Kindness is the language which the deaf can hear and the blind can see (Mark Twain)
Sepertinya sesederhana itulah kunci memberdayakan kaum yang selama ini terpinggirkan: KEBAIKAN. Kebaikan adalah bahasa yang didengar tuna rungu dan dilihat tuna netra. Dan itulah juga pesan yang ingin disampaikan dalam acara “Komunitas Tunarungu Jumpa Blogger: Sebuah Misi Pemberdayaan” yang dilaksanakan hari Minggu, 10 April 2016 dalam rangka memperingati ulang tahun pertama Kafe Tunarungu (Deaf Cafe) Fingertalk. Dengan kebaikan, yang diimplementasikan, maka tuna rungu pun bisa diberdayakan dan diangkat harga dirinya.
[caption caption="Aktivitas pertama Ketapels | Foto: Rifki Feriandi"][/caption]
Dan di Deaf Cafe ini pula lah kami mendapati empat “pilar” kebaikan dalam berdayakan tuna rungu. Disebut “pilar” karena ya mirip lah dengan istilah “pilar” dari sisi kebangsaan. Pilar itu adalah inspirasi, ahli, eksekusi dan sosialisasi.
Inspirasi
Mimpi bukanlah mimpi jika tidak diejawantahkan. Dan untuk mendapatkan mimpi yang mudah diwujudkan, butuhlah seseorang yang memiliki inspirasi. David Archuletta saja berani berkata bahwa tanpa inspirasi, kita hanyalah seperti sekotak korek api yang tidak pernah dinyalakan.
[caption caption="Penulis bersama Dissa, pemilik Fingertalk Deaf Cafe | Foto: RIfki Feriandi"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/04/16/img-3346-jpg-5711e5adaa23bd08072b9ebc.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Menghilangkan hambatan. Memberi kesempatan. Membantu meraih keinginan. Menebar kebaikan. Berdayakan.
Dengan berbekal pergaulannya yang luas, penyandang gelar S1 Business Administration dari Negeri Sakura dan S2 Professional Accounting dari Negeri Kanguru, Dissa yang sempat bekerja menjadi Business Analyst itu akhirnya lebih menjatuhkan pilihan bekerja sosial. Dan dari volunteer activity di Nicaragua sebagai pengajar bahasa Inggris, Dissa “dituntun” untuk datang ke sebuah kafe berjulukan Kafe Senyum. Kafe inilah – yang mempekerjakan para penyandang keterbatasan pendengaran dan bicara – yang memberikan inspirasi baginya untuk lalu membuka kafe sejenis di Indonesia dan bahkan menjadi kafe tuli pertama di Indonesia.
Ahli
Untuk merealisasikan impiannya, Dissa tentunya harus bertemu dan berkonsultasi dengan orang-orang yang ahli atau orang yang tepat yang memahami dunia ketunarunguan. Dan usaha dan takdir mengantarkan Dissa bertemu dengan Bu Pat.
[caption caption="Bu Pat, mantan Ketua Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia | Foto: Gaper Fadli"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/04/16/12963682-10206579709352238-1636655265995907755-n-5711e6b6d77a617207ea4d55.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Selain Bu Pat, Dissa pun terhubung dengan pakar-pakar bahasa isyarat, seperti Bu Pingkan “Pingky: Carolina Rosalie Warouw, Ketua Inasli – Indonesian Sign Language Interpreter dan Bu Sasanti T Soegiharto, juga seorang Sign Language Interpreter yang juga Instructor for English writings for preoffessional. Kedua ibu sering kita lihat di teve sebagai penerjemah pada acara berita.
[caption caption="Penulis bersama Bu Pinky (ka) dan Bu Sasanti (ki), dua Sign Language Interpreter senior | Foto: Gaper Fadli"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/04/16/12963618-10206579824355113-5720073507051404532-n-2-5711e75809b0bd9f24c195de.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Eksekusi
Dalam pelaksanaan idenya, Dissa didukung oleh Bu Pat dalam menemukan talent-talent tuna rungu yang mendukung suksesnya operasional bisnis kafenya. Ada lima orang kru tunarungu yang membantu Dissa untuk mengelola kafe, termasuk Frisca sebagai juru masak. Untuk melengkapi bisnisnya, Dissa pun melengkapi kafe dengan workshop untuk para tunarungu, di mana hasil kerajinannya pun – berupa kain batik dan kerajinan tangan lainnya – dijual di kafe tersebut. Di area workshop ada Santi, deaf yang pandai menjahit.
[caption caption="Dissa bersama tim pengelola kafe | Foto: Gaper Fadli"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/04/16/12987059-10206579705752148-7515182855530461757-n-5711e80e587b61e4261d6b44.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
[caption caption="Dissa bersama Santi dari bagian workshop | Foto: Gaper Fadli"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/04/16/12938341-10206579706512167-8489144211241103926-n-5711e858ee9673b505b4973b.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Sosialisasi
Sebuah kegiatan mungkin tidak akan begema luas jika tidak disosialisasikan. Apalagi jika kegiatan itu berupa kegiatan sosial, yang mana memiliki tujuan lain yaitu sebagai pemberdayaan. Termasuk dalam “tujuan lain” itu adalah penyadaran tentang ketidakmengertian, dan pelurusan sebuah ketidakpahaman. Di sinilah sebuah media memegang peranan. Dan di era kini, peranan itu bisa aktif dilakukan oleh media sosial.
[caption caption="Foto bersama empat "pilar" berdayakan tuna rungu | Foto: Gaper Fadli"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/04/16/12993495-10206579698711972-4367087524566827595-n-5711e8cdee96732a05b49763.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Komunitas Ketapels – Kompasianer Tangsel Plus – sebagai sebuah komunitas di bawah naungan Kompasiana – Kompas, melihat hal ini sebagai sebuah area dimana para anggotanya bisa berkontribusi aktif dalam kegitan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai komunitas dengan aktifitas menulis, Ketapels mencoba bersinergi dengan Fingertalk dalam hal mensosialisasikan kegiatan-kegiatan sosial bermanfaat, termasuk membuka wawasan masyarakat tentang ketunarunguan. Karenanya, Ketapels sangat menyambut ajakan dan undangan dari Fingertalk dalam acara memperingati ulang tahun pertama Fingertalk – Deaf Cafe.
[caption caption="Kolaborasi Ketapels & Fingertalk Deaf Cafe | Foto: Gaper Fadli"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/04/16/13001157-10206579704592119-7957566554946749311-n-5711e93840afbd5307a03c1b.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Dalam acara ini, para penulis Kompasiana dari komuitas Ketapels menuliskan reportase kegiatan acara tersebut termasuk dengan segala informasi yang melingkupinya, dan mempostingnya secara bersamaan. Tulisan ini adalah termasuk satu di antaranya. Diharapkan dengan keterlibatan komunitas Ketapels, didapatkan sinergi yang hebat antara empat pilar tersebut, sehingga pemberdayaan tuna rungu di Indonesia, atau setidaknya pada skala kecil di Pamulang, Tangerang Selatan, akan lebih tepat, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI