Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Ketapels–Berdaya] Ini Bukan Simbol Metal, Darling. Ini C.I.N.T.A

17 April 2016   14:49 Diperbarui: 17 April 2016   14:58 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Yang menarik dari Komunitas Tuna Rungu ketemu Blogger)

Pada tanggal 10 April 2016 kemarin, Komunitas Kompasianer Tangsel Plus (Ketapels) mengadakan acara perdana. Acara itu adalah menghadiri acara “Komunitas Tunarungu Jumpa Blogger: Sebuah Misi Pemberdayaan”. Acara ini dilaksanakan dalam rangka ulang tahun pertama Deaf Cafe Fingertalk. Acara diskusi yang mengasyikan inin menghadirkan Dissa Syakina Ahdanisa – pemilik Deaf Cafe Fingertalk, Pingkan Carolina Rosalie Warouw – Ketua Inasli (Indonesian Sign Language Interpreter) dan Pat Sulistyowati – mantan Ketua Gerkatin (Gerakan Kesejahtereaan Tunarungu Indonesia). Acara tersebut dihadiri sekitar 15 orang anggota Ketapels, plus dua undangan – duo Thamrin (Thamrin Sonata dan Thamrin Dahlan).

Selain mengasyikan, ternyata ada beberapa hal menarik muncul dari acara seru tersebut, bahkan cukup mengejutkan. Inilah dia.....

Three in One

Saat awal acara, saya kebingungan. Saya yang duduk bisa dikatakan paling depan, melihat seseorang perempuan berbaju hitam duduk sendirian membelakangi audiens, dan berhadapan dengan satu orang panelis. Bingung. “Nih orang kok duduknya sendirian di depan. Jangan-jangan dia adalah penerjemah bahasa isyarat yang sedang latihan? Atau justru sedang ujian?”. Perempuan ini jarang sekali menengok ke belakang, karena tangannya sibuk berbicara. Kesibukan yang sama yang juga dilakukan oleh pria muda di belakang Bu Pinky yang sedang berbicara.

[caption caption="Perempuan berbaju hitam membelakangi audiens | Foto: Rifki Feriandi"][/caption]Dari kupasan Bu Pinky, penulis lalu siapa perempuan berbaju hitam itu. Beliau adalah interpreter yang menerjemahkan apa yang Bu Pingky (atau siapa-pun yang berbicara) diskusikan. Apa yang beliau sampaikan dengan bahasa tangan adalah untuk konsumsi Bu Pat, yang persis berada di depannya. Bukan untuk konsumsi orang lain. Sementara itu pria muda, yang juga seorang ustadz, yang berdiri di belakang Bu Pinky, menerjemahkan untuk konsumsi deaf-deaf lainnya yang berada di belakang audiens. Dan Bu Pinky sendiri, sebagai pembicara berbicara dengan bahasa Indonesia, dan sesdekali menguatkan dengan bahasa isyarat.

Seperti itulah sedikit “kerepotan” biasa dalam sebuah diskusi dengan komunitas tuna rungu. Ada tiga “pembicara” dalam satu forum. Dan menurut Bu Pinky, seorang interpreter bisa melakukannya dengan duduk, terbatas jika audiens tulinya tidak lebih dari lima orang. Lebih dari itu, interpreter melakukannya sambil berdiri.

 [caption caption="Tiga penerjemah bahasa isyarat untuk satu forum | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption]Dan ternyata, perempuan berbaju hitam itu bukanlah interpreter yang sedang ujian. Beliau adalah Bu Sasanti, seorang interpreter bahasa isyarat senior, yang sering kita lihat di beberapa acara di teve pagi hari.

Forever Young a.k.a Biterhamen

Jika kita memperhatikan bagaimana Bu Pinky berbicara dengan bahasa isyarat, maka mau tidak mau kita akan tersenyum. Ekspresinya itu loh. Kalau sedih, facial expressionnya terlihat cemberut. Jika semangat, demikian pula, rautnya berubah menjadi bergairah. Gerakan mata dan gestur kepalanya selalu berubah. Semuanya disesuaikan dengan tema atau konteks pembicaraan saat itu.

[caption caption="Bu Pinky dengan ekspresinya | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption] “Ekspresi itu sangat penting dalam bahasa isyarat”, begitu suatu ketika beliau berbicara. Kenapa hal itu penting? Karena ada kalanya beberapa sign atau isyarat yang dipakai akan memiliki arti berbeda, dan akan tergantung dari tema atau konteks pembicaraan saat itu.

[caption caption="Ekspresi lain Bu Pinky | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption]Itulah kenapa secara berkelakar saya tebak usia Bu Pinky adalah 17 tahun, mengingat wajah beliau selalu berwarna dan ceria atau biterhamen. Biterhamen = bibir harus tetap tersenyum meski hati menjerit. Tapi, beneran loh. You look young Bu Pinky. Aiih.

Superman is dead, but not superwoman

Di lini masa ramai dikupas tentang Superman yang mati di film terakhirnya. Secara berkelakar, penulis berkata bahwa Superman memiliki resiko tinggi, karena memakai celana dalam di luar. Padahal resiko tinggi pun dipunyai sign language interpreter, sebagai sebuah pekerjaan superwoman loh. But hey they survive.

[caption caption="Alfabet Sign Language di dinding Deaf Cafe | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption] Dalam uraiannya, Bu Pinky berkata bahwa sign interpreter itu adalah pekerjaan dengan tingkat stress tertinggi kedua setelah Dokter Bedah syaraf. Cukup kaget juga dengan kenyataan ini, tetapi rasanya bisa dipahami tingkat tekanannya mengingat beberapa hal berikut.
  • Penerjemah bahasa isyarat berlomba dengan waktu, karena umumnya dia yang berbicara – dengan pembicaraan yang harus diterjemahkan, melakukannya dengan kecepatan berbicara yang normal, cenderung cepat. Sementara itu penerjemahan ke bahasa isyarat tidak bisa secepat penerjemahan bahasa asing.
  • Penerjamahan ke bahasa isyarat tidak dilakukan kata per kata, karena jika itu dilakukan, maka pasti akan memakan waktu, dan akan susah untuk dipelajari.
  • Seorang interpreter melakukan beberapa proses yang lebih banyak sebelum menerjemahkan sebuah percakapan ke dalam bahasa isyarat. Mereka harus memahami apa yang dibicarakan. Lalu menyimpulkan apa yang dibicarakan itu. Dan lalu berpikir sign atau isyarat apa yang cocok untuk mewakilinya. Bukan hanya cocok, tetapi apa bahasa isyarat yang bisa dimengerti audiensnya. Dan itu semua harus dilakukan secara cepat, karena si pembicara (seperti pembawa acara teve) tidak bisa menghentikan pembicaraannya hanya untuk mengakomodasikan hal ini.
  • Kesulitan akan bertambah banyak jika menghadapi pelafalan nama, atau istilah yang sulit. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan mengejanya. Jadi waktu dan usaha yang dilakukan lebih dahsyat.

[caption caption="Penulis bersama Sign Language Interpreter Senior, Bu Pingky (ka) dan Bu Sasanti (ki) | Foto: Gaper Fadli"]

[/caption] Meski beresiko, sign interpreter itu hebat ya. Seperti superwoman

It’s not heavy metal, men. It is L.O.V.E

[caption caption="Foto bersama - terlihat sign "I love you" | Foto: Gaper Fadli"]

[/caption]Dalam acara tanya jawab, para peserta diskusi banyak bertanya tentang isyarat tangan. Beberapa isyarat yang bisa gampang dipelajari adalah “terima kasih”, “selamat pagi’ dan “I love you”. Saat diberitahu tentang simbol isyarat “I love you”, yaitu telapak tangan dibuka, tetapi jari tengah dan jari manis terlipat, spontan beberapa teman Ketapels berseru “sama dengan simbol metal dong”. Iya, memang simbol “I love you” itu mirip dengan simbol metal

[caption caption="Simbol metal | Foto: ebay.com"]

[/caption]Bu Pinky sedikit menjelaskan bahwa simbol metal adalah seperti simbol “I love you” tetapi diperlihatkannya dibalik. Jadi untuk simbol metal, audiens melihat punggung tangan, sementara untuk simbol “I love you”, audiens melihat telapak tangan.

[caption caption="Simbol metal banget | Foto: the-gtm-files.blogspot.com"]

[/caption] Lebih jauh penulis melakukan pencarian dari google tentang simbol metal. Ternyata, simbol metal sebenarnya adalah seperti simbol “i love you”, dengan jari tengah dan jari manis terlipat, tetapi jari jempolnya pun terlipat di atas jari tengah. Dan untuk simbol “metal banget”, maka jempol terlipatnya tidak berada di atas jari tengah, melainkan di atas jari manis

LOL – Let (it) Out Load

Terkadang, kita suka kasihan kepada teman kita tuna rungu. Berbeda dengan para tuna netra yang dari tampilan fisiknya terlihat, para tuna rungu itu secara fisik tidak berbeda. Namun, jika mereka sudah mulai berbicara, terkadang kita mentertawainya. Sekalinya kita tahu dia itu tuli, lalu berbicara dengan bahasa yang terkadang tidak dimengerti, biasanya kita lalu sedikit mundur. Apalagi jika kita temui intonasi suaranya cenderung tinggi, seperti sedang marah

Itu juga yang penulis hadapi ketika Bu Pat memulai berbicara. Beliau yang deaf tetapi bisa membaca bibir, ternyata bisa berbicara, meski terbatas. Namun ada kekagetan, karena nada bicaranya seperti sedang marah. Namun itulah kenyataan yang harus dipahami. Mereka yang tuli tidak pahan jika nada suaranya itu tinggi atau rendah, karena memang mereka tidak mendengar. Jadi, kita sebagai seorang yang hearing – mendengar, justru harus lebih memahami hal ini.

[caption caption="Bu Pat dengan semangatnya | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption] (Don’t) Clap your hand, please. Be a Putri Indonesia

Wajarnya jika kita mengapresiasi sesuatu hal, kita akan bertepuk tangan. Itu juga yang kami lakukan. Namun, Bu Pinky lalu sedikit memberi saran. “Tepuk tangan kita tidak akan didengar para tuli”. Maka dari itu, beliau memperkenalkan cara tepuk tangan yang diterima para tuli sebagai sebuah tepuk tangan. Cara itu adalah melambaikan tangan seperti halnya Putri Indonesia – tapi jari-jarinya tidak perlu tertutup. Dan itu dilakukan oleh dua belah tangan secaar bersamaan. Ya, mirip cheerleader lah.

One (is not) for all

“Enak ya kalau bisa bahasa isyarat. Kalau kita pergi ke luar negeri, bisa langsung dimengerti”.

Apakah ada pemikiran seperti itu di benak Anda? Terus terang, itu yang ada di benak penulis saat sebelum acara. Namun kenyataannya ternyata jauh panggang dari api. Bu Pinky, Bu Sasanti dan Bu Pat yang bertahun-tahun berkecimpung di dunia bahasa isyarat mengemukakan bahwa justru kenyataannya bahasa isyarat itu begitu banyak. Tiap daerah memiliki bahasa isarat sendiri. Karenanya, apa yang dikuasai Bu Pinky di satu daerah, seperti Jakarta, belum tentu dimengerti mereka yang berada di Bandung. Kenapa hal ini terjadi?

[caption caption="Bercakap-cakap berbeda bangsa | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption] Jawaban sederhananya adalah karena mereka, para tuli, harus melakukan suatu upaya mendasar paling awal dalam berkomunikasi, dan itu biasanya didapatkan sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari awal. Bisa jadi, bahasa isyarat yang mereka dapatkan adalah yang biasa dikatakan sebagai bahasa Tarzan, yang penting terpahami, meskipun apapun isyaratnya itu. Dan itu bisa jadi karena bahasa isyarat baku – yang seharusnya lebih disosialisasikan ke daerah dan dipakai secara umum, belum mendapatkan pengakuan atau gampang digunakan.

What is a name? it is a NAME

 “What's in a name? that which we call a rose. By any other name would smell as sweet.” Itu kata Shakespeare. Apalah artinya nama.

Untuk mereka yang tidak bisa mendengar, sekarang kita sering memanggilnya dengan kaum tuna rungu. Sepertinya kata itu terdengar halus dibanding kata tuli, yang dulu sering dipakai. Namun, saat acara itu, kata tuli jauh lebih sering dipakai dibanding tuna rungu. Bahkan, Bu Pinky dan Dissa sebagai pemateri utama, memakai kata tuli dalam setiap pembicaraannya. Tentu saja akhirnya penulis tanyakan mengenai hal itu kepada mereka.

Bu Pinky menjawab bahwa komunitas tuna rungu tidak terlalu mempedulikan panggilan bagi mereka. Karena mereka tuli, diapnggil tuli pun sudah cukup. Biasa buat mereka. Mereka tidak mendapatkan kesan melecehkan dengan panggilan tuli. Bahkan mereka lebih terima

Tuli adalah kata yang lebih mereka senangi. Dan itu juga kata yang akan kami pakai mulai sekarang dalam tulisan-tulisan selanjutnya.

You are THE ONE

Kalau membicarakan orang tuli, maka satu orang yang muncul di benak penulis. Dialah Marlee Matlin. Beliau adalah orang tuli pertama yang mendapatkan piala Academy Award atau Oscar. Beliau adalah orang tuli yang membuka mata dunia bahwa seorang tuli bisa berprestasi dan berkilau. Dan Marlee Matlin lalu menjadi seorang inspirator, baik bagi orang tuli maupun bagi orang hearing – yang bisa mendengar, seperti kita-kita ini. Silakan googling dengan kata kunci “Marlee Matlin quotes”.

Satu kutipan Marlee Matlin yang saya sukai adalah ini:

[caption caption="Marlee Matlin quotes | Foto: likesuccess.com"]

[/caption] “I hope I inspire people who hear. Hearing people have the ability to remove barriers that prevent deaf people from achieving their dreams”.

Ya, orang yang mendengar, seperti kita-kita ini, memiliki kemudahan untuk menyingkirkan semua kendala yang bisa mengganggu dan mencegah orang tuli dalam menggapai keinginan dan mimpinya. Dan itulah yang sudah Dissa lakukan dengan Fingertalk Deaf Cafe-nya. Dan itu jugalah yang coba kita bantu lakukan oleh Komunitas Ketapels, sebisa dan semampu kita sebagai pegiat menulis di media sosial. Sehingga, sedikit banyak kita bisa bantu meningkirkan hambatan bagi komunitas tuli untuk maju.

[caption caption="Penulis bersama Dissa, pemilik Fingertalk Deaf Cafe | Foto: RIfki Feriandi"]

[/caption]New Kids on The Block

Dalam beberapa kesempatan pertemuan komunitas, penulis mengajak serta si Ade, anak bungsu usia TK. Maksudnya sih selain agar dia tahu aktivitas ayahnya, mendapatkan sesuatu hal yang baru, bisa bertemu teman-teman baru, dan ya...setidaknya dia lepas dari ibunya yang sudah mengurus seminggu penuh. Jadi, lumayan ada me-time sejenak buat si ibu.

Mengajak anak anak kecil itu seru. Mereka ya mirip lah dengan kelompok New Kids on The Block dahulu. Lucu-lucu, tidak bisa diam, aktif ke sana ke mari. Termasuk si Ade. Di awal acara, dia duduk tenang namun tidak tenang bagi ayahnya. Pasalnya adalah karena dia banyak bertanya. “Yah kenapa dia gak bisa ngomong”, “Yah, ibu itu bisa ngomong, tapi kok tangannya gerak-gerak”, “Yah, kalo mbak di sana ngapain”, dan pertanyaan lainnya. Jadi, ayahnya hilang konsentrasi.

Yang menyenangkan dan mengasyikan untuk diperhatikan adalah saat si Ade mengeksplore sesuatu hal yang baru. Itulah saat dia melihat pigura dengan simbol alphabet bahasa isyarat, dia langsung mempraktekannya. Lucu sekali melihat tangan-tangan mungilnya berusaha membentuk suatu isyarat, diikuti mulut dengan pipi tembemnya membentuk suatu huruf.

[caption caption="Mengeksplore bahasa isyarat | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption] Tapi kesenangan itu hilang jika dia sudah merengek “Yah, pinjam hape?”, dengan maksud main game. Saya agak cukup galak soal ini, makanya keseringannya menjawab “tidak!”. Dia lalu gak bisa diam, celingukan. Lalu berbisik, “Yah, lapar”. Baguslah, mendingan makan dibanding main game. Saya suruh dia menuliskan pesanan, lalu mempraktekan bahasa isyarat “terima kasih” – tangan kanan ke dagu lalu di bawa ke depan. Lumayan, kegian seperti ini menyita waktu. Sampai.....muncul komentar yang saya tidak sukai: “Ade bosen nih, Yah”. Kalau sudah begini, jebollah pertahanan ayahnya, dan ayahnya terpaksa tidak bisa berfoto karena hapenya dikuasai dia untuk bermain piano tiles. Hadeuh

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun