Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Ketapels–Berdaya] Ini Bukan Simbol Metal, Darling. Ini C.I.N.T.A

17 April 2016   14:49 Diperbarui: 17 April 2016   14:58 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itu juga yang penulis hadapi ketika Bu Pat memulai berbicara. Beliau yang deaf tetapi bisa membaca bibir, ternyata bisa berbicara, meski terbatas. Namun ada kekagetan, karena nada bicaranya seperti sedang marah. Namun itulah kenyataan yang harus dipahami. Mereka yang tuli tidak pahan jika nada suaranya itu tinggi atau rendah, karena memang mereka tidak mendengar. Jadi, kita sebagai seorang yang hearing – mendengar, justru harus lebih memahami hal ini.

[caption caption="Bu Pat dengan semangatnya | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption] (Don’t) Clap your hand, please. Be a Putri Indonesia

Wajarnya jika kita mengapresiasi sesuatu hal, kita akan bertepuk tangan. Itu juga yang kami lakukan. Namun, Bu Pinky lalu sedikit memberi saran. “Tepuk tangan kita tidak akan didengar para tuli”. Maka dari itu, beliau memperkenalkan cara tepuk tangan yang diterima para tuli sebagai sebuah tepuk tangan. Cara itu adalah melambaikan tangan seperti halnya Putri Indonesia – tapi jari-jarinya tidak perlu tertutup. Dan itu dilakukan oleh dua belah tangan secaar bersamaan. Ya, mirip cheerleader lah.

One (is not) for all

“Enak ya kalau bisa bahasa isyarat. Kalau kita pergi ke luar negeri, bisa langsung dimengerti”.

Apakah ada pemikiran seperti itu di benak Anda? Terus terang, itu yang ada di benak penulis saat sebelum acara. Namun kenyataannya ternyata jauh panggang dari api. Bu Pinky, Bu Sasanti dan Bu Pat yang bertahun-tahun berkecimpung di dunia bahasa isyarat mengemukakan bahwa justru kenyataannya bahasa isyarat itu begitu banyak. Tiap daerah memiliki bahasa isarat sendiri. Karenanya, apa yang dikuasai Bu Pinky di satu daerah, seperti Jakarta, belum tentu dimengerti mereka yang berada di Bandung. Kenapa hal ini terjadi?

[caption caption="Bercakap-cakap berbeda bangsa | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption] Jawaban sederhananya adalah karena mereka, para tuli, harus melakukan suatu upaya mendasar paling awal dalam berkomunikasi, dan itu biasanya didapatkan sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari awal. Bisa jadi, bahasa isyarat yang mereka dapatkan adalah yang biasa dikatakan sebagai bahasa Tarzan, yang penting terpahami, meskipun apapun isyaratnya itu. Dan itu bisa jadi karena bahasa isyarat baku – yang seharusnya lebih disosialisasikan ke daerah dan dipakai secara umum, belum mendapatkan pengakuan atau gampang digunakan.

What is a name? it is a NAME

 “What's in a name? that which we call a rose. By any other name would smell as sweet.” Itu kata Shakespeare. Apalah artinya nama.

Untuk mereka yang tidak bisa mendengar, sekarang kita sering memanggilnya dengan kaum tuna rungu. Sepertinya kata itu terdengar halus dibanding kata tuli, yang dulu sering dipakai. Namun, saat acara itu, kata tuli jauh lebih sering dipakai dibanding tuna rungu. Bahkan, Bu Pinky dan Dissa sebagai pemateri utama, memakai kata tuli dalam setiap pembicaraannya. Tentu saja akhirnya penulis tanyakan mengenai hal itu kepada mereka.

Bu Pinky menjawab bahwa komunitas tuna rungu tidak terlalu mempedulikan panggilan bagi mereka. Karena mereka tuli, diapnggil tuli pun sudah cukup. Biasa buat mereka. Mereka tidak mendapatkan kesan melecehkan dengan panggilan tuli. Bahkan mereka lebih terima

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun