Bukber itu saat tepat membuat anak mendekat dengan kerabat. Saya mengalaminya kok.
Menjadi seorang perantau itu terkadang sepi. Bagaimana tidak jika keluarga besar ada di kampung halaman, sementara kita berada sendirian di sini. Jadinya, frekuensi bertemu saudara dekat, sering disebut kerabat, akan jauh berkurang. Efek selanjutnya adalah pertemuan anak kita dengan kerabatnya pun mengecil. Itu juga yang dialami si Ayah, yang merantau jauh dari kampung halaman. Kampung halaman di Bandung, merantau di... Jakarta. Eaaaa...
Iya sih, meski dekat jarak Bandung - Jakarta, eh Tangerang Selatan deng, tapi frekuensi kita mengunjungi kerabat cenderung sedikit. Ayah aktivitasnya di Jakarta dan Ade sekolah di Pamulang menjadikan waktu berkunjung terbatas di hari Sabtu Minggu. Kalau tidak ada alasan khusus semisal ada yang sakit, kawinan dan sejenisnya, kita sedikit malas pulang karena aksesnya kan macet. Jadinya, acara buka bersama di waktu Ramadan menjadi terasa istimewa. Karena kita - terutama si Ade - bisa lebih mengenal dan dekat dengan kerabatnya.
Uwa-uwanya (si Ade ditakdirkan tidak punya paman) terasa asing karena wajahnya bertambah tua. Sepupu-sepupunya berwajah asing karena sudah menjadi remaja dan dewasa. Dan ada makhluk-makhluk imut yang beneran asing, kerabat barunya yang nantinya akan memanggil si Ade "Tante" atau "Bibi" (linier dengan si Ayah yang masih muda gini sudah dipanggil Kakek). Makanya ajang buka bersama keluarga si Ayah tuh....rame.
Ketika berkunjung, Si Ade biasanya selalu berada di belakang si Ayah. Dan si Ayah cekatan membuat si Ade nyaman. Pertemukan saja dia dengan anak-anak kecil di bawah usia dia - yang sebenarnya sudah harus memanggil si Ade Tante itu. Jiwa keibukakakan dia langsung muncul. Kekakuan dia langsung cair. Tanpa sungkan dia sudah berlari-lari sama mereka. Dengan badan lebih besar dari usianya, tanpa malu dia main otoped punya kerabatnya. Lama-lama, dia sudah bercakap akrab seperti teman lama. Memberi perintah dan bimbingan. Khas seorang kakak kepada adeknya.
Yang juga seru adalah ketika buka bersama dimulai. Si Ade dihadapkan dengan masakan dan makanan buka puasa yang jarang sekali dia lihat dan cicipi. Si Ade selama ini akrab dengan masakan dari tangan si Ibu, which is pengaruh dari keluarga si Ibu kan.Â
Si Ayah pun kan lama-lama terbiasa dengan masakan keluarga Ibu yang dibawa ke rumah. Tapi, masakan dari keluarga si Ayah, meski jenisnya sama, tapi pengolahannya kan beda.
Sesederhana telur dadar pun ada bedanya. Apalagi masakan yang si Ade sendiri tidak pernah lihat, apalagi istilahnya asing. Ada caramcam, kodomoro, angeun aseum daging. Belum lagi melihat bentuknya yang agak aneh bagi dia. Jadinya si Ayah dan si Ibu lah yang harus susah payah menerangkan. Kita sebisanya ambil masakan yang si Ade bisa makan. Terkadang, si Uwa sudah tarapti menyediakan makanan cadangan khusus si Ade. Tapi seru juga sih.Â
Si Ayah mah kadang suka jahil. Dia pernah malah kasih masakan yang Si Ade belum pernah cicipi, dengan berbohong mengatakan nama makanan yang si Ade suka. Reaksi si Ade itu lucu. Ekspresinya menunjukkan kalo lidahnya merasakan sesuatu yang lain. Tapi dia percaya sama si Ayah yang jahil itu (co cwiit). Setelah empat lima suap, barulah dia tanya si Ayah. Udah deh, Ayah dipukuli si Ade. Tapi toh, meski gak begitu suka, akhirnya dia bisa mencicipi dan tidak menolak.