Hari Minggu tanggal 26 Februari 2017 kemarin, dengan bersemangat saya naik Commuter Line demi untuk menghadiri ceramah agama. Kali ini berupa Tabligh Akbar dengan penceramah Syaikh Prof. Dr. Abdul Razzaq Al-Badr dan penerjemah Ustadz Firanda Andirja, M.A. Tabligh Akbar yang saya pikir menarik untuk dihadiri, utamanya karena topiknya pas dengan kondisi kekinian: Pilar-pilar Stabilitas Keamanan Negara. Rasa penasaran cukup tinggi, karena topik itu penting di tengah hingar bingarnya media sosial saat ini.
Alhamdulillah, meski datang satu jam lebih awal, saya masih bisa mendapatkan posisi duduk di ruang utama mesjid. Ruangan utama berkubah besar ini ternyata sudah penuh. Saya mendapatkan posisi duduk di sudut kiri bawah jika dilihat dari denah ruang utama dengan arah kiblat.
Acara dimulai lebih cepat dari jadwal dengan sepatah kata dari pengurus mesjid dan pembacaan latar belakang penceramah dengan tiga bahasa, Inggris-Arab-Indonesia. Saat acara pendahuluan itu, saya sudah merasakan kesulitan untuk mendengarkan ucapan secara jelas. Sepertinya ada gema. Saya tidak terlalu mempersoalkannya, karena masih pendahuluan kok.
Setelah acara berjalan sekitar sepuluh menitan, ada beberapa jamaah mulai berjalan pulang. Entah apa alasannya. Namun, lima menit kemudian, saya pun termasuk mereka yang berdiri dan lalu berjalan keluar mesjid. Saya pikir, percuma ada di dalam mesjid jika kita tidak bisa mendengarkan ceramah secara jelas.
Bolehkah sebagai jamaah saya memberi saran. Pada saat diadakannya ceramah umum atau tabligh akbar, alangkah baiknya jika semua sound sytem dicek kondisinya, agar suara yang muncul dapat didengar dengan jelas di semua tempat baik itu di dalam atau di luar ruangan mesjid. Akan lebih bagus – dan saya memiliki keyakinan bahwa memang sudah ada juklak juknisnya – untuk mengecek secara berkala kondisi sound system-nya. Mudah-mudahan tidak terlena dengan kondisi sound system yang sepertinya oke karena dipakai oleh penceramah atau ustadz yang bersuara nyaring, meledak-ledak. Tapi, cek juga kondisinya jika dipakai oleh penceramah yang bersuara standar atau yang cenderung pelan atau lembut.
Saran saya ini dikemukakan mengingat akan sangat kasihan jamaah-jamaah yang baru datang, dengan semangat menimba ilmu agama yang begitu tinggi, terlepas dari kendala keduniawian – seperti waktu, macet dll, tetapi dihadapkan kepada kondisi di dalam mesjid dengan ceramah yang tidak terdengar.
Meski saya memiliki keyakinan bahwa pihak mesjid pun akan selalu bebenah, tapi mudah-mudahan saran terbuka ini lebih memberikan dukungan serta memperlihatkan urgensi perbaikan.