Apa yang membuat Teh Ai down selama bekerja?
Jauh dari anak dan keluarga mah tidak perlu diceritakan lagi ya. Ya, gimana ya. Sebagai ibu gitu loh. Di luar itu ada dua hal yang pernah membuat down dan terasa menyakitkan.
Pertama ketika alat-alat survey datangnya telat. Sebagai leader, saya kan bertanggung jawab terhadap pencapaian kerja tim. Tapi kalo alat-alat datang telat, saya sampai pengen nangis, karena pastinya target performance jadi tidak tercapai. Apalagi jika tahu bahwa keterlambatan itu adalah akibat sesuatu yang sebenarnya bisa dihindari oleh orang lain yang bertugas. Padahal, pekerjaan hidro-oseanografi itu tergantung iklim dan waktu, jadi telatnya alat akan sangat berpengaruh..
Hal lain yang dirasakan menyakitkan adalah omongan orang. Ketika ada yang nyeletuk ‘Ih, kasihan amat yah saking butuh duit sampe tega ninggalin anak?”. Itu beneran menyakitkan, apalagi yang ngomong itu perempuan. Padahal kan belum tentu dia tahu latar belakang alasan saya kerja. Padahal saya ingin tidak menggunakan keperempuannan saya untuk menghindari tugas.
Apa yang menjadi kegalauan atau dilema Teh Ai sebagai ibu bekerja?
Mencari cara bagaimana supaya bisa tetap bekerja secara profesional dan menjadi ibu yang baik dengan menjaga kebersamaan dengan keluarga memang merupakan perjuangan yang amat sangat berat. Dulu saya pernah menyalahkan keadaan atau menyalahkan siapa saja yang bisa saya salahkan. Tapi seiring berjalannya waktu rasanya sudah lama tidak menjadi persoalan dalam keluarga, dengan memahami berbagai risikonya dan berusaha memposisikan diri secara tepat. Dengan berfikir bahwa saya punya pilihan, semua ibu punya pilihan dan semua perempuan juga punya pilihan. Dengan begitu setidaknya saya selama ini masih bisa mengatasi dilema itu.
Katanya siiiih jenis pekerjaan atau profesi saya ini dan jam kerjanya agak sedikit ‘tidak ramah keluarga’, karena kerap harus meninggalkan keluarga dalam jangka waktu tertentu yang lebih lama dari jam kerja normal. Ya kantor saya bisa dibilang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Tapi buat saya sama saja yang namanya bekerja dimanapiun dan profesi apapun bahkan jadi ibu rumah tanggapun, tetap harus profesional mempergunakan waktu. Tapi yang terbaik bagi saya belum tentu menjadi terbaik bagi orang lain. Intinya, masing-masing punya pilihan. Kalau memilih berhenti bekerja dan mengondisikan diri untuk menjadi seorang ibu rumahtangga sepenuhnya berarti harus siap dengan segala konsekuensinya demikian pula kalau memilih tetap bekerja harus bisa mengatasi berbagai hal yang juga akan muncul sebagai akibatnya. Dan semua perempuan harus menghormati dan mendukung pilihan yang dibuat perempuan lainnya demi keluarganya bukan malah menghakiminya.
Apakah suka ada perasaan bersalah?
Memang sih seberapa keraspun usaha saya untuk menyeimbangkan peran, tetap saja perasaan bersalah akan muncul. Terlebih, tidak semua orang di kantor mungkin paham dengan kondisi kita yang sebelum berangkat ke kantor harus mengurus anak-anak atau kerepotan ala ibu ibu lainnya. Atasan dan rekan kerja di kantor pasti menuntut kita tetap bekerja optimal di kantor maupun di lapangan. Apalagi sistim penilaian Pegawai Negeri Sipil saat ini juga melihat dari kontrak kinerjanya. Sementara di rumah, suami dan anak anak juga harus mendapatkan perhatian yang terbaik dari istri dan ibunya.
Alhamdulillah bisa tiba di kantor dan menyentuh finger print tepat beberapa menit sebelum jam 7.30. Sorenya harus dipastikan sudah ada di rumah sebelum anak-anak datang. Itulah keseharian saya saat ini agar keluarga di rumah merasakan memiliki ibu dan istri.