Bukan buku yang tidak ada (macam CNBC) yang dicari, tetapi ajang pameran adalah acara tepat mencari buku-buku murah dengan topik menarik, meski edisi lama. Bukankah pengetahuan dari buku itu bisa lintas waktu. Dan inilah buku obralan yang pindah tempat ke kantong saya – yang sayangnya masih pakai plastik dan tidak dikenai bea dua ratus rupiah: Een Sukaenah, Sang Guru Qalbu karangan Zainudin HM, Pelajaran Hidup Surah Yusuf karangan Dr. Fuad Al-Aris, Wajah Sejuk Agama karangan Jamal Rahman dan Tambora 1815 karangan Gillen D’arcy Wood.
 Untuk Si Ade yang masih di TK, pindah juga buku-buku mewarna lima ribuan bertema princes seperti kesukaannya, dan Cara Gaul Anak Saleh karangan Bambang Oeban serta Ini Buku Noor Satu - serba pertama di dunia Islam karangan Nurul Asmayani.
Santri itu cool bin keren
Saat berkunjung di hari Kamis, area pameran cukup penuh dengan pengunjung. Boleh dikata, saat itu hampir sebagian besar pengunjung adalah anak sekolah. Figur-figur beruban, agak botak dengan tampang penuh tekanan batin karena disangka tua, maksudnya seperti penulis, bisa dihitung lah, meski tentunya lebih banyak dari jari tangan dan kaki. Anak-anak sekolah pun terlihat lebih banyak yang berasal dari sekolah islam atau pesantren. Mereka datang berombongan, disertai beberapa pengawal – maksudnya pembimbing.
Macam-macam tipe anak-anak sekolah itu. Semuanya datang dengan memakai baju muslim sekolah. Yang pria memakai baju koko atau baju sekolah berdasi dan bahkan ada yang memakai jas. Yang perempuan memakai kerudung, banyak dengan kerudung syar’i – tidak penulis teliti apakah ada label halal di kerudungnya, dengan warna disesuaikan dengan sekolah masing-masing. Terlihat juga rombongan yang memakai baju dan kerudung warna hitam, lengkap dengan penutup wajah yang hanya menyisakan mata saja.
Apakah anak-anak – termasuk putri-putri yang memakai penutup wajah – itu terkesan ekstrimis, kumuh dan kuper?
No way. Lihatlah sendiri di sana. Kesan yang muncul adalah wajahnya mencerminkan keteduhan. Anak-anaknya teh tergolong PBB – Pria Baik-Baik. Wajah baik-baik, balageur. Penampilan enak dipandang mata – termasuk putri-putri yang berjilbab hitam itu. Mereka akrab satu dengan yang lain. Mereka dewasa, karena tidak dikuntit-kuntit oleh gurunya. Mereka pun tidak hanya menjadi pengunjung yang bisanya cuman melihat, melainkan juga terlibat dalam aktivitas jual beli itu. Dan mereka itu keren, men. Bagaimana tidak keren coba.Â
Di toilet, penulis menguping beberapa dari mereka bercakap dengan bahasa Arab. Pada saat melakukan transaksi, penulis pun menguping lagi sebagian mereka berembug dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris. Itu yang dinamakan cool bin keren bagi penulis (yang baru mulai bicara bahasa Inggris waktu usia kerja dan bahwa menjelang senja pun tidak bisa berbahasa Arab atau bahasa Asing lain, selain bahasa Sunda – ups). Belum lagi jika ditambah dengan kemampuan dan kepedean mereka untuk unjuk kemampuan hafalan surat, yang dilombakan oleh beberapa penerbit. Dan di area utama, mereka beradu pintar dalam Cerdas Cermat (yang ingat Kak Tedy Resmisari, toss...kita sejaman).
Halilintar – hitam-hitam menggelegar
Menjelang akhir kunjungan, penulis dua kali bolak-balik melewati penerbit ini. Kata hati ingin masuk dan melihat dua buku (ingat, dua buku saja) yang diterbitkan, namun gimana ya. Ruangan penerbit ini penuh oleh anak-anak atau santri-santri sekolah. Tidak ada wajah dewasa mampir saat itu. Kali pertama, niat itu diurungkan. Tapi, spanduk bertuliskan HALILINTAR itu menarik sekali. Akhirnya kali kedua lewat, beruntung ada perempuan dewasa yang mendekati dan mengundang penulis masuk. Itulah anjungan (halah) penerbit genhmedia, yang menerbitkan dua buku tentang keluarga Halilintar.
Iyes. Itulah buku yang heboh dan menjadi pembicaraan tentang satu keluarga dengan sebelas orang anak. Iyes juga. Sebelas, seperti judul salah satu bukunya: Kesebelasan Halilintar karangan Lenggogeni Faruk. Itulah buku yang mengupas kehidupan keluarga dengan sebelas anak, yang trendi-trendi, fashionable, keren-keren, dan menjadikan family sebagai sebuah team. Keluarga yang ramah-ramah, terlihat dari respons beberapa dari mereka yang sudah dewasa – anak tertuanya cowok berusia dua puluh tahunan - yang penulis temui dan berfoto bersama.Â