Lalu muncul ke atas panggung itu siswa TKB berjilbab beserta ayahnya. Juga ibunya. Dan kakaknya. Di tangan-tangannya, mereka memegang lingkaran-lingkaran dari kertas karton bekas yang diwarnai. Ukurannya berbeda-beda. Lalu si Ayah mulai bercerita tentang gerhana matahari total yang menimpa Indonesia. Dia berdialog bersama sang Anak, si kakak dan juga ibunya. Bermain peran sebagai mentari, bulan dan bumi tempat dipijaknya. Diakhiri dengan senyum cerita.
Panggung lalu kemudian berganti dihuni sebuah keluarga muda. Ayah berperan sebagai pencerita. Ibu melakukan profesi ganda: sebagai ratu dan sebagai emban pembantu. Si Anak dan kakaknya sejenak menjadi putri. Princess Muslimah. Cerita mengalir. Dialog mencair. Permainan peran berjalan. Akhir segmen pun penuh tepuk tangan.
Itulah puncak acara Book Week yang seru, gembira dan ceria. Puncak acara di mana terjadi kedekatan antara orang tua dan sekolah. Juga hubungan anak dan orang tua serta keluarga diperlihatkan. Kulminasi sebuah proses pendekatan orang tua dan keluarga dengan anak yang telah dimulai seminggu sebelumnya.
Itulah tatkala para Bunda Guru mencetuskan acara seminggu bertema buku. Aktivitas di mana anak diminta untuk membawa buku yang sudah dibacanya, meminta mereka membaca buku bersama orangtua dan keluarganya, lalu bercerita di depan teman-temannya. Tak lupa para Bunda meminta mereka semua ikut berlomba bercerita bersama keluarga, berupa dialog dengan memakai alat peraga yang berasal dari barang daur ulang dan tidak berharga. Ya. Dialogue sebagai percakapan dengan engagement dua arah. Ada chemistry. Bukan dialogue sebagai dia, lo dan gue, berjalan sendiri-sendiri. Tidak artifisial.
Seminggu itu anak didik berdekatan dengan orang tua dan keluarga, berlatih bersama untuk lomba, berdiskusi menentukan cerita, dan saling bahu membahu membuat alat peraga. Dan rengekan anak ingin piala hadiah lomba, bolehlah menjadi pemantik sang ayah atau bunda menyisihkan sedikit waktu kerja atau waktu setelah kerjanya untuk berusaha bersama-sama. Agar anak bahagia. Dan acara puncak di akhir minggu? Ah, sekali berkorban, merelakan me-time. Kenapa segan? Let’s having fun.
Perang antar generasi? Mari nikmati bermain peran.
Tidak ada fun atau keceriaan jika chemistry antara orang tua dan anak tidak menyambung. Dan tidak menyambung orang tua dan anak karena memang mereka berasal dari dunia yang berbeda, dari generasi yang berbeda. Keukeuh dengan dunia di generasinya, muncullah elu dan gua tadi. Jadilah dia.lo.gue, bukan dialogue. Harus memahami dan menempatkan diri di generasi anak? Tidak semudah yang diduga. Juga tidak seikhlas yang disangka. Memaksakan diri? Biterhamen, bibir tersenyum, hati menjerit. Hati gundah gulana. Gelisah tak terkira. Lalu, terjadi armagedon – perang antar generasi. Gen-war.
Hm... a little bit lebay. Karena sejatinya kunci menyelami dunia anak adalah menjadi anak.
Kembali ke acara Book Week di sekolah itu. Penulis diminta istri untuk tampil bersama si Bungsu di acara puncak itu. Konsekuensinya, kami berdua banyak bertinteraksi dan berkomunikasi, mulai dari pemilihan tema, bagaimana dialog yang akan dijalin, dan tentu saja alat peraga apa yang mau dibuat. DI sini penulis yang merupakan Generasi X, berusaha masuk ke alam Generasi Z atau iGen. Penulis mencoba bermain peran. Dan peran yang coba dipahami adalah bagaimana Generasi Z memanfaatkan gadget dan teknologi dalam kehidupan atau permainan sehari-hari.
Itulah tatkala penulis bersama anak mencari tahu dari google tentang alat peraga dari bahan daur ulang apa yang menarik dibuat. Lalu bersama-sama pula kami lihat bagaimana cara membuat alat peraga itu melalui youtube. Bahkan penulis memanfaatkan sosial media, seperti facebook, untuk meminta pendapat orang tua lain, atau mensharing apa yang akan kita lakukan.
Saat itu, penulis secara diam-diam sudah bermain peran. Peran sebagai seorang anak generasi terkini yang akrab dengan gadget. Apapun hasilnya, yang pasti terjadi komunikasi, terjadi kedekatan, dan terjadi pemanfaatan gadget terkini. Bermain peran lah, dan perang antar-generasi pun bisa teratasi.