Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Taraweh Ferari

23 Juni 2015   12:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang ini, wajah menekuk saya -  biasa tekanan kerjaan - lumayan bisa berseri. Gara-garanya sederhana, yaitu kala istirahat melihat gambar di atas dari status fesbuk teman dekat. Terjemahan kasar gambar di atas adalah "Mau Ferrari kek, atau tarawih, bilang TIDAK untuk ngebut". Gambar di atas begitu menohok, dan langsung membawa saya ngebut dengan ferrari ke masa silam, tiga puluh tahunan lalu, ke masa kanak-kanak.

Saat itu era 80an, saya duduk di SD atau SMP. Tiap Ramadhan, saya ikutan solat terawih di mesjid dekat rumah. Namanya Masjid Jami Al-Jamiaturrahmah. Dalam sebulan puasa itu, imam tarawih selalu bergiliran, tergantung availability. Tapi yang selalu ditunggu siapa lagi selain Pak Mahfud Sidiq alm. Ustad karismatik, tinggi besar, sering memakai jubah putih, dan hapal tafsir Qur'am di luar kepala, dan ....... solatnya cepat. Di kalangan anak seusia saat itu, kita menjulukinya sebagai Ustad MS.

Kenapa MS?

MS adalah kependekan Medal Sekarwangi, saat itu adalah bus antar kota yang paling ngebut. Bagaimana tidak, jika dalam solat tarawih, beliau membaca surat Al-Fatihah dalam satu nafas. Benar-benar satu nafas dari mulai Bismillah sampai Aamiin. Bacaan-bacaan doa ruku, sujud dll mungkin beliau membaca doa yang paling ringkas. Dan di rakaat kedua, beliau membaca satu ayat saja. Ayat terpendek. yaitu ayat pertama surat Al-Baqarah. Alif lam mim. Titik. Dan itu berulang di rakaat kedua. Jika Mama Haji - begitu kami memanggilnya, sudah memimpin solat, dipastikan anak-anak senang. Kami bisa pulang ke rumah lebih cepat. Jauh lebih cepat dibandingkan anak-anak yang solat di mesjid tetangga - Mesjid Ar-Risalah. Dan bagi kami sebagai anak-anak, itu adalah sebuah kemenangan yang disambut dengan senyum.

Selain itu, jika Mama Haji menjadi imam, sebuah kebahagiaan lagi muncul. "Horeeee....bisa nonton Oshin!". Oshin adalah film drama  perjuangan anak kecil dari Jepang yang menderita tapi tahan banting yang sangat terkenal di saluran teve satu-satunya saat itu, TVRI. Dan itu diputar sekitar jam delapan malam. Artinya, solat terawih sudah selesai sebelum jam delapan. Terbayang bukan solat isya dan terawih selesai jam delapan malam, padahal terawihnya dua puluh tiga rakaat.

Masalahnya bagi kami adalah terkadang kami tidak mengetahui jadwal pasti kapan Mama Haji menjadi imam. Karenanya, suatu saat kami ke mesjid dan lalu yang menjadi imamnya adalah yang lain, apalagi yang terkenal pelan, maka yang terjadi adalah kami akan gelisah, galau segalau-galaunya. Boro-boro khusu, kepala keseringannya naik turun, antara sejadah dan ... jam dinding. Di kepala hanya ada pikiran "Kapan kelarnya". Dan kalau angka di jam dinding sudah melewati jam delapan, ada rasa geram, pasrah yang kelewat parah. Di bebeapa anak yang cengeng, muncul juga titik-titik air mata. Ngaku deh, saya termasuk salah satu anak cengeng itu.

Jika sudah tahu bahwa yang menjadi imam bukan Mama Haji, sudah deh, kami tidak solat lagi di mesjid itu besoknya. Dan lalu kami pindah ke mesjid tetangga. Dan di mesjid tetangga, di mana Mama Haji jarang mengimami, kami cenderung pasrah saja bermakmumnya, meski kadang sebelum jam delapan sudah kabur.

Kini hal itu hanya menjadi kenangan manis. Entahlah apa Mama Haji itu salah dengan solar Ferarinya. Mungkin untuk ukuran beliau, beliau bisa menjaga bacaan dengan tartil dengan pace yang cepat. Tapi, kesan terburu-buru tidak bisa dihindari. Apa mungkin Mama Haji buru-buru karena kebelet pipis? Ah, masa tiap ngeimamin kebelet terus :) Namun sekarang setelah dewasa, saya menyadari bahwa solat terawih yang tenang itu lebih meresap, lebih bisa dinikmati. Tidak dipungkiri, meski sudah dewasa, saya suka merasa galau juga jika imamnya membaca surat dengan berlagu dan sangat pelan. Rasanya tidak sesuai dengan karakter jiwa muda saya. Haik....

Saya sih sekarang setuju sekali bahwa "Mau Ferrari kek, atau tarawih kek, JANGAN ngebut"

Tinggallah sekarang saya kangen dengan Mama Haji Mahfud Sidiq. Kangen dengan kajian tafsir bahasa Sundanya yang bagi saya tidak ada tandingannya. Kangen dengan keramahan dan kebijaksanaannya. Semoga Allah menempatkannya di Surga Jannah. Kami, anak-anak saat itu, adalah hasil kerja Mama Haji selama itu.

Al-Fatihah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun