Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Baper Saat Reuni? No Way

4 November 2015   09:49 Diperbarui: 4 November 2015   09:49 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Tipikal foto reuni | Rifki Feriandi"][/caption]

(Baper = Bawa Perasaan)

Bulan September – Oktober, bahkan berlanjut ke November, bisa dikatakan adalah bulannya reuni – selain bulannya kawinan. Itu terlihat dari kenyataan banyaknya pertemuan nostalgia yang diadakan akhir-akhir ini, terutama di kota-kota besar. Reuni yang diadakan mulai dari reuni 5 tahun, 10 tahun, 20 tahu, 25 tahun ... bahkan reuni 30 tahun atau lebih. Bukan saja reuni bertemu teman sejawat dan teman SMP atau SMA, tetapi bisa terjadi reuni 40 tahun sejak lulus ..... TK.

Reuni sejatinya adalah pertemuan kangen-kangenan, bertatap muka, bersua wajah setelah sekian lama sekian period dan sekian era entah hilang ke mana. Karena esensinya adalah pertemuan pertama setelah tidak pernah melihat bertahun-tahun, sangat logis jika seruan yang pertama kali muncul adalah kalimat spontan yang rasanya amat sangat jujur diucapkan.

Contoh nyata adalah apa yang dialami penulis sendiri, saat mengikuti reuni 30 tahun sejak lulus SMP. Hmmm... Jadul nian. Coba tebak apa yang dialami penulis saat itu?

Ya, begitulah. Bertemu dengan sahabat lama, dia kaget saya pun kaget. Saya kaget melihat dia tidak banyak berubah, sementara dia kaget karena saya .... banyak berubah.

“Rifki!!!”, teriaknya sambil bersalaman dan berpelukan lalu cipika cipiki. Berpelukan dan cipika cipiki sesama pria bagi kami seusia begini adalah simbol persaudaraan yang sangat erat, jauh dari kesan maho. Maaf.

Lalu, sahabatku melakukan aksi tidak terduga meski ya diprediksi akan terjadi. Dia mengelus-elus perutku. Beuh! Mengelus-elus perut saya. Emang saya hamil apa? Sakitnya tuh di sini.....harusnya.

Tapi, ya buat apa baper - bawa perasaan. Memang kenyataan berkata sangat jujur, meski kejam saudara. Perut saya buncit kok. Boro-boro six pack, yang ada beneran one pack. One pack karung goni lah, mirip. Ya, gak jauh juga lah bedanya sama perut ibu-ibu hamil enam bulanan. Sudah mah perut maju, pantat malah mundur. Ditambah pipi tembem, kepala botak, rambut tipis yang tersisa pun berwarna abu-abu. Apa yang bisa dibanggakan. Jadi, terimalah kenyataan kejam itu. Tidak usah bawa perasaan. Lebih baik, mainkanlah suasana. Responslah dengan riang dan canda, demi mengantar suasana menuju persahabatan erat.

“Yah, gimana lagi. Bagja hate (bahagia hati). Enak makan, enak minum, enak tidur nih. Minum saja saya mah jadi daging”, begitu kira-kira respons saya. Lalu obrolan berlanjut lebih erat. Ya, setidaknya sudah ada topik pemecah kebekuan bertemu setelah sekian tahun. Topik perut gendut – yang merupakan topik terkejam reuni dibanding pertanyaan tentang keluarga, kerjaan, anak, bisnis dll, karena masalah gendut sudah termasuk SARA – Suku Agama Ras dan Anggota Badan - pun lalu bisa saja berlanjut dengan sharing cara hidup sehat, bagaimana menyiasati kondisi sibuk dan olah raga dan lain-lain. Pembicaraan yang inspratif dan praktis serta gratis dan implementatif karena sudah ada bukti. Dengan tanpa baper- bawa perasaan, yang seharusnya “sakitnya tuh di sini”, berbalik menjadi “bahagianya tuh di sini”. 

[caption caption="Jajaka jadul bertemu setelah 30 tahun | Rifki Feriandi"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun