Berada di saf kedua solat Idul Adha, tidak banyak yang bisa dilihat selain punggung-punggung jamaah di saf depan. Seorang Bapak beranjak tua, dengan seorang anak lepas remaja yang berbaju senada berada di kanannya. Usia baru mengenal bangku kuliah mungkin. Celana jeans dan gadget yang berada di depannya menunjukkan jiwa mudanya. Di sebelah kiri si Bapak, duduk seorang remaja, mungkin hanya orang lain yang kebetulan duduk di sebelah bapak itu. Meski bercelana jeans dan berbaju koko, sama sekali tidak nampak kerennya anak remaja. Gerakannya sedikit tidak terkontrol. Kepalanya pun tidak bisa diam, terkadang menunduk, menengok ke kiri atau ke kanan. Dan tatkala dia menengok ke belakang dan wajahnya bertatapan, saya langsung memahami kenapa dia seperti itu hanya dengan melihat wajahnya. Wajah anak remaja khas Down Syndrome.
Insya Allah saya tidak benci dengan anak seperti itu, dan insya Allah saya tidak akan mengolok-olok anak seperti itu. Namun, mau tidak mau ada sebuah perasaan yang muncul: kasihan. Kasihan dia menderita Down Syndrome. Kasihan dia tidak bisa menjalani hidup seperti umumnya teman sebaya. Kasihan dia pastinya dikucilkan temannya. Atau bahkan kasihan dia sendirian dalam solat I’ed itu, disingkirkan bapaknya yang malu memiliki anak seperti itu, dan di”bully” kakaknya sendiri yang menganggap itu sebagai aib. Saya hanya bisa memandang saja dan sedikit bergumam, “mudah-mudahan dia mendapatkan keluarga yang tidak seperti saya bayangkan itu”.
Solat dua rakaat selesai. Khatib kemudian berceramah. Namun khutbah khatib tidak terdengar jelas, karena konsentrasi saya buyar. Saya sedikit terganggu dengan pemandangan di depan saya itu. Pemandangan saat kepala anak itu – penderita Down Syndrome itu – terkulai di pundak Bapak di sebelahnya. Ternyata bapak itu adalah ayahnya. Dan lalu dadaku bergemuruh melihat apa yang dilakukan Bapak itu selanjutnya. Kepalanya terkulai ke kiri, sengaja mengenai kepala anaknya itu. Lalu dengan sedikit menengok, dia cium kepala anaknya. Ciuman sayang seorang ayah yang benar-benar tulus, tanpa terlihat dibuat-buat. Di sudut mataku mulai muncul setitik air.
Tidak hanya berhenti di situ. Saat kepala anak remaja itu tanpa terkendali kemudian tegak, dengan tanpa diduga, pemuda yang duduk di kanan si Bapak, lalu memperlihatkan hape di tangan kirinya kepada anak itu. Badannya miring ke kiri,mendekati anak itu. Dia bercakap-cakap dengan anak itu, persis di atas pangkuan Bapaknya, memperlihatkan foto yang diambilnya. Saya kembali tercekat. Sekarang, air mataku muncul dua titik air.
Subhanallah.
Semua bayangan negatif saya akan keluarga si anak remaja penderita Down Syndrome itu sama sekali buyar. Si Bapak tanpa tedeng aling-aling “menamparku”, seraya dengan kebanggaan seorang ayah berkata tanpa suara “Saya Ayahnya! Saya limpahkan sayang sama, di kanan atau di kiri. Dan saya berbahagia dikarunia anak seperti itu, karena itu amanah Allah”. Sementara itu, si kakak pun tak kalah telah “menohok dadaku”, sambil berkata juga tanpa suara, “Dia adikku. Saya perlakukan dia sebagai adikku, tidak berbeda. Saya bangga menjadi kakaknya”. Kata-kata tanpa suara itu seperti serempak berkata “Emang, masalah buatmu?”.
Saya tidak mengenal mereka. Tapi Allah menunjukan sebuah pelajaran berharga langsung dari mereka: jangan berprasangka, mereka berakhlak mulia, tidak seperti bayangan kita. Bahkan terkadang justru kita yang membuat mereka menderita.Ya, kita. Persepsi kita. Pandangan kita. Atau bahkan rasa iba kita. Sebuah pelajaran berharga. Jelas semua hal negatif itu karena kita bodoh, tidak mengerti dan terlalu termakan oleh imaji media yang salah.
Kawan,
Punya kebahagiaan memiliki seorang anak atau adik yang rupawan adalah hal biasa, semua orang pun bisa berbahagia. Tettapi Bapak dan pemuda itu luar biasa, karena mereka tetap berbahagia meski anak dan adiknya tidak seperti anak atau adik kebanyakan, dan jika itu terjadi kepada diri kita, bisakah kita menerima hal itu dan tetap berbahagia, bagi dirinya dan anaknya.
Mari kita ubah rasa iba kita terhadap anak berkebutuhan khusus seperti itu menjadi sebuah dukungan, baginya, bagi keluarganya. Berikanlah hal-hal positif, bahkan sekecil persepsi yang ada di benak, kepada mereka dan keluarganya. Dan jadikan pula hal ini sebagai cermin, bahwa terkadang kita terlena karena memiliki anak atau adik yang sempurna dan lalu membiarkan mereka tanpa perhatiaan, meski sejenak saja.
Bagi Bapak dan pemuda itu, serta semua keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus itu, angkat topi dan salut dengan kekuatan dan ketegarannya. Pertunjukanlah kasih sayang mu seperti itu justru menjadi pelajaran bagi kami sehingga kami lebih mengerti. Bukankah Hellen Keller pernah berkata “We could never learn to be brave and patient, if there were only joy in the world.”
Terngiang pula perkataan dari seorang sahabat, Aulia Gurdi, dalam tulisannya. “Yakinlah, Tuhan mengirimkan mereka bukan kebetulan. Dari kehadiran mereka kita bisa belajar banyak hal untuk bisa naik kelas menjadi manusia yang lebih baik”. Beliau melanjutkan, “Sebagaimana mereka yang buta tak bisa dipaksa melihat, atau mereka yang tuli tak bisa dipaksa mendengar…seperti itu pulalah anak bekebutuhan khusus ingin diterima sebagaimana adanya…karenanya lihatlah lebih dekat…dan kau akan mengerti…”
“Saya, anda, sama belajarnya pada sekolah kehidupan ini. Saya percaya setiap kita adalah master piece yang dicipta Tuhan begitu istimewa, lengkap dengan daya lentur menghadapi kerasnya tempaan hidup” – Aulia Gurdi
“Never bend your head. Hold it high. Look the world straight in the eye.” – Hellen keller
“I was slightly brain damaged at birth, and I want people like me to see that they shouldn’t let a disability get in the way. I want to raise awareness – I want to turn my disability into ability.” ~ Susan Boyle
Salam
Helen Keller: dilahirkan buta dan tuli, namun menjadi orang buta-tuli pertama yang meraih gelar sarjana
Aulia Gurdi: ibu rumah tangga dan menjadi penulis di Kompasiana yang memiliki anak penderita Autis, aktif menyuarakan pemahaman akan anak berkebutuhan khusus
Susan Boyle: peserta British Got Talent yang membalikan penilaian negatif penonton atas penampilannya dengan suaranya yang memukau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H