Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Pahlawan] Aku, Kamu dan Mereka: Kisah Pahlawan terabaikan

10 November 2013   11:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:21 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Un-sung heroes
Oleh Rifki Feriandi
No peserta 10

Lagu khas membanggakan Gaudeamus Igitur sudah dari tadi berkumandang. Pidato pembukaan dan wejangan Rektor dan para pejabat baru saja usai. Wajah-wajah tengah baya dengan paras bahagia, sedikit demi sedikit luntur dengan kepala terayun-ayun bak helai daun mencumbu sepoi angin. Entah sebab pidato monoton atau hawa adem.

Seorang pemuda dengan jubah kebesaran wisuda dengan gagah melangkah ke podium. Suit-suitan dari beberapa wisudawan cowok dan pekikan dua wisudawan perempuan memaksa dia menghentikan langkah sejenak dan menengok ke arah para hadirin. Dia lalu tersenyum, atau tepatnya sedikit terkekeh-kekeh.

Sesampainya di mimbar, jelaslah terlihat wajahnya. Mirip Reza Rahardyan edisi lebih mudaan. Cocok, karena Reza pula nama wakil wisudawan itu. Dia membuka bicara dengan bersalam.

'Wisuda di hari Pahlawan? Hmm...boleh juga', suara beratnya mulai terdengar. Petinggi kampus terlihat mesem-mesem.

'Saya pernah bertanya pada ibuku: 'Mak, emang kita gak ada turunan pahlawan sama sekali?'', wajahnya menyorot seorang perempuan menjelang tua berjilbab yang duduk di baris ke tiga. Perempuan itu tersenyum. Khas, senyuman tulus seorang ibu untuk anaknya.

'Saya tidak perlu memaksa Emak menjawab, karena saya sudah tahu jawabannya', lanjutnya. Wajahnya berputar menyapu ruangan.

'Hadirin. Kakekku seorang rakyat biasa. Kuburnya saja di gunung, di bawah pohon tanjung. Belum tentu setahun sekali saya bisa berkunjung''

'Dia hanya seorang petani yang merangkap muadzin. Profesi yang kerap ditinggalkan saat tetua kampung meminta rakyat mengungsi atau menjadi pagar betis. Terkadang Kakek pergi berminggu atau berbulan. Sebagai pagar betis, Kakek cukup memotong bambu tua di kebunnya, dan meruncingkannya sebagai senjata. Persis yang selalu dia siapkan memburu hama babi hutan'.

'Kakek itu baik hati dan penuh improvisasi. Saat dia melihat ada musuh dia langsung berimprovisasi: berazan, meski bukan saatnya solat. Di kalimat 'hayya alas solah' dia ganti dengan kalimat 'aya..... Walanda....''(1). Reza mengucapkannya sambil melagukan kalimat itu dengan lagu adzan. Wajah-wajah mengantuk para hadirin berangsur cerah seperti embun pagi menjemput mentari. Senyum mereka tersungging.

'Meski dua hari bicaranya serak karena saat itu tidak ada pengeras suara, tapi adzan Kakek berhasil menyelamatkan warga desa yang bisa bergerak mengungsi sebelum Belanda tiba'.

'Sepulang mengungsi, tanpa pikir panjang Kakek menikahi seorang gadis yang disodorkan tetua kampung: nenek. Alasan Kakek sederhana: 'siapa yang menjaga hidupnya, semua keluarganya meninggal kena bom saat pulang mengungsi'.

'Nenekku apalagi. Dia bukan Kartini. Dia hanya istri yang berbakti. Meski ditinggal pergi, dia sabar menanti dan terus berusaha menghidupi diri. Ahem'. Bicaranya yang bak berpuisi sengaja diberi jeda agar hadirin bisa menghirup candanya. Wajah-wajah hadirin menjadi lebih segar seperti bunga merekah.

'Pagi-pagi Nenek sudah bangun. Menghirup udara sangat segar dan semilir harum bunga tanjung yang berserakan di tanah basah berembun. Bunga yang dia kumpulkan satu demi satu. Dironce. Hanya mengisi waktu, lalu nantinya dijual sebagai penyambung hidup. Roncean yang juga dia kalungkan di keranda Kakek yang pulang dari gunung sebagai pagar betis tanpa nyawa. Bunga tanjung sebagai simbol kasih dan terimakasih darinya dan dari bayi yang ada di perutnya: Ayah', suara Reza sedikit serak. Suasana gedung menjadi hening.

'Tapi Nenek itu hebat', suaranya kembali menguat. Tangannya sedikit dikepalkan. Hadirin tersentak.

'Semangat Nenek tidak patah dengan tangan menengadah. Tidak! Nenek move-on!', kali ini senyum para mahasiswa yang mengembang, di sela kebingungan hadirin usia senja yang gagal paham.

'Nenek jalani hidup sebagai ketentuanNya. Ayah brojol sebagai anak yatim ketentuanNya. Hidup sendirian ketentuanNya. Rejeki naik turun ketentuanNya. Panjang umur pun ketentuanNya. Ya Nek?', suaranya berubah menjadi sedikit manja ketika tanyanya ditujukan ke perempuan renta di sebelah ibunya. Perempuan itu hanya mengangguk.

'Termasuk saat anak satu-satunya dipanggil lebih dulu olehNya, itu ketentuanNya'. Ada kesedihan yang mendalam di belakang suara beratnya.

'Ayah seorang pegawai yang jujur. Itu bukan kataku saja. Itu kata teman-temannya yang datang ke pemakamannya. 'Ayah menjadi korban', begitu kata yang lain. Saat SMP belum kupaham arti konspirasi pelaku korupsi, saat ayah yang sederhana dipaksa menjalankan perintah - meski dia tolak mentah-mentah, lalu menjadi tumbal atasannya yang serakah. Ayah bolak-balik ke Pengadilan sementara atasannya ketawa ketiwi di Bali. Ah, ternyata adil masih menjadi komoditi jual beli'. Ruangan sedikit gaduh. Satu dua orang beranjak tua terlihat duduk dengan gelisah. Jika ditelisik, wajah satu petinggi kampus di podium sedikit memerah. Tanpa mempedulikan gaduh, dia melanjutkan.

'Tapi Allah Maha Adil. Dia beri kasih sayang dan lepaskan derita batin dan serangan asma Ayah. Dia panggil Ayah dengan baik, saat dia bersujud berurai air mata', suasana menjadi senyap.

'Air mataku tumpah. Juga air mata ibuku - perempuan yang setia".

"Dan ibuku adalah Dewi Sartika'. Suara Reza menjadi parau. 'Kuat dan berhati mulia. Tidak patah semangat menjalani hidup, termasuk menghidupi anak dan mertua. Emak tidak pernah mengeluh, tidak pernah meminta belas kasih, tidak pernah berdemo menuntut pensiun Ayah yang tidak naik-naik. Emak tegar. Emak selalu ceria. Dan tidak surut memberi cinta. I love you Mak'. Ada sedikit isak di nadanya. Dan ada banyak isak terdengar di depannya.

'Mereka adalah pahlawan, bagiku. Mereka mengajariku menyingkirkan ketakutan tak perlu, mengajariku untuk menjadi pribadi yang kuat, mengajariku untuk terus bertahan dan mengajariku memahami arti diri. Serta mengajariku menjadi pahlawan', suaranya sedikit menggelegar.

'Kawan Wisudawan. Lihatlah sekeliling. Kita juga dikelilingi pribadi-pribadi hebat, pahlawan yang terabaikan, pahlawan tanpa mengaku pahlawan. Pak Hadi, dosen senior yang terkadang kau lecehkan sebagai dosen killer. Konsisten memberi edukasi, berinteraksi dengan hati, tanpa mengejar proyek pribadi dan mendidik kami untuk teguh hati. Pak Cakra dosen muda, idealis tapi bersahaja, berinteraksi tanpa kasta, menularkan ilmu dengan bijaksana. Dari merekalah kita mendapatkan inteljensi dan integritas diri'.

'Tengok juga Bu Asmi bagian administrasi. Dia tetap berbakti dan teguh hati membantu mahasiswa tanpa pretensi. Dan kau suka lupakan Pak Darma penjaga laboratorium komputer dan Bu Ningsih pustakawan. Merekalah yang menemani kita selagi tertekan, memberi dukungan sebagai teman, agar kuliah tidak putus di tengah jalan. Dari merekalah kita belajar menjadi manusia kuat, berintegriti dan baik budi pekerti. Merekalah PAHLAWAN'.

Reza sejenak mengambil jeda, mundur dua langkah dari mimbar dan berpaling ke bagian kirinya, tempat dosen-dosen berada. Berada di sebelah para dosen adalah Bu Asmi, Pak Darma dan Bu Ningsih serta beberapa orang bagian administrasi lainnya. Reza lalu bertepuk tangan, memberi apresiasi kepada mereka. Tepuk tangan yang diikuti dengan gemuruh oleh seluruh hadirin di ruangan itu. Sebagian hadirin bahkan bertepuk tangan sambil berdiri.

Di tempat duduk itu, mata Pak Hadi basah. Menangis tumpah ruah. Dan Bu Asmi berpegangan tangan dengan Bu Ningsih, juga dengan mata yang berair. Sementara Pak Darma, yang seumur-umur bekerja sebagai penjaga Laboratorium komputer baru kali ini ikut acara wisuda, kepalanya terus menunduk. Matanya ditutupi tangannya. Hanya terlihat bahunya yang berguncang disela sedu sedannya.

Kemudian Reza kembali berbicara.

'Saya kira tidak ada yang bisa membantah bahwa merekalah pahlawan di sekeliling kita hari ini. Mereka para dosen, ibu-bapak di bagian administrasi dann bahkan pak satpam atau office boy yang bekerja dan mengabdi secara tulus. Mereka menjalankan perannya masing-masing. Mereka memberi arti kehidupan bagi hidupnya dan tanpa sadar mereka memberi arti pada orang lain. Terima kasih'. Kali ini tangan kanannya dilekatkan di dadanya. Kepalanya menunduk. Dan kembali tepuk tangan membahana.

Reza lalu menghirup udara.

'Terakhir kawan. Jangan lupakan dirimu'. Kali ini sorot matanya tertuju kepada kelompok wisudawan. 'Lihatlah ke dalam hatimu. Kamu singkirkan ketakutan akan kegagalan. Kamu singkirkan ketakutan akan seperti apa jati dirimu nanti. Saat keputusasaan menimpamu, kamu bertahan. Kamu kuat. Dan kamu temukan semua jawaban atas segala kesulitan - jawaban yang datang dari dirimu, dari jiwamu'. Dia berhenti sebentar memperhatikan reaksi rekan-rekannya.

'Keberhasilan kuliah sampai wisuda ini sejatinya adalah karena ada jiwa pahlawan dalam dirimu, jiwa pahlawan bagi dirimu sendiri', suaranya kembali bergetar. Terlihat mata beberapa wisudawan perempuan sembab.

'Dan kini marilah kita melangkah ke kehidupan nyata, kehidupan bekerja dengan bekal itu. Kita bawa apa yang kita dapat selama ini: sarjana yang punya intelejensi, pribadi bersih berintegriti dan budi pekerti. Serta jujur dan berhati nurani. Itulah jiwa pahlawan sejati. Dengan jiwa itu kita akan bangun negeri'', serunya menutup pidato sambutan wakil wisudawan.

Reza lalu mundur beberapa langkah, kemudian menunduk. Para hadirin serempak berdiri. Tepuk tangan terdengar bergemuruh. Sekarang giliran mata Reza yang berkaca-kaca. Air matanya tumpah saat dia melihat perempuan hebat itu, Emak menggandeng perempuan hebat lainnya Nenek untuk ikut berdiri, dan ikut bertepuk tangan tanpa menyembunyikan air mata bahagia. Air matanya makin tumpah saat dia bergumam sendiri 'Ayah. Ini juga untukmu, suhu kejujuranku, pahlawanku'.

Lamat-lamat terdengar suara perempuan dari arah kelompok paduan suara. Suara yang sudah dikenalnya. Suara dia yang sedang didekatinya: Adisti. Suara yang sekarang sedikit terisak membawakan sebuah syair,

There's a hero
If you look inside your heart
You don't have to be afraid
Of what you are
There's an answer
If you reach into your soul
And the sorrow that you know
Will melt away
#####*******######

(1) bahasa Sunda, artinya 'ada Belanda'

Ide cerita dari lagu Sunda berjudul 'Kembang Tanjung Panineungan' karya Mang Koko, cerita jaman perang Bapakku Darso Ali dan serapan lagu 'Hero' Mariah Carey

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Hari Pahlawan

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun