Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bukber, Saat Tepat Anak Mendekat dengan Kerabat

19 Mei 2018   14:47 Diperbarui: 19 Mei 2018   14:50 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukber itu saat tepat membuat anak mendekat dengan kerabat. Saya mengalaminya kok.

Menjadi seorang perantau itu terkadang sepi. Bagaimana tidak jika keluarga besar ada di kampung halaman, sementara kita berada sendirian di sini. Jadinya, frekuensi bertemu saudara dekat, sering disebut kerabat, akan jauh berkurang. Efek selanjutnya adalah pertemuan anak kita dengan kerabatnya pun mengecil. Itu juga yang dialami si Ayah, yang merantau jauh dari kampung halaman. Kampung halaman di Bandung, merantau di... Jakarta. Eaaaa...

Iya sih, meski dekat jarak Bandung - Jakarta, eh Tangerang Selatan deng, tapi frekuensi kita mengunjungi kerabat cenderung sedikit. Ayah aktivitasnya di Jakarta dan Ade sekolah di Pamulang menjadikan waktu berkunjung terbatas di hari Sabtu Minggu. Kalau tidak ada alasan khusus semisal ada yang sakit, kawinan dan sejenisnya, kita sedikit malas pulang karena aksesnya kan macet. Jadinya, acara buka bersama di waktu Ramadan menjadi terasa istimewa. Karena kita - terutama si Ade - bisa lebih mengenal dan dekat dengan kerabatnya.

Ayah berbuka tanpa Ade bersama Kakak-kakak | Foto: Rifki Feriandi
Ayah berbuka tanpa Ade bersama Kakak-kakak | Foto: Rifki Feriandi
Seperti layaknya anak kecil, awalnya sih Si Ade itu malas bertemu kerabatnya dari pihak Ayah. Masalahnya klasik: kerabat si Ayah banyak banget. Si Ayah anak ke delapan dari delapan bersaudara. Jadinya, kalau ketemu mereka teh, serasa bertemu dengan banyak wajah baru. Anak kecil kan suka ogah-ogahan jika bertemu wajah baru. Padahal mereka adalah kerabat-kerabat yang pernah dia jumpai. Cuman karena jarang bertemu, jadilah mereka seperti berwajah asing. 

Uwa-uwanya (si Ade ditakdirkan tidak punya paman) terasa asing karena wajahnya bertambah tua. Sepupu-sepupunya berwajah asing karena sudah menjadi remaja dan dewasa. Dan ada makhluk-makhluk imut yang beneran asing, kerabat barunya yang nantinya akan memanggil si Ade "Tante" atau "Bibi" (linier dengan si Ayah yang masih muda gini sudah dipanggil Kakek). Makanya ajang buka bersama keluarga si Ayah tuh....rame.

Ketika berkunjung, Si Ade biasanya selalu berada di belakang si Ayah. Dan si Ayah cekatan membuat si Ade nyaman. Pertemukan saja dia dengan anak-anak kecil di bawah usia dia - yang sebenarnya sudah harus memanggil si Ade Tante itu. Jiwa keibukakakan dia langsung muncul. Kekakuan dia langsung cair. Tanpa sungkan dia sudah berlari-lari sama mereka. Dengan badan lebih besar dari usianya, tanpa malu dia main otoped punya kerabatnya. Lama-lama, dia sudah bercakap akrab seperti teman lama. Memberi perintah dan bimbingan. Khas seorang kakak kepada adeknya.

Makan terakhir bersama Aki Papap | Foto : Rifki Feriandi
Makan terakhir bersama Aki Papap | Foto : Rifki Feriandi
Dalam beberapa kesempatan, si Ade mendekati si Ayah. Bukan untuk merajuk. Wajah bingungnya lucu memperlihatkan dia butuh penjelasan. "Ade gak ngerti. Maksudnya apa?", kata dia. Hadeuh. Ternyata dia kebingungan dengan hal yang sangat sederhana. Aksen dan bahasa daerah. Aksen keluarga si Ayah tuh beneran kental dengan bahasa Sunda. Sementara meski si Ayah suka berbasa Sunda, tapi banyak istilah-istilah yang si Ade belum tahu. Jadinya, pantas dia bingung. Tapi, ya itu tadi. Anak kecil itu gampang sekali beradaptasi. Lama-lama juga akan terdengar si Ade mulai menerapkan apa yang dia dengar. Kata-kata khas Sunda mulailah dia coba-coba pakai, semisal imbuhan "teh", "mah". Paling lucu kalo dia sudah meniru iklan jadul. "Ini teh susu". Si Ayah pasti ketawa.

Yang juga seru adalah ketika buka bersama dimulai. Si Ade dihadapkan dengan masakan dan makanan buka puasa yang jarang sekali dia lihat dan cicipi. Si Ade selama ini akrab dengan masakan dari tangan si Ibu, which is pengaruh dari keluarga si Ibu kan. 

Si Ayah pun kan lama-lama terbiasa dengan masakan keluarga Ibu yang dibawa ke rumah. Tapi, masakan dari keluarga si Ayah, meski jenisnya sama, tapi pengolahannya kan beda.

Sesederhana telur dadar pun ada bedanya. Apalagi masakan yang si Ade sendiri tidak pernah lihat, apalagi istilahnya asing. Ada caramcam, kodomoro, angeun aseum daging. Belum lagi melihat bentuknya yang agak aneh bagi dia. Jadinya si Ayah dan si Ibu lah yang harus susah payah menerangkan. Kita sebisanya ambil masakan yang si Ade bisa makan. Terkadang, si Uwa sudah tarapti menyediakan makanan cadangan khusus si Ade. Tapi seru juga sih. 

Si Ayah mah kadang suka jahil. Dia pernah malah kasih masakan yang Si Ade belum pernah cicipi, dengan berbohong mengatakan nama makanan yang si Ade suka. Reaksi si Ade itu lucu. Ekspresinya menunjukkan kalo lidahnya merasakan sesuatu yang lain. Tapi dia percaya sama si Ayah yang jahil itu (co cwiit). Setelah empat lima suap, barulah dia tanya si Ayah. Udah deh, Ayah dipukuli si Ade. Tapi toh, meski gak begitu suka, akhirnya dia bisa mencicipi dan tidak menolak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun