Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Serunya Sesi Pertama Kelas Inspirasi Anak SD di Mataso

28 Juni 2015   15:37 Diperbarui: 28 Juni 2015   15:37 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menginspirasi harapan. Memantik imajinasi. Mengembangkan kecintaan untuk belajar. Itulah guru yang baik.

Seorang pria muda, good looking, berambut hitam bergelombang sebahu, dengan kacamata minus, bert-shirt putih pas di perut ratanya, mematung di tengah ruangan oktagonal. Dia dikelilingi makhluk-makhluk imut berbaju coklat yang duduk tiga baris. Wajahnya tenang di tengah berisiknya anak-anak. Mukanya teduh di tengah gerahnya udara. Tatap matanya cerah, senyumnya mengembang seolah berkata 'saatnya kuberubah bentuk menjadi guru yang baik'. Lalu tangannya mengepal dan berteriak, 'Matasooooo!!!!'

Biarkan es itu mencair

Suwer, kuingankan gambaran itu adalah diriku. Tapi, da aku mah apa atuh, seorang yang tidak muda lagi, dengan dahi bidang, jambang dan rambut (yang tersisa) memutih, dan kacamata negatif... dan positif. Meski memang memakai t-shirt putih yang pas di badanku yang gendut, aku memang tersenyum. Dan memang tanganku mengepal. Dan memang juga diriku berteriak.

'Matasooooo!!!!'

Ya. Mataso adalah nama daerah di mana kelas inspirasiku berada. Berjarak dua setengah jam berkendara dari kota kecamatan Putussibau, yang adalah satu jam berpesawat dari Pontianak, Mataso adalah pintu masuk ke hutan raya Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di propinsi Kalimantan Barat. Sengaja kuteriakkan nama itu sebagai penghormatan dan kebanggaan bagi anak-anak yang akan kuhadapi. 'Oh, dia tahu nama kampungku', begitu ekspektasiku di benak mereka. Buktinya, anak-anak pun menyambut teriakanku dengan serempak bergemuruh:  'Yes!!! Yes!!! Yes!!!'

Yel-yel. Itulah caraku memecahkan es (ice breaking), eh memecahkan kebekuan. Singkat, tapi semangat. Penulis tidak menggunakan cara yang umumnya disarankan untuk membuka kelas inspirasi, seperti dengan sedikit permainan. Alasannya sederhana, penulis tidak tahu dan tidak ada ide seperti itu. Lagipula, penulis harus melihat kondisi mereka, anak-anak itu. Mereka sudah mulai terlihat lelah setelah menjalani upacara di bawah mentari pagi yang cukup menyengat dan mengikuti aktivitas sebelumnya berupa permainan sains. Meski ada ketakutan mereka menunjukkan kebosanan prematur, ternyata yel-yel seperti itu cukup efektif membakar semangat mereka.

Aku adalah kita. Kamu juga.

Sambil membiarkan mereka beristirahat sejenak, penulis berputar melihat anak-anak yang duduk melingkar. Surprise. Anak-anak yang berjumlah sekitar delapan puluh itu tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya: lusuh, bertelanjang kaki. Meski Mataso berada di kaki TNBK, mereka tidak berbeda dengan anak-anak di dekat kota: berseragam, bersepatu. Rapi.

Seperti diduga, anak-anak itu datang dari tiga sekolah, tiga level kelas dan tiga etnis berbeda. Mereka berasal dari kelas 3, 4 dan 5, berlatar belakang etnis Melayu, Dayak Iban dan Dayak Taman. Agar seru dan menghindari grup-grupan, kuputuskan  untuk membaurkan mereka. Penulis minta mereka berbaris berdasarkan sekolah masing-masing, lalu tiap sekolah diambil satu orang secara acak dan digabung menjadi kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari 12 sampai 14 orang.  Lalu, kusuruh tiap kelompok membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Ini berarti mereka yang kelas tiga bisa saja duduk bersebelahan dengan teman dari sekolah lain di kelas empat, dan di sebelah lainnya adalah kelas lima dari etnis lainnya.  Menarik melihat respons mereka. Ada yang ikhlas, ada yang pasrah, ada yang menawarkan diri dan banyak juga yang tidak mau lepas dari karibnya. Bes pren poreper mungkin. Yang pasti, banyak terlihat kekakuan di antara mereka. Kekakuan yang sangat wajar karena duduk bersebelahan dengan mereka yang tidak dikenal. Tidak apa, dalam waktu dekat mereka akan penulis ajak untuk memahami arti kata "kita". Ya, aku adalah bagian dari kita, demikian pula kamu. 

Aku adalah mentari Eng, ing, eng. Acara utama segerai dimulai. Penulis menempatkan diri di tengah ruangan, dikelilingi enam lingkaran kecil, Semua anak diminta untuk menghadap ke tengah, agar semua fokus melihat penulis sebagai pembicara, sehingga semua mendengar dan memahami apa yang dikatakan. Ini harus dilakukan berhubung pembicara hanya mengandalkan suara aslinya, tanpa bantuan pengeras suara, sementara anak-anak   selalu berisik - khas di usianya. Sebagai pembicara, akhirnya penulis harus selalu bergerak berputar, agar tidak ada yang merasa di belakangi. Ya, berputar. Akulah mentari yang memberi energi di pagi hari. Energi berupa inspirasi. Lalu, bagaimana kelas ini harus dimulai? Mudah. Seperti halnya rumah, masuklah dari pintu depan. Jika pintu sudah dibuka, maka masukilah ruangan lainnya berurutan. Dalam hal ini pintu sudah dibuka berupa aktivitas permainan sains. Karenanya untuk memasuki ruangan selanjutnya - dalam hal ini aktivitas kelas inspirasi -  ada baiknya membahas mengenai ruangan sebelumnya - yaitu aktivitas sains. Untuk itu kalimat pertama yang terucap adalah pertanyaan mengenai kesan mereka tentang aktivitas sains yang sudah dilakukan dan permainan sains apa yang paling mereka sukai. Itu adalah a perfect entry ke topik profesi pertama: ILMUWAN. Penulis lalu pancing dengan foto pertama, ilmuwan yang harusnya dikenal semua orang. Prof BJ Habibie. Dilakukanlah tanya jawab mengenai sikap-sikap apa yang dibutuhkan dan dibutuhkan untuk menjalani profesi ilmuwan. Siapa-siapa juga ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang terkenal di luar negeri tetapi tidak dikenal di Negara sendiri. Lalu dikemukakanlah inti satu sikap yang dibutuhkan: bangga akan bangsa sendiri. Dari salah satu sikap seperti ini, lalu disambungkan ke profesi selanjutnya yang membutuhkan sikap yang sama. Demikianlah terus menerus  kesinambungan  dari satu topic ke topic yang lain berusaha penulis jaga, sehingga anak-anak lebih mudah memahaminya. Transisi yang mulus  - itulah istilah kerennya. 
AMKM -  Anak Menjawab Aku Menghadiahi
 Satu hal yang penulis takuti dalam aktivitas seperti ini adalah berjalannya acara satu arah, yang nanti tidak ada bedanya dengan kuliah, yang sering membuat mahasiswa gelisah. Apalagi dengan wajah penulis yang sering dibilang tidak "kids friendly", kurang tersenyum  dan terlalu serius,  kekhawatiran seperti itu tambah tinggi. Karena itulah sekuat tenaga penulis membuat cara agar aktivitas berjalan dua arah dan hidup. Tanya jawab adalah solusinya. Penulis bertanya,  anak-anak menjawab. Dua arah lah aktivitas ini. Penulis lemparkan  banyak pertanyaan  kepada anak-anak dengan harapan anak-anak pun akan menjawabnya. Pertanyaan yang diajukan disesuaikan dengan interest anak-anak, yang bisa diketahui sedikit demi sedikit saat acara berjalan. Pertanyaan pun dibuat yang ringan-ringan saja, dengan bahasa yang sederhana.  Meski penulis lebih banyak melemparkan pertanyaan tertutup, yang hanya membutuhkan jawaban singkat ya, tidak atau sepatah kata, pertanyaan terbuka  yang membutuhkan jawaban panjang (atau paparan) pun dikemukakan. Sengaja diutamakan pertanyaan tertutup lebih banyak karena umumnya anak lebih tanggap untuk menjawabnya. Bonus dengan pertanyaan tertutup adalah penulis bisa menyambung pertanyaan itu dengan pertanyaan terbuka. Cukup dengan kata "kenapa", "apa" atau "bagaimana" dan "bagaimana  menurutmu". Dengan demikian, penulis bisa memperpanjang aktivitas tanpa takut kehabisan ide, dan juga anak-anak diberi persiapan dulu untuk memberi jawaban yang lebih komprehensif. Memang mengajukan pertanyaan terbuka itu riskan, karena ditakutkan membuat anak ciut nyalinya. Karenanya, penulis menggunakan cara khas anak kecil, memberikan hadiah. Entahlah, mungkin secara edukasi atau psikologi anak memberikan hadiah tidak terlalu bagus. Tapi, bagaimana ya, harus ada sesuatu yang menjadi daya tarik bagi anak-anak. Lagipula, hadiah yang penulis siapkan bukan sesuatu yang konsumtif, melainkan sebuah buku bacaan inspiratif, Seri Tokoh Dunia terbitan Elex. Penulis kebetulan mendapatkan kira-kira sebanyak tiga puluh buku saat hunting buku murah Gramedia, dengan harga liam ribu rupiah per buku. Penulis juga bawa pengukur tinggi badan dari karton bergambar dinosaurus, juga seharga  lima ribu rupiah. 
Ronaldo dari Matasso
 Ada sekitar enam profesi yang penulis jelaskan. Dimulai dari ilmuwan, insinyur, tentara...dan pemain bola. Ya, penulis sengaja mengambil pemain bola agar mereka juga tahu bahwa pemain bola adalah sebuah profesi yang bisa menjadi mata pencaharian dan cita-cita mereka. Faktor lainnya adalah karena bola adalah permainan yang sangat umum dan bisa dilakukan oleh anak-anak di mana saja, termasuk di kawasan terpencil. Untuk membahas profesi  ini, penulis memilih contoh pemain bola terkenal, Ronaldo. Harap-harap cemas juga, jangan-jangan mereka tidak mengenal Ronaldo. Namun saat penulis berputar memperlihatkan foto Ronaldo, suasana  ruangan berubah gaduh sekali. Entah bagaimana menggambarkannya, suara yang muncul sepintas gabungan antara suara lebah dan bising mesin menderu. Yang terdengar adalah suara yang timpal menimpali menyebutkan nama Ronaldo, diiringi acungan-acungan tangan untuk mendapatkan giliran menjawab -  dan mendapat hadiah. Respons seperti ini sungguh di luar dugaan, dan amat sangat membahagiakan.  Bukan bahagia karena mereka mengenal Ronaldo, tetapi karena bonding - ikatan antara penulis sebagai pembicara dan mereka sebagai audiens menjadi sangat mencair. Dan itu akan memudahkan penulis untuk membawakan sesi ini sampai tuntas.  Di sisi lain hal ini menunjukan adanya bibit-bibit Ronaldo  dari Mataso. Ini  dadaku, mana dadamu Dalam mengenalkan profesi dan pekerjaan, sebisa mungkin penulis mengemukakan inti atau nilai nilai kehidupan yang perlu diraih beserta dengan sikap serta kepribadian yang harus  dimiliki. Penulis sama sekali tidak menjelaskan mengenai keuntungan material terhadap masing-masing profesi, berupa jabatan atau gaji. Terlalu awal rasanya jikamereka mendapatkan informasi itu sekarang. Biarkanlah mereka mengetahui dulu apa yang dihasilkan dari profesi-profesi itu, dan terutama sikap apa yang dibutuhkan untuk menjalankan profesi itu. Di sinilah sikap dan kepribadian anak-anak dimunculkan. Sikap berani, jujur, baik, tenggang rasa, cinta bangsa muncul dari mulut anak-anak itu. Menjawab pertanyaan apa yang harus dilakukan untuk meraih cita-cita itu, standar jawaban mereka adalah belajar, tekun dan bekerja. Sedikit argumentasi terjadi ketika penulis bertanya "Boleh bermain tidak?". Agak ragu-ragu sebagian besar mereka  menjawab  tidak boleh bermain. Penulis sengaja  mengemukakan pertanyaan itu karena sejatinya banyak kesalahan persepsi, bahwa anak-anak tidak boleh bermain, dan hanya belajar  yang rajin. Penulis balik bertanya "kenapa tidak  boleh bermain?". Pertanyaan yang disambut oleh kerutan kening. Mungkin mereka tidak menduga ada pertanyaan seperti  itu. Lalu, penulis jelaskan saja bahwa mereka boleh bermain, karena  mereka masih anak-anak.  Hanya saja, penulis melanjutkan, bahwa mereka bermain pada waktunya, yaitu bermain setelah selesai pelajaran. Alhamdulilla, sesi pertama berjalan lancar. Bagaimana dengan sesi kedua? Cekidot sambungannya  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun