Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

IBF: Antara Buku, Santri, Halilintar dan Judul Buku yang Nyeleneh

4 Maret 2016   13:43 Diperbarui: 5 Maret 2016   01:32 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Buku yang dipilih | Rifki Feriandi"][/caption]Kalap!!

Begitulah reaksi jika ada pameran buku. Dan beginilah nasib menjadi kutu buku. Betah berjam-jam. Betah berpegal kaki. Betah nahan haus dan lapar. Betah melototin tumpukan buku satu-satu. Betah ngaduk-ngaduk tumpukan buku. Betah...mencari buku yang tidak ada.

IBF – Islamic Book Fair 2016

Istora Senayan sepertinya menjadi tempat favorit pameran buku, termasuk pameran yang akan berlangsung sampai tanggal 6 Maret 2016 bertajuk Pameran Buku Islam terbesar. Memang besar sih, lebih besar dibandingkan dengan pameran buku rutin Ikapi. Besarnya pameran terlihat dari penuhnya ruangan pameran di dalam gedung Istora, hall utama, ditambah dengan beberapa ruangan-ruangan baru berbentuk tenda. 

Keseriusan penyelenggara terlihat dengan menyediakan fasilitas lengkap, termasuk halal food court, musola yang besar dengan keran wudu yang banyak dan bahkan menyediakan wahana permainan buat pengunjung yang membawa anak kecil atau balita. Di lantai atas Istora bagian luar juga tersedia kios-kios yang menjual barang-barang non-buku, semisal kerudung, kopiah, baju muslim, makanan dan obat-obatan herbal dan lain-lain.

Buku murah, kompasianer dan buku yang tidak ada

Sebagai pameran bertema Islam, maka ajang ini adalah surga bagi mereka yang mencari buku-buku Islam yang mungkin jarang didapat di toko buku yang ada, semisal Gramedia. Termasuk di dalamnya buku-buku referensi yang berjilid-jilid dan buku atau kitab berbahasa Arab. Para pengunjung dimanjakan dengan potongan harga, mulai dari 10%-an yang ah terlalu standar – karena di Pasar Buku Palasari atau Pasar Senen pun diskonnya lebih besar dari itu - sampai dengan diskon 70%-an. Selain itu beberapa penerbit pun menjual buku-buku obral, dengan harga mulai lima ribu rupiah sampai dengan 30 ribu rupiah untuk buku cukup bagus meski edisi lama.

Selain buku-buku bertema Islam, tersedia juga buku-buku umum universalis. Di sinilah penulis menemukan buku karya penulis-penulis di Kompasiana. Sebagai Kompasianer, ada rasa bangga melihat beberapa buku karya Kompasianer lainnya menyelip di antara tumpukan buku-buku itu. Ada buku dari penulis yang sudah menerbitkan berpuluh-puluh buku. 

Ada juga buku dari penulis spesialis masalah rumah tangga. Dan yang membuat penasaran adalah buku anak best seller warna merah muda yang sepertinya cocok buat si Ade, si bungsu. Buku itu karangan penulis keren yang mulai berteman di medsos setelah cerita anak karangan saya dan beliau berada dalam deretan sekian besar lomba cerita anak dulu. 

Sayangnya, buku bergambar princes itu terbit dalam edisi keren (istilah lama mah luks) dengan kertas yang bagus dan berwarna, sehingga wajar ada harganya. Ada harga ada rupa. Eh, kebalik. Ada rupa ada harga. Andaikan saja penerbit buku itu mencetak edisi murah meriah, tentunya banyak keluarga lapisan masyarakat menengah bawah akan tertolong dan mendapatkan edukasi Islami dari buku yang keren itu.

Di luar buku-buku itu, sayang di sayang tidak terlihat buku karya penulis Kompasianer lainnya: Rifki Feriandi berjudul Cara Narsis Bisa Nulis (CNBC). Halah.

Bukan buku yang tidak ada (macam CNBC) yang dicari, tetapi ajang pameran adalah acara tepat mencari buku-buku murah dengan topik menarik, meski edisi lama. Bukankah pengetahuan dari buku itu bisa lintas waktu. Dan inilah buku obralan yang pindah tempat ke kantong saya – yang sayangnya masih pakai plastik dan tidak dikenai bea dua ratus rupiah: Een Sukaenah, Sang Guru Qalbu karangan Zainudin HM, Pelajaran Hidup Surah Yusuf karangan Dr. Fuad Al-Aris, Wajah Sejuk Agama karangan Jamal Rahman dan Tambora 1815 karangan Gillen D’arcy Wood.

 Untuk Si Ade yang masih di TK, pindah juga buku-buku mewarna lima ribuan bertema princes seperti kesukaannya, dan Cara Gaul Anak Saleh karangan Bambang Oeban serta Ini Buku Noor Satu - serba pertama di dunia Islam karangan Nurul Asmayani.

Santri itu cool bin keren

Saat berkunjung di hari Kamis, area pameran cukup penuh dengan pengunjung. Boleh dikata, saat itu hampir sebagian besar pengunjung adalah anak sekolah. Figur-figur beruban, agak botak dengan tampang penuh tekanan batin karena disangka tua, maksudnya seperti penulis, bisa dihitung lah, meski tentunya lebih banyak dari jari tangan dan kaki. Anak-anak sekolah pun terlihat lebih banyak yang berasal dari sekolah islam atau pesantren. Mereka datang berombongan, disertai beberapa pengawal – maksudnya pembimbing.

Macam-macam tipe anak-anak sekolah itu. Semuanya datang dengan memakai baju muslim sekolah. Yang pria memakai baju koko atau baju sekolah berdasi dan bahkan ada yang memakai jas. Yang perempuan memakai kerudung, banyak dengan kerudung syar’i – tidak penulis teliti apakah ada label halal di kerudungnya, dengan warna disesuaikan dengan sekolah masing-masing. Terlihat juga rombongan yang memakai baju dan kerudung warna hitam, lengkap dengan penutup wajah yang hanya menyisakan mata saja.

Apakah anak-anak – termasuk putri-putri yang memakai penutup wajah – itu terkesan ekstrimis, kumuh dan kuper?

No way. Lihatlah sendiri di sana. Kesan yang muncul adalah wajahnya mencerminkan keteduhan. Anak-anaknya teh tergolong PBB – Pria Baik-Baik. Wajah baik-baik, balageur. Penampilan enak dipandang mata – termasuk putri-putri yang berjilbab hitam itu. Mereka akrab satu dengan yang lain. Mereka dewasa, karena tidak dikuntit-kuntit oleh gurunya. Mereka pun tidak hanya menjadi pengunjung yang bisanya cuman melihat, melainkan juga terlibat dalam aktivitas jual beli itu. Dan mereka itu keren, men. Bagaimana tidak keren coba. 

Di toilet, penulis menguping beberapa dari mereka bercakap dengan bahasa Arab. Pada saat melakukan transaksi, penulis pun menguping lagi sebagian mereka berembug dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris. Itu yang dinamakan cool bin keren bagi penulis (yang baru mulai bicara bahasa Inggris waktu usia kerja dan bahwa menjelang senja pun tidak bisa berbahasa Arab atau bahasa Asing lain, selain bahasa Sunda – ups). Belum lagi jika ditambah dengan kemampuan dan kepedean mereka untuk unjuk kemampuan hafalan surat, yang dilombakan oleh beberapa penerbit. Dan di area utama, mereka beradu pintar dalam Cerdas Cermat (yang ingat Kak Tedy Resmisari, toss...kita sejaman).

Halilintar – hitam-hitam menggelegar

Menjelang akhir kunjungan, penulis dua kali bolak-balik melewati penerbit ini. Kata hati ingin masuk dan melihat dua buku (ingat, dua buku saja) yang diterbitkan, namun gimana ya. Ruangan penerbit ini penuh oleh anak-anak atau santri-santri sekolah. Tidak ada wajah dewasa mampir saat itu. Kali pertama, niat itu diurungkan. Tapi, spanduk bertuliskan HALILINTAR itu menarik sekali. Akhirnya kali kedua lewat, beruntung ada perempuan dewasa yang mendekati dan mengundang penulis masuk. Itulah anjungan (halah) penerbit genhmedia, yang menerbitkan dua buku tentang keluarga Halilintar.

Iyes. Itulah buku yang heboh dan menjadi pembicaraan tentang satu keluarga dengan sebelas orang anak. Iyes juga. Sebelas, seperti judul salah satu bukunya: Kesebelasan Halilintar karangan Lenggogeni Faruk. Itulah buku yang mengupas kehidupan keluarga dengan sebelas anak, yang trendi-trendi, fashionable, keren-keren, dan menjadikan family sebagai sebuah team. Keluarga yang ramah-ramah, terlihat dari respons beberapa dari mereka yang sudah dewasa – anak tertuanya cowok berusia dua puluh tahunan - yang penulis temui dan berfoto bersama. 

Selain ramah, tentunya mereka terawat sehingga wajar jika mereka good looking. Look at the men or boys. Anak-anak cowoknya dengan potongan rambut kekinian, yang pantas saja membuat antrian anak-anak sekolah putri mengular untuk berfoto bersama – meski tidak membeli buku. Dengan pribadi-pribadi yang keren dan isi buku yang sepertinya inspiratif ini – maklum belum baca, baru kebeli sih – sepertinya pas sekali jika disebut: Halilintar – hitam-hitam menggelegar.

Sayang, mungkin belum rejeki penulis tidak bertemu dengan ayah dan ibu gen Halilintar itu. Eh, tapi siapa tahu rejekinya malah mendapatkan undangan pribadi berkunjung ke rumahnya dan mengenal jauh lebih dekat keluarga itu langsung dibanding dengan membaca buku. Hmmm....Amin.

[caption caption="Bersama sebagian Halilintar | Rifki Feriandi"]

[/caption]

Judul buku yang nyeleneh

Pameran adalah ajang menjual buku. Buku dilihat dari judul. Judul yang biasa-biasa wae mah tidak akan ada yang menengoknya. Tetapi judul yang nyeleneh? Ya, meski belum tentu dibeli, setidaknya sudah cukup bisa membuat pengunjung menoleh, lalu berhenti sejenak, mengambil buku itu, membukanya dan membaca halaman yang dibuka. Selanjutnya ya terserah Anda. Buku hanya dipegang dan disimpan lagi pun rasanya mendingan, dibandingkan tidak ditoleh sama sekali. “Kan, sakitnya tuh di sini”, kata buku yang dicuekin itu.

Nah, dari hal-hal menarik di pameran buku Islam seperti buku-buku yang murah melimpah ruah, buku karya kompasianer, santri-santri yang cool bin keren, halilintar – si hitam-hitam menggelegar itu, penulis begitu terpikat dengan satu judul buku ini. Judul itu berbunyi: Ya Allah. Da Aku mah apa atuh.

Beneran. “Ya Allah. Da aku mah apa atuh”. Itu judul buku yang gue banget.

Namun, terpikat dengan judul belum tentu terpikat dengan bukunya toh.

Segitu aja deh cerita tentang IIBF

Cag, tiga bulan tiga, pulang jam tiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun