Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Pahlawan] Aku, Kamu dan Mereka: Kisah Pahlawan terabaikan

10 November 2013   11:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:21 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

'Sepulang mengungsi, tanpa pikir panjang Kakek menikahi seorang gadis yang disodorkan tetua kampung: nenek. Alasan Kakek sederhana: 'siapa yang menjaga hidupnya, semua keluarganya meninggal kena bom saat pulang mengungsi'.

'Nenekku apalagi. Dia bukan Kartini. Dia hanya istri yang berbakti. Meski ditinggal pergi, dia sabar menanti dan terus berusaha menghidupi diri. Ahem'. Bicaranya yang bak berpuisi sengaja diberi jeda agar hadirin bisa menghirup candanya. Wajah-wajah hadirin menjadi lebih segar seperti bunga merekah.

'Pagi-pagi Nenek sudah bangun. Menghirup udara sangat segar dan semilir harum bunga tanjung yang berserakan di tanah basah berembun. Bunga yang dia kumpulkan satu demi satu. Dironce. Hanya mengisi waktu, lalu nantinya dijual sebagai penyambung hidup. Roncean yang juga dia kalungkan di keranda Kakek yang pulang dari gunung sebagai pagar betis tanpa nyawa. Bunga tanjung sebagai simbol kasih dan terimakasih darinya dan dari bayi yang ada di perutnya: Ayah', suara Reza sedikit serak. Suasana gedung menjadi hening.

'Tapi Nenek itu hebat', suaranya kembali menguat. Tangannya sedikit dikepalkan. Hadirin tersentak.

'Semangat Nenek tidak patah dengan tangan menengadah. Tidak! Nenek move-on!', kali ini senyum para mahasiswa yang mengembang, di sela kebingungan hadirin usia senja yang gagal paham.

'Nenek jalani hidup sebagai ketentuanNya. Ayah brojol sebagai anak yatim ketentuanNya. Hidup sendirian ketentuanNya. Rejeki naik turun ketentuanNya. Panjang umur pun ketentuanNya. Ya Nek?', suaranya berubah menjadi sedikit manja ketika tanyanya ditujukan ke perempuan renta di sebelah ibunya. Perempuan itu hanya mengangguk.

'Termasuk saat anak satu-satunya dipanggil lebih dulu olehNya, itu ketentuanNya'. Ada kesedihan yang mendalam di belakang suara beratnya.

'Ayah seorang pegawai yang jujur. Itu bukan kataku saja. Itu kata teman-temannya yang datang ke pemakamannya. 'Ayah menjadi korban', begitu kata yang lain. Saat SMP belum kupaham arti konspirasi pelaku korupsi, saat ayah yang sederhana dipaksa menjalankan perintah - meski dia tolak mentah-mentah, lalu menjadi tumbal atasannya yang serakah. Ayah bolak-balik ke Pengadilan sementara atasannya ketawa ketiwi di Bali. Ah, ternyata adil masih menjadi komoditi jual beli'. Ruangan sedikit gaduh. Satu dua orang beranjak tua terlihat duduk dengan gelisah. Jika ditelisik, wajah satu petinggi kampus di podium sedikit memerah. Tanpa mempedulikan gaduh, dia melanjutkan.

'Tapi Allah Maha Adil. Dia beri kasih sayang dan lepaskan derita batin dan serangan asma Ayah. Dia panggil Ayah dengan baik, saat dia bersujud berurai air mata', suasana menjadi senyap.

'Air mataku tumpah. Juga air mata ibuku - perempuan yang setia".

"Dan ibuku adalah Dewi Sartika'. Suara Reza menjadi parau. 'Kuat dan berhati mulia. Tidak patah semangat menjalani hidup, termasuk menghidupi anak dan mertua. Emak tidak pernah mengeluh, tidak pernah meminta belas kasih, tidak pernah berdemo menuntut pensiun Ayah yang tidak naik-naik. Emak tegar. Emak selalu ceria. Dan tidak surut memberi cinta. I love you Mak'. Ada sedikit isak di nadanya. Dan ada banyak isak terdengar di depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun