Tiga bulan lebih pandemi Covid-19 terjadi. Selama itu pula kita dihadapkan dengan banyak pilihan pelik? Karantina negara atau tidak? Kesehatan atau ekonomi? Keluar rumah atau mendekam di dalam?Â
Dan tiga bulan lebih mendekam di dalam rumah, dengan frekuensi bepergian yang terbatas, membuat badan serasa serba salah. Apalagi bagi mereka yang sudah terbiasa mengolah badan, mengucurkan keringat ataupun mengangkat beban -- beban barbel ataupun beban masa lalu :).Â
Muncullah teriakan: "Kapan nih gym buka?", "Badan udah gak karuan euy", "Kangen kelas aerobik", "Yaaa...diundur lagi bukanya".
Sementara itu mereka yang sangat concern dengan kesehatan tentunya mengusung informasi yang mendukung. "Gym itu termasuk yang beresiko tinggi loh. Resiko 8 dari 9". Lalu muncullah bagan tingkat resiko dari mulai tinggal di rumah, jalan kaki, ke pasar, ke mall, gym sampai resiko tertinggi.Â
Informasi itu berbarengan dengan munculnya foto media bagaimana sebuah pusat kebugaran di luar negeri dibuka: antar alat treadmill diberi tirai plastik, kelas cardio diberi tirai plastik di tiga sisi peserta. Demikian pula mereka yang melakukan kegiatan sendiri. Bahkan kadang diikuti guyonan foto cowok kekar mengangkat beban dengan baju APD lengkap.
Nah, sebenarnya bagaimana sih kehidupan new normal sebuah pusat kebugaran itu?
Inilah yang penulis alami saat kembali beaktivitas di klub gym di mana penulis menjadi anggotanya: Celebrity Fitness (disingkat Celfit), Teras Kota, Tangerang Selatan. Yuk, kita amati.
Gym beroperasi lebih lambat dibanding mall
Ketika mall Teras Kota dibuka kembali di awal bulan Juni, penulis merasa senang. "Wah, bisa cepat berolahraga lagi nih". Ealah, ternyata pemberitahuan dari klub isinya lain. Gym baru buka di akhir bulan. Berarti ada sekitar 30 hari atau kurang antara beroperasinya kembali pusat perbelanjaan dengan beroperasinya kembali pusat kebugaran.Â