Timeline media sosial terakhir ini ramai dengan "saling memberi sapa" antar pendukung dua kontestan Pilpres. Terakhir yang menjadi "pengikat sapa" adalah tentang Jokowi yang menjadi imam shalat Magrib saat mengunjungi lokasi gempa di Lombok. "Saling sapa" itu terasa "hangat", bahkan saking "hangat"nya terasa "panas". Terkadang "panas" itu menggelegak. Mudah-mudahan saja gelegak itu tidak lalu berubah menjadi ledakan. Karena....ah, energinya rasanya ya...begitulah.
Padahal nih di Lombok juga, menyebar di lokasi yang terkena dampak gempa, banyak anak-anak bangsa yang justru tidak terlalu banyak mengeluarkan kata, langsung bertindak nyata. Membuat dapur umum. Membantu evakuasi. Mendampingi korban. Melakukan pengobatan. Dengan keahlian dan kemampuan masing-masing, mereka langsung turun tangan. Juga menjadi jembatan dari anak-anak bangsa lainnya yang berada entah di sini atau di sana, yang juga ikut turun tangan dengan caranya: berdonasi dana atau natura.
Mereka bergerak dengan satu niat: memberi.
Lalu, tanyakan saja kepada mereka, apakah mereka memiliki maksud di balik gerakan "memberi" itu? Apakah ada udang di balik batu?
Satu dua mungkin memang memiliki ekspektasi timbal balik. Tetapi, jumlah terbanyak justru hanya ingin memberi dengan berbagai alasan: membantu, berbagi, simpati dan mungkin yang terpenting bagi para korban gempa di Lombok adalah Recovery.
![Salah satu gerakan membantu korban gempa Lombok, oleh TIm Dapur Sehat | Foto: TIm Dapur Sehat](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/15/38903811-1043469672485449-8413844227103916032-n-5b744fb512ae944d21045c88.jpg?t=o&v=770)
 "No one is useless in this world who lightens the burdens of another" - Charles Dickens
Ya. Kutipan itu diartikan bebas sebagai "tidak ada seorangpun yang tidak berguna di dunia ini selama dia meringankan beban orang lain". Itu juga yang saya temui dalam lingkaran kecil pertemanan dan aktivitas komunitas.
Pertemanan dari pendakian bersama di Gunung Kerinci membawa saya kepada satu grup whatsapps bernama Limitless Love. Bukan komunitas, tetapi sebuah grup. Cair. Dengan anggota yang masuk dan keluar. Dengan "project" yang berbeda-beda. Namun dengan aura yang tetap terjaga: cinta yang tak terbatas. Spiritnya sama dengan kutipan di atas, sekecil apapun usaha, kita bisa meringankan beban orang lain. Dan lalu grup yang sangat majemuk itu, terdiri dari berbagai ras, agama dan PILIHAN POLITIK, ini pun mengelola energi baiknya itu untuk meringankan beban orang lain. Dan kemudian di grup lalu lalang informasi kebutuhan korban di Lombok, jumlah kasur, selimut, pembalut, susu bayi dan lain-lai. Juga siapa donatur dan berapa donasi terkumpul - tanpa mempermasalahkan donasi sekecil apapun. Termasuk berpuluh-puluh sarung, peci dan sajadah yang akan berpindah lokasi, dari Jakarta ke tempat bencana, yang diberikan donatur yang berbeda agama. Empati. Simpati. Ikhlas. Menjadi energi kebaikan.
![Santunan terhadap anak yatim oleh Limitless Love | Foto: Fransisca Angeline](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/15/34875578-10211263903065260-5777664648815837184-n-5b744d9cbde5752c63794712.jpg?t=o&v=770)
Limitless Love adalah hanya satu di antara begitu banyak gerakan-gerakan sederhana sejenisnya, yang bergerak secara personal, menggunakan saluran media sosial, bergerak di zona ikhlas untuk memberi, membantu. Mengerahkan energi baik yang dipunyai. Dan menularkannya menjadi kebaikan bersama.
"It's not how much we give but how much love we put into giving." - Mother Theresa
DI Lombok pula saya mengenal Rosyidin Sembahulun. Seorang porter dan guide pendakian Gunung RInjani, yang terkena langsung dampak gempa. Dia adalah pendiri Rumah Baca Love di Sembalun. Rumah baca yang kabarnya masih berdiri, karena strukturnya terbuat dari kayu - yang notabene lebih tahan gempa. Rosyidin pun menyalurkan energi baiknya dengan mengelola rumah baca untuk meningkatkan minat baca di lingkungannya, yang berujung kepada peningkatan kehidupan masyarakat. Dengan bergabung dengan Gerakan Pustaka Bergerak Indonesia, Rumah Baca Love - seperti rumah baca - rumah baca lainnya, lalu berkesempatan mendapatkan donasi buku dari siapapun donaturnya di seluruh Indonesia.
Love. Cinta. Sepenuh Hati.
Itu julukan yang ingin saya sematkan kepada gerakan Pustaka Bergerak Indonesia, terutama komandannya Nirwan Ahmad Arsuka. Tanpa cinta literasi sepenuh hati, belum tentu beliau akan keluar dari zone nyaman sebagai Direktur Freedom Institute, "perpustakaan yang sempat digadang-gadang sebagai salah satu perpustakaan terbaik di Indonesia" dan lalu mengubah langkah menciptakan gerakan perpustakaan yang bergerak menghampiri pembaca. Memakai kuda . Lalu kemudian berkembang dengan dukungan beberapa relawan, menggunakan perahu pustaka untuk menjangkau daerah-daerah di tepi pantai Indonesia.
![Kegiatan Motor Perahu Pustaka | Foto: FB Ardy Yanto](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/15/ardy-5b7454b2c112fe6b9d25cce8.jpg?t=o&v=770)
![Pengiriman buku gratis, Pustaka Bergerak dengan PT Pos Indonesia | Foto: Enrico Halim - Pustaka Bergerak](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/15/38834171-10155699340778354-5279444667203584000-n-5b744cc4c112fe48845e3813.jpg?t=o&v=770)
Ledakan energi baik makin membesar. Free Cargo Literacy memberikan akses keterlibatan masyarakan untuk menyalurkan energi baiknya. Para dermawan bisa mengirimkan buku-bukunya ke rumah baca yang dituju, di seluruh Indonesia. Sementara masyarakat yang memiliki energi baik untuk membuat perubahan ke arah lebih baik pun berani menjadi "pembuat peristiwa": membuat rumah baca, mengelolanya, mengajak masayarakat membaca, membuat kegiatan menarik dan bahkan tentu saja mendatangi masyarakat - baik itu berkeliling dengan motor, sepeda, kuda, perahu atau bahkan dengan menggunakan noken - tas tradisional masyarakat Papua. Noken seperti yang diperlihatkan oleh Anand Yunanto, salah seorang relawan tulang punggung Pustaka Bergerak Indonesia.
Anand, seperti juga Mushollin, Ari Abudzaralghifari dan Ardy Yanto yang saya temui adalah anak-anak muda penggeraka Pustaka Bergerak Indonesia. Mereka bergerak di zona ikhlas. Terlepas dari statusnya sebagai mahasiswa, nelayan atau satpam, mereka dengan penuh semangat menjadi salah satu tulang punggung Pustaka Bergerak Indonesia. Energi baik individu-individu itu, lalu kemudian ditularkan kepada semua penggerak di seluruh Indonesia. Sampai kemudian energi baik itu meledak. Tercatat lebih dari 2000 simpul pustaka di 34 provinsi, dengan pengiriman buku dari donatur total sejak Mei 2017 seberat 200 ton.
![Mas Nirwan (kaos putih) bersama Anand (kanan), Mushollin (kiri) dan Ari (tengah) dalam sebuah acara | Foto: Yulianto Delaveras](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/15/39193501-2139597052973841-2331185274765180928-n-5b744dc66ddcae3f9b7d3b35.jpg?t=o&v=770)
Dan energi baik yang diawali dengan memberi dengan ikhlas ternyata telah membuat hidup lebih berarti. Hidup yang lebih berarti itu adalah hidup yang penuh kebaikan. Dan jiwa kerelawanan, jiwa memberi, ini menjadi salah satu ciri generasi milenial. Sehingga, diharapkan dari generasi milenial ini, dari energi baik generasi milenial, maka hidup masyarakat, sebagai individu ataupun sebuah bangsa, akan menjadi lebih berarti.
Dan sebagai seorang muslim, tulisan ini ditutup dengan arti doayang dikenal sebagai do'a Sapujagat. Do'a memohon kebaikan
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"
Ya, energi baik akan memberi kebaikan.
Yuk, munculkan energi baik itu dengan memberi dengan ikhlas.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI