Terus terang saya membawakan cerita tentang profesi itu hanya sedikit saja karena anak-anak sedikit sulit menangkap. Jadinya, saya ubah pendekatannya ke tanya jawab dengan penekanan kepada belajar, membaca, enjoy melakukan sesuatu untuk keberhasilan, tidak terlalu fokus ke profesi. Tanya jawab pun diusahakan mereka yang bertanya. Kalaupun saya bertanya untuk memancing, saya lakukan dengan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya atau tidak, diikuti pertanyaan susulan sedikit terbuka. Ini dilakukan karena saat saya memberi pertanyaan langsung terbuka, mereka cenderung susah menjawabnya.
Demikian pula dengan cerita tentang aktivitas menulis. Saya perlihatkan satu buah piala yang saya punya: Juara 1 menulis tentang Taman Mini yang diadakan Kompasiana. Saya kemukakan kebanggaan saya itu karena saya bisa menulis, dan membandingkan piala saya dengan piala si Ade. Ternyata saya bisa seperti si Ade, dapat piala. Ini dimaksudkan selain si Ade memiliki kebanggaan karena prestasinya diakui, juga memperlihatkan bahwa ayahnya dan si Ade pun berlomba berprestasi. Saya sebenarnya bisa menggunakan buku saya sebagai acuan keberhasilan menulis, tetapi saya pikir anak kecil belum begitu mengerti mengenai hal itu. Namun demikian, penekanan saya lebih kepada menghubungkan kegiatan membaca, bercerita dan menulis dengan enjoy dan dinikmati.
The power of finger doll
Kelas inspirasi KW2 saya diakhiri dengan memberikan sedikit cendera mata. Saya minta semua anak mengacungkan telunjuknya sambil menutup matanya. Kemudian, satu demi satu saya sarungkan boneka jari yang sudah disiapkan ke tiap jari telunjuk anak-anak. Ya, boneka jari yang cukup murah itu menjadi oleh-oleh buat mereka. Di samping itu, saya berharap boneka itu bisa memfasilitasi mereka bercerita kepada orang tuanya. Anak-anak berteriak senang. Dan ini ternyata membuat beberapa anak berlaku “curang” dengan membuka matanya, melihat boneka-boneka yang saya pegang, dan “memesan” bonekanya – “Om, saya pingin yang pink”. Ah, dasar anak.
Ada admirer, pesawat mendarat di Monas, Bu Raden cilik dan ketemu kembaran
Ada beberapa hal menarik yang terjadi di Kelas Inspirasi KW2 ini. Ternyata saya mendapatkan admirer a.k.a pengagum juga loh. Ya, di beberapa kesempatan, dua tiga orang anak selalu membuntuti saya. Ada saja yang mereka ceritakan atau tanyakan. Hal-hal sepele, termasuk tentang kegiatannya minggu kemarin bersama ayah-ibunya, keinginannya, prestasinya. Pokoknya seperti curhat. Di posisi ini saya harus bertindak seperti ayah mereka. Jadi ya saya coba dengarkan dan coba memberi komentar, sesedikit apapun komentar itu. Dan tidak lupa ingat dengan saran istri “senyum ya Yah”.
Salah satu dari mereka ternyata curhat yang lucu, yaitu dia “kemarin kita naik pesawat ke Monas”. Entahlah apa maksudnya. Saya tidak boleh bersuudzon jika dia berkata sombong. Bisa jadi anak itu mau mengemukakan sesuatu yang lain, tapi masih belum bisa mengartikulasikannya dalam bahasa yang benar. Itulah proses, bukan?
Di satu area lain, beberapa anak membentuk kelompok sendiri dan sibuk dengan boneka-boneka di tangan. Satu orang yang terlihat sedikit dominan kemudian mengatur, berbagi peran. Dia juga menentukan dongeng apa yang diceritakan. Satu anak mencoba berargumentasi, sementara anak lain cenderung diam nrimo. Lalu, mengalirlah cerita-cerita mereka. Inilah yang paling amazing. Bagaimana seorang anak mengemukakan sebuah cerita yang dia ucapkan tanpa dia sendiri persiapkan sebelumnya. Istilah di percakapan klub pidato Toastmaster adalah impromptu. Dia – atau mereka – seperti memetik sendiri ide cerita dari langit, dan lalu langsung diceritakan di depan temannya.