Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Danau Sentarum di Mata Traveller Amatir

27 Juli 2015   06:34 Diperbarui: 27 Juli 2015   06:34 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tempat tujuan, terpampang peta atau denah stasiun riset dan pusat informasi lapangan Bukit Tekenang. Ternyata lokasi ini (dua rumah di tengah dalam gambar) adalah basecamp atau pusat informasi  dan stasiun riset Taman Nasional Danau Sentarum. Di sini terdapat enam (kalau tidak salah) ruangan yang dipakai sebagai penginapan - yang terbuka untuk umum. Namun karena wewenang masih di bawah TM Danau Sentarum, para pegawai nya pun masih berada dalam naungan institusi itu.

Demi mengejar sunset, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki bukit Tekenang itu. Istilah menaiki itu benar-benar terasa. Bukit Tekenang memiliki beberapa tempat pemberhentian, kalau tidak salah lima buah. Tempat pemberhentian itu sangat bermanfaat terutama bagi traveller amatir seperti penulis, di mana stamina fisik betul-betul dikuras. Meski jalannya berupa tangga, tapi ya karena menanjak, capeknya itu sangat terasa.

Di sepanjang jalur penanjakan ini, kami ditemani udara yang sejuk hasil dari teduhnya jalan berkanopi pohon-pohon. Kiri-kanan jalur tanjakan dipenuhi pohon dan perdu. Beberapa pohon yang ditemui memang kering - sebagai bukti pohon yang pernah terbakar. Namun, pohon kering ini justru terlihat sangat menarik untuk difoto. Entahlah, dengan sudut bidik yang tepat, mungkin foto yang dibuat akan bagus.  

Mengintip di balik pepohonan itu, dan lalu terpampang jelas di area yang lapang tanpa penghalang, muncullah gambaran luasnya sebuah nama:  Danau Sentarum. Danau yang di selingi pulau-pulau kecil berpohon hijau itu luas membentang. Di ujung horison, danau itu bak dikitari gunung-pegunungan. Konon, pegunungan nun jauh di sana itu adalah batas alami dengan tetangga kita, Malaysia (Sabah atau Sarawak). Cuaca ternyata sangat menyambut kedatangan kami, karena kami diberi rejeki cuaca yang terik, jelas  dan jernih, sehingga hijaunya pohon kontras dengan hijau-birunya air danau, dan birunya langit tersaput putihnya awan. Masya Allah.

Pemandangan menakjubkan seperti itu menghapus lelahnya perjalanan. TIba di puncak bukit, berdirilah menara kayu menarik ini. Dari menara kayu inilah, kami bisa melihat Danau Sentarum tiga ratus enam puluh derajat.

Sambil menunggu terbenamnya mentari, banyak sudut Sentarum yang bisa jelajahi. Kamera hapeku pun menjadi alat uji coba pengambilan angle yang bagus. Secara otodidak saat itu, penulis memahami bahwa kunci awal fotografi adalah coba-coba. Termasuk ciba-coba menangkap gradasi warna merah muda yang juga terpantul permukaan air danau saat senja menjejak malam. Romantis.

Puas di puncak bukit, dengan bersegera penulis turun ke tempat awal. Tentunya usaha untuk turun jauh lebih ringan, meski perut tetap  membebani. Halah. Dan di bawah sana itulah, penulis juga temukan keindahan senyap menuju gelap, saat mentari bak mencumbu bumi. Maniiiiz.

Esoknya, kami kunjungi pemilik rumah itu. Rumah indah dalam foto-foto di kamera-kamera pengunjung Danau Sentarum. Bukan dari indah secara fisik, karena rumah itu begitu sederhana, dari papan kayu, berjendela satu. Tapi lihatlah dua orang tua, suami-istri yang rukun bertahun-tahun menempati rumah itu, dengan kondisi seperti itu, berhalaman air, berumah mengapung ....tapi beratapkan langit luas dan pelukan suasana alam. Miskinkah mereka? Entahlah. Jangan tanyakan itu. Tanyalah: bahagiakah mereka? Penulis rasanya bisa mewakili menjawabnya: Iyes!!

Suami istri penghuni rumah apung ini ternyata adalah suku asli yang mendiami Danau Sentarum. Kebanyakan adalah suku Melayu. Mereka memang hidup terapung, sehingga jika danau dalam kondisi surut pun, mereka tetap akan mencari air untuk mengapungkan rumahnya. Dan untuk mencapai rumah itu dari posko, kita harus berakrobat melalui titian papan yang bergoyang, lembut, seirama lembutnya perasaan yang menitinya. Coool. 

Pagi dilanjutkan dengan  berkeliling mengitari pemukiman penduduk. Kembali, refleksi cemerlang terpantul dari muka air danau. Satu bagian memperlihatkan rangka-rangka rumah / gubuk yang sedang dibangun. Di sebelahnya, seorang perempuan muda terlihat sedang beraktivitas di kamar mandi yang berada di luar yang hanya diberi tirai. Di ujung lain, asap mengepul. Harum ikan bakar cukup menggoda. Sekonyong-konyong dendang musik keroncong terdengar sunyi. Hanya ketukannya yang terasa ... di perutku.

Sementara itu rumah yang berwarna krem atau putih pucat itu? Lihat! Seorang ibu sedang beraktivitas bak ibu-ibu di daratan. Menyapu. Mengepel. Dan....mengasuh bayi yang sedang belajar  berjalan. Tanpa takut si bayi jatuh ke air. Naluriah. Mungkin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun