Keluar kelas, Â dia pulang bersama si Anak. Â Tangannya tidak lepas mengelus kepala anaknya yang masih duduk di kelas 2 SD itu. Dengan berusaha tudak terlihat anaknya, Â ada setitik air mata turun. Namun anaknya tahu, Â itu adalah air mata bahagia.
###****
Seorang pria dewasa masuk ke toilet sebuah sekolah. Di dalam toilet dia hanya berdiri. Sepertinya tidak ada desakan untuk buang air. Wajahnya hanya menunduk, Â memandangi ember berisi air untuk cebok. Air dari keran deras mengucur. Dan limpasannya menghanyutkan imajinasinya ke masa berpuluh tahun lewat, Â menumbuhkan kenangan dan kerinduan akan satu sosok.
Matanya mulai sembab.
Air dalam ember itu telah mengingatkannya akan sosok Ibu. Â Yang memberi air dalam ember kepada tetangganya itu. Â Ibu sejatinya telah menanamkan banyak makna tanpa kata.
'Berbuatlah kebaikan, Â tanpa tanya'. 'Tolonglah tetangga, Â siapapun dia'
Makna yang tertancap dalam alam sadar si pria dewasa itu menjadi sebuah bimbingan hidup bertetangganya. Bagaimana dia harus berakhlak terhadap mereka yang bukan keluarga tapi berada begitu dekat dengan kita. Juga penanaman adab memperlakukan tetangga, Â sebaik atau seburuk apapun tetangga itu. Â
Dan :pelajaran dia dapatkan tanpa Ibunya berkata-kata dengan menyitir ayat,  surat,  bacaan kitab suci.  Ibunya hanyalah seorang wanita sederhana,  lulusan  SMP,  yang hanya bisa mendidik lewat tindakan. Dan didikan itu yang dipraktekan,  tanpa sadar seolah menjadi sebuah kebiasaan. Berbagilah.  Berbahagialah karena berbagi.
Lalu air mata si pria dewasa itu menjadi lebih deras mengalir. Â Suara isak terdengar. Isakan di toilet sekolah. Sekolah tempat anaknya menimba ilmu. Yang sekarang dia kunjungi. Saat pembagian rapor. Seperti apa yang dulu dilakukan ibunya. Â Saat pembagian rapor dirinya.
Sambil menyeka air matanya, Â pria dewasa itu lalu bergumam.