"Loooh, kok tukang ketopraknya jualan Yah?".
Masih nempel di benak, ketika pertanyaan itu muncul dari anak kecil berpipi temben. Nailah, anak itu yang biasa dipanggil Ade, nyeletuk begitu saja. Saat itu dia baru berusia enam tahun kalau tidak salah. Sekolah di Taman Kanak-kanak. Sedang memulai membiasakan berpuasa sampai Maghrib.Â
Sebuah pertanyaan yang khas anak kecil. Jujur. Bertanya sesuatu yang menurut dia kontradiktif. "Disuruh berpuasa, lha ini kok ada yang jualan makanan. Katanya puasa?". Begitu mungkin pikirnya.
Celetukan si Ade itu bisa dipahami oleh si Ayah. Dan si Ayah bahagia karena dia mau bertanya. Tentu saja dia kebingungan. Karena hakekat berpuasa yang dia pahami masih berkutat dengan "tidak makan dan tidak minum di siang hari". Itu saja. Sederhana. Dia belum memahami konsep berpuasa lebih jauh.
Memang sih di sekolah dia diberi tahu tentang sabar. Tetapi konsep penerapan dalam berpuasa mungkin belum sampai. Belum lagi konsep tentang "menahan diri". Dan di sinilah peran si Ayah, dan si Ibu tentunya, untuk memberikan penjelasan sesederhana yang bisa ditangkap anak kecil.
"Dia kan berjualan bukan buat buat orang yang berpuasa De. Kan orang-orang itu ada yang tidak bisa berpuasa. Anak kecil yang lebih kecil dari Ade contohnya. Atau nenek-nenek, kakek-kakek yang sudah tidak kuat berpuasa. Atau yang lagi sakit. Mungkin di rumahnya mereka tidak masak, jadi mereka akan tertolong dengan adanya tukang bubur itu", gitu kira-kira jawaban Si Ayah saat itu.
"Tapi Ade jadi lapar Yah", kata dia setelah cukup lama. Calon-calon tangis sudah muncul dari suaranya. SI Ayah berusaha menenangkannya. Rengekannya tidak dijawab. Cukup diberi senyum saja. Atau pelukan kecil. Serta sedikit penambah semangat. "Kamu hebat De".
Dua tahun kemudian, beberapa hari lalu.
"Yah, itu kenapa warungnya ditutup pakai gorden?" tanya Ade. Siang itu kita jalan melintas di depan rumah makan yang gordennya diturunkan.
Si Ayah tidak langsung menjawab. Dia malah balik bertanya. "Menurut Ade kenapa?".
"Karena ini bulan puasa", jawab dia. Gitu. Tanpa ada rengekan. Tidak ada "gugatan". Tidak ada desakan agar rumah makan itu tidak jualan. Juga tidak ada komplain agar dia bisa berbuka. Sebaliknya, dia tenang-tenang saja.
Sangat berbeda dengan respon dia dua tahun lalu kala dia masih begitu polos dan belum memahami hakikat berpuasa itu. Kini, dia sepertinya sudah paham bahwa berpuasa juga ada hakikat menahan diri. SI Ayah asumsikan bahwa dia juga mengerti bahwa "menahan diri" itu berasal dari dalam diri sendiri saat mengatasi sesuatu kondisi dari luar.
Memaksakan kondisi luar agar sesuai dengan keinginan diri itu bukan "menahan diri", kan? Itu lebih kepada manja karena belum mengerti, belum memahami. Persis yang Ade lakukan dua tahun lalu.
"Loh, anak kecil itu harus diajari kebenaran dong. Kasih tahu hukum yang benar. Memberi makan orang kafir di bulan puasa itu dilarang".
Wajar-wajar saja jika mungkin ada yang akan berpikir demikian. Dalam tahap usia si Ade ini, si Ayah memutuskan untuk lebih mengenalkan kepada hakikat dan makna puasa terlebih dahulu. Tentunya dimasukkan sisi akhlak baiknya, seperti teladan dari Rasulullah. Perkara hukum, bukannya diabaikan tetapi timingnya belum tepat.
Apalagi, pendapat para ulama terhadap hukum memberi makan orang kafir di bulan puasa - yang menjadi landasan polemik membuka warung di bulan puasa - ini juga masih berbeda-beda. Ada yang melarangnya, tapi banyak yang membolehkannya. " Pendapat kedua ini yang lebih mendekati kebenaran", dikutip dari Rumaysho.com. Dan mengenai hukum, si Ayah lebih menyandarkan diri kepada umaro untuk bertindak.
"Jadi, Ade takjilnya mau apa?", celetuk Ayah.
"Hmm.. Nanti saja deh Yah", jawab Ade. Mungkin kalo dia jawab sekarang, dia jadi lapar. Atau dia menghindari polemik, apakah beli kolek atau cilok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H