Kalau terlanjur rusak, ya benerin saja. Kembalikan saja kepada asalnya.
Lantas, apakah "Iftar on the road"-nya disalahkan? Tidak, kan? Ada pemisahan. Yang bikin rusuhnya ditindak, dan ada garis khayal yang ditarik cukup jelas. "Itu kenakalan anak-anak yang tidak terkait dengan aksi berbagi "Iftar on the road".
Nah, kenapa hal seperti itu tidak berlaku bagi Sahur on the road. Tekankan sebuah garis maya yang cukup jelas: aksi berbagi ini Sahur on the road, kerusuhan dan segala negatif adalah kenakalan anak-anak, remaja whatever, dan TIDAK terkait SOTR. Ini bisa dilakukan jika para penegak peraturan membuat pernyataan jelas.
"Segala tindak tanduk yang membuat kerusuhan bla..bla...bla.... adalah tindakan melanggar keamanan, dan tidak terkait dengan aktivitas sosial". Karena amat tidak mungkin sebuah kegiatan mulia, sosial dan berbagi bercampur dengan kegiatan merusak. Malaikat dan setan tidak bisa menyatu. Air dan minyak juga tidak menyatu. Demikian pula SOTR dan rusuh, meski dengan mengambil alasan "kita kan sedang SOTR'.
Nah, sekarang ada wacana mengganti SOTR dengan SITM - Sahur in the mosque. Usulan Pak Sandiaga Uno itu bagus sih. Sahur barengan di Mesjid. Tapi, sepertinya esensi Sahur On the Road, yaitu membagikan fidyah dan sedekah kepada yang berhak, tidak atau sedikit tercapai.....kecuali bisa mengerahkan fakir miskin untuk datang sebelum fajar ke mesjid.
Rasanya, menggalang mereka datang di malam gelap tidak semudah meminta mereka berkumpul saat magrib deh. Jika esensi ini tidak tercapai, jadi ya mending usulan saya: SAH - Sahur At Home, sajah. Anak-anak tidak keliaran, tidak sempat bikin rusuh, orang tenang, makan bersama berkumpul di meja makan. Romantis kan.... apalagi sambil memandangi anak dengan kelopak mata yang menutup-terbuka-menggayut. Persis kucing pengantuk: Garfield. Seperti Si Ade.
Kita hanya membawa susu, dan enyahkan saja orang lain yang menitikkan nila. Dan susu gandengannya kurma atau madu.
Manis
Jadi....Jangan larang sahur on the road pliiiiis.