahirkan dari keluarga miskin, dengan rumah gubuk sangat kecil tanpa listrik, berdinding bilik, berlantai tanah basah dan beratap genteng bolong, Kang Ju lalu menjalani masa kecil dalam himpitan kemelaratan- termasuk kelaparan. "...disuruh pulang Guru karena terlihat sakit, padahal perut kosong. Melilit. Perih. Tidak kuat jalan. Lalu pingsan di pinggir jalan".Â
Membantu orang tuanya yang hanya buruh pabrik genteng, Kang Ju dengan mengesampingkan rasa malu yang tentunya ada, lalu membantu mereka dengan mengetok pintu tetangga-tetangganya untuk menawarkan udang-udang kecil yang dia tangkap di sungai.Â
Ketika orang tuanya lalu mencoba berjualan makanan, Kang Ju kecil terpaksa bangun larut malam untuk bersama orang tuanya berjalan ke tempat mereka berjualan, membantu mereka sebisanya, lalu tidur di lahan terbuka tempat mereka berjualan sebelum bangun paginya untuk bersekolah.
"Itu dua hal paling menyedihkan saat kecil. Hidup di gubuk sangat kecil dan bangun malam untuk membantu orang tua", demikian ceritanya dalam pembukaan acara launching.
Tapi kemisikinan tidak menghalangi Juhaeri kecil untuk selalu PENASARAN. Keinginan tahu dia begitu besar. Dan itu melahirkan sebuah sifat -- yang nantinya akan bermanfaat dalam hidupnya: KUTU BUKU.
"Saya baca buku apa saja. Koran bekas. Buku cerita di perpustakaan. Apa saja. Dan saya suka sekali mendengarkan cerita-cerita Bapak sama Ibu -- tentang dongeng wayang, atau mendengarkan radio", begitu kata Kang Ju. Juga bagaimana sang Ibu -- yang lebih berpendidikan dibanding sang Bapak -- mengajarkan tulis baca sebelum Juhaeri kecil masuk SD. Cerita yang dia uraikan secara megalir dalam memoirnya.
Sifat penasaran dan gemar membaca buku mengantarkan Kang Ju untuk berkhayal. Buku Huckleberry Finn sudah cukup melayangkan imajinasi. Siaran Radio yang menceritakan kehidupan di negara yang disebut Amerika, melambungkan angan ke sebuah negara antah berantah itu. Persepsi dunia pun terbentuk di kepalanya. Dan semua itu mengantarkan dia kepada mimpi pertama: mimpi masuk SMP. Iya, dengan keterbatasan materi, masuk ke jenjang sesudah SD itu adalah sebuah mimpi. Mengandalkan nafkah orang tuanya, bisa dipastikan dia tidak bisa masuk SMP. Untuk itulah dia bermimpi, bagaimana caranya agar dia bisa masuk SMP.Â
Dengan ketiadaan beasiswa saat itu -- hanya ada beasiswa Supersemar yang tidak dia kenal, maka satu-satunya jalan adalah dia harus berprestasi. Dan ketika dia menang sebuah Kontes Pelajar Teladan di SD, itulah titik tolah dia untuk maju. Dengan hadiah yang diterima, dia bisa sedikit menghidupi biaya sekolah dan melanjutkan ke SMP.
"Mimpi itu adalah sebuah proses. Seperti sebuah avalanche -- longsor salju, makin lama makin besar. Satu mimpi terpenuhi, maka dengan observasi, akan muncul mimpi lebih besar", begitu penjelasannya di depan sekitar 70 orang yang menghadiri launching virtual itu.
Dengan mimpi yang membesar, Kang Ju berusaha keras menjadi the best di sekolahnya. Usaha yang membuahkan hasil sebagai pelajar teladan menghantarkan pencapaian mimpi lebih mudah. Dia masuk SMA yang termasuk favorit. Dan masuk salah satu perguruan tinggi terbaik saat itu.
"Mimpi itu jangan tanggung. Saya bermimpi pergi ke Amerika. Saya ingin membuktikan diri bahwa I can do more. I want to fight with the best in the world", ujarnya. "Untuk mencapai itu, I have to compete". Bahkan dengan tekad seperti itu pula, saat proses menyelesaikan studi di IPB meminta topik yang paling sulit. "Saya kesepian kalo tidak tertantang". Â Akhirnya, dia mendapatkan topik yang sulit yang biasanya tidak diberikan kepada mahasiswa sebelum level post-doktoral.
"Mungkin terlihat arogan, tapi saya tidak terlalu peduli yang orang lain pikirkan'.
Deraan kesulitan kemiskinan di awal perjalanan hidupnya, usaha keras dan halal untuk menjadi yang terbaik demi menggapai mimpinya, membuat orang berpikiran jika Kang Ju memiliki karakter sulit: perfeksionis. Ketika hal itu ditanyakan oleh audiens, Kang Ju tidak menampiknya.
"Saya memang super perfeksionis malah. The second is not the option. I HAVE TO BE the best", begitu jawabnya. Dia lalu bercerita bahwa kadang hal itu membawa dia menjadi seorang yang obsesif dalam kesempurnaan. Kenyataan yang sebenarnya mengganggu. "Capek, jadinya".
"Tapi biarkan keperfeksionisan itu ada di dalam diri saja", begitu jawaban Kang Ju terhadap pertanyaan bagaimana sifat perfeksionis dihadapkan dengan kenyataan beliau memiliki anak buah. "Ke luar, kita pakai hati. Jika anak buah kita terlihat memang seperti kita, ya kita lakukan yang sama. Jika anak buah kita tidak seperfeksionis kita, ya kita ubah pendekatan. Itulah pentingnya engaged dengan bawahan".
Launching memoir Statistics of Dream berjalan sangat cair. Mbak Nathalie Indry dari pihak Gramedia membawakan acara sangat bagus, termasuk dengan membuat suasana virtual meeting ini seperti sebuah dialog langsung, dengan membuka pertanyaan langsung peserta atau membacakan pertanyaan peserta yang ditulis.
Ada seorang penanya mengemukakan pertanyaan menggelitik.
"Kalau kita lelah dalam mengejar mimpi itu karena tekanan dari luar, bagaimana caranya melawan semua itu?". Â
Jawaban Kang Juhaeri cukup out of the box, agak lain dari yang lain, dan sedikit menampar.
"....set the time untuk refleksi. Cobalah menikmari kelelahan dan keputusasaan itu. Enjoy it. IT IS LIFE. LIFE IS CRUEL. Meski kita hidup di dunia ini ada bantuan orang lain, sejatinya kita itu sendiri. You are alone. Jadi nikmati saja. Acceptance. Think positive". Termasuk menarik memahami jawaban beliau bahwa tidak apa-apa gagal karena orang lain lebih baik, tetapi janganlah gagal karena kita tidak melakukan yang terbaik.
Pertanyaan lain pun sungguh membuat penasaran dan menunggu jawaban. "Adakah kata terlambat dalam menggapai mimpi?"
Kang Ju mengemukakan bahwa siapa pun, kapan pun bisa bermimpi. Mimpi itu tidak tergantung jabatan tertentu. Tetaplah bermimi. Karena, ujung-ujungnya bukanlah apa yang dicapai, melainkan proses, termasuk sebuah kegagalan. Karena kalau kita bisa menikmati proses menggapai mimpi itu, maka mimpi kita telah tercapai, karena tonggak-tonggak mimpi itu hanyalah materialistik.
"Tahan bantinglah. Gigih. Keras kepala kalau perlu. Never give up. Fight. You can do it".
Kang Juhaeri juga sedikit memberi pendapat tentang generasi muda Indonesia. Menurut beliau, anak-anak muda kita itu cerdas-cerdas. Bagus dalam nature, tapi berbeda dalam nurture. Potensinya besar. Tinggal menyalurkannya.Â
"Tantangan utama generasi muda adalah mind set mereka terlalu materialistik", begitu kata beliau. Termasuk dalam hal menghadapi pandemi ini, Kang Ju sekilas mengambil kutipan Winston Churchill: "Don't let a good crisis go to waste" - jangan menyia-nyiakan kesempatan yang datang bersama krisis. Gunakanlah kegagalan itu untuk maju. Ini adalah kesempatan.
Dalam bagian akhir launching itu, Kang Juhaeri mengemukakan mimpinya sekarang. Mimpi yang lebih karena altruistic reason. Joy of giving. Menolong orang, membantu sebisanya, tanpa pandang bulu, kecil atau besar. Pulang balik ke Indonesia, tinggal di desa kecil, punya sawah, mengajar di tajug (surau) kecil seperti yang dilakukan ayahnya.
"It is time to stop dreaming for me" katanya. Stop dreaming di sini dalam artian materialistik. Seperti yang diceritakan dalam pembukaan memoir itu, dalam bagian Le Precope, ketika beliau makan malam mewah, haute cuisine di Paris, Perancis, yang dia rindukan adalah sop kambing sederhana buatan almh ibunya.
"Saya bermimpi tentang kesederhanaan, back to a simple way. Memancing. Memasak untuk anak.".
Sebuah buku yang mengasyikan untuk dibaca. Sebuah memoir, bukan tentang seorang Prof Juhaeri Muchtar. Bukan tentang sebuah keberhasilan, atau kemiskinan. Tetapi buku sebagai sebuah motivasi, terutama buat mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu, untuk tetap bermimpi. Karena THE BEST POWER IS YOUR DREAM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H