Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Aku Selfie, Maka Aku Ada. Aku Ada Maka Aku Bercerita

6 Juni 2015   05:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:20 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Real men don’t take selfies”.

Sebuah kutipan seperti di atas begitu menohok. Cowok sejati tidak ber-selfie. Begitu katanya. Beuh, gender bias banget. Padahal sekelas Obama saja berselfie. Juga Jokowi dan JK pada saat kampanye saja sempat berselfie. Lantas apakah mereka dianggap “not real mean”.

Ada lagi yang mendefinisikan selfie seperti ini: “When you take a super attractive picture of yourself and just stare at it for like twenty minutes admiring the way your face cooperated”.

Selfie –yang menjadi word of the year tahun 2013, sebenanarnya tidak melulu berarti centil meskipun oke lah jika disebut narsis – padahal narsisnya itu berhubungan dengan medsos, bukan dengan orangnya. Bagi penulis selfie adalah penyiasatan arti dari “picture speaks thousand word”. Maksudnya, selfie bisa dipakai untuk lebih bercerita mengenai apa yang sedang dilakukan atau mengenai sebuah cerita di balik apa yang sedang dilakukan. Memang sih jika mengejewantahkan arti “picture speaks thousand word” bisa saja dilakukan dengan foto biasa, baik itu pelaku yang memfoto – tanpa dirinya di dalam foto, atau pelaku meminta orang lain untuk memfotonya dengan latar yang bercerita. Tapi masalahnya, tidak selamanya objek bercerita yang akan difoto  itu ada pada saat kita bepergian dengan orang lain yang bisa memfoto kita. Juga, tidak selamanya kita memiliki cukup waktu untuk meminta orang lain memfoto kita dengan latar cerita yang ada saat itu. Itulah yang saya pelesetkan dari sebuah kutipan terkenal” “Aku selfie, maka aku ada. Aku ada, maka aku bercerita”.

Inilah beberapa ceritaku:

 

(Menuju air terjun di dalam Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, 2015,dokpri)

Foto ini bercerita cukup banyak bagi penulis. Pertama, inilah pertama kali penulis begitu percaya diri memakai ikat Sunda ke dalam aktivitas nyata. Itulah ikat parekos jengkol (bener gak ya?) yang penulis pelajari sewaktu membeli kainnya di Car Free  Day Buah Batu Bandung. Kedua, inilah pertama kali penulis berjalan memasuki pedalaman sebuah hutan, melewati jalan setapak yang berair, atau tepatnya disebut sungai kecil, dengan air yang sangat jernih yang memperlihatkan batuan-batuan yang penggila batu akan betah mencarinya. Ketiga adalah cerita bahwa untuk melihat air terjun yang eksotis alami itu membutuhkan usaha, termasuk dua kali terpeleset, dan dukungan dari rekan-rekan seperjalanan yang sudah terbiasa untuk travelling seperti ini. Foto ini diambil di air terjun di daerah Taman Nasional Betung kerihun. Dan, eh ternyata rekan traveler yang sudah sering bepergian ke pelosok, termasuk Baduy,  berkata jika  corak kain  biru yang dipakai  adalah corak khas Baduy. Walah, saya yang USA -  Urang Sunda Asli – saja tidak tahu. BEU!!

(Fort Rotterdam, 2015,  dokpri)

Dalam foto ini, penulis sengaja tidak mengambil latar huruf Fort Rotterdamnya, karena kesannya mainstream banget. Latar belakang yang diambil sengaja seperti ini, karena bangunan tua yang terlihat dengan susunan dan kerapian taman rumput  plus pohon saja sudah bisa mengingatkan  penulis kepada objek wisata ini. Tambahan dalam foto  adalah rekan penulis berambut putih serta guide berkaos hijau.  Sengaja penulis tampilkan mereka karena ada cerita di balik itu, tatkala penulis sebelumnya tidak menyetujui memakai jasa guide, tetapi akhirnya sangat apresiatif terhadap pengetahuan sang guide yang tahu banget mengenai seluk beluk Fort Rotterdam. Amazing, dan maaf Bang Guide sudah menyepelekan sampeyan,setelah penampilan sangat sederhananya mengelabui itu. And, his English is very good.

(Selfie – ceria bersama anak, Bintaro, 2015, dokpri)

Dalam kaidah selfie – halah, rasanya ilmu-ilmu fotografi sepertinya tidak berlaku. Maksudnya alangkah sulitnya mendapatkan foto yang sesuai kaidah fotografi dalam berfoto selfie, dengan pencahayaan yang bagus,  komposisi keren, bukaan pas dan lain-lain. Masuk di  akal sih, karena umumnya fotografer beneran tidak bakalan ambil foto selfie – kan mereka real men dong.  Ups.  Contohnya foto ini, cahaya terlalu banyak, fokus tidak jelas, ada blur-nya lagi. Tapi, kembali lagi, bagi penulis foto ini bercerita.  Cerita tentang kedekatan penulis dengan si kecil. Tentang keceriaan si kecil bermain bersama ayahnya – yang berarti ayahnya bukan bapak yang galak. Hmmm…. Juga cerita tentang sebuah tempat wisata baru di Bintaro yang ramai di penghujung minggu. 

(A brand new bridge – Pondok Cabe 2015, dokpri)

 

Foto  selfie ini memang sih diambil untuk sedikit narsis. “Eh, saya suka gowes loh”,kesan itu mungkin yang ingin ditanamkan, meski sebenarnya sih ini baru gowesan kedua penulis. Diambil di lokasi jembatan baru penghubung Cinere – Pondok Cabe, penulis sebenarnya ingin memperlihatkan kerennya jembatan, lengangnya jalan di kala pagi, dan juga sedikit safety risk awareness. Iya, sedikit mengingatkan adanya resiko keselamatan, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang berdiri di pinggir pagar. Ke tengah sedikit dari posisi anak yang berbaju merah itu, ketinggian dari lantai jembatan ke bawah itu demikian tinggi. Sementara itu tinggi pagar cukup rendah, sedagu anak kecil. Mungkin bagi anak kecil, hal ini tidak menjadi masalah, cenderung aman. Tetapi bagaimana dengan para abege atau remaja serta dewasa yang menghabiskan waktu sore atau malam mingguan dengan nongkong di pagar tersebut,dan bisa jadi saking asyiknya tahu-tahu sudah duduk di pagar. Mengerikan men… 

(Bersama anak-anak Dayak Iban dan Taman, Mataso,2015. Dokpri)

 

Foto ini adalah foto selfie terbaik yang saya miliki. Foto ini diambil di tengah-tengah acara pembukaan  Rumah Baca di Taman Nasional Betung Kerihun, Mataso, sekitar dua jam lebih dari kota Kecamatan Putussibau. Anak-anak yang ada dalam foto itu adalah anak SD kelas 2 -5 etnis Dayak Iban dan Dayak Taman, yang mengikuti kelas inspirasi yang penulis lakukan. Foto ini bercerita banyak, bahwa anak-anak di manapun selalu tampak ceria dan punya rasa penasaran tinggi. Foto ini juga setidaknya bercerita bahwa penulis pun ternyata bisa melakukan sesuatu kerja sosial jika memiliki keinginan dan tekad yang kuat.

 

Itulah sekilas lepas mengenai selfie dalam definisi penulis.

Mari bercerita. Mari berseflie. And…..believe in your self(ie) bersama smartfren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun