Coba tengok. Hampir di setiap spanduk, para calon anggota dewan menampilkan namanya lengkap dengan gelar akademisnya. Ada gelar di depan maupun di belakang. Ada yang satu, dua, tiga bahkan lima. Ada yang S1, S2 atau S1-nya dua. Ada yang nyambung ataupun tidak. Bukankah ini cara mereka memperlihatkan kecerdasan dalam bentuk gelar? Bukankah itu berarti mensiasati kecerdasan? Padahal 'ingat, akan selalu lebih baik menjadi orang yang bijak dibanding orang yang cerdas'
Ego terhadap kepentingan
Adalah wajar sebuah kepentingan para caleg memasang spanduk. Bukankah itu caranya dia dikenal warga sebagai pemilih. Namun; apa yang menjadikan mereka para caleg itu memasang spanduknya jauh-jauh hari padahal musim kampanye belum dimulai? Kenapa juga mereka berani melanggar aturan kampanye? Bukankah mereka mau menjadi legislator pembuat peraturan, tapi belum apa apa mereka sendiri sudah melanggar? Kalaupun aturan kampanye belum keluar, jika egonya bisa disingkirkan, maka akan terhormatlah caleg yang menunggu dan taat aturan.
Harmonisasi dari hal terkecil sampai besar
Saya membayangkan akan indah dipandang jika spanduk-spanduk yang terpampang tersusun rapi dari yang kecil sampai yang besar, menciptakan harmoni. Namun kenyataan berkata lain, kala spanduk baliho segede gaban berwarna mentereng menyakitkan mata di jalan utama berdampingan dengan spanduk seuprit yang berada di ketiaknya. Tidak ada harmonisasisi seperti ebony dan ivory.
Kudeta apa yang menjadi keinginan
Bandingkan sebuah spanduk promosi iklan dan spanduk caleg. Lihat di sudut kanan bawah. Yang satu ada tandatangan dan tanggal, kalau perlu cap. Yang satu kosong melompong. Apa artinya? Yang satu bayar pajak, dan satunya lagi....wallahu alam. Dan jika caleg tidak membayar pajak untuk spanduknya, bukankah itu menjadi sebuah 'pukulan terhadap negara' (arti kudeta versi wikipedia) karena mengkhianati keinginan bersama (pajak untuk pembangunan dan kemaslahatan). Piye to.
Mempertakut
'Spanduk caleg mempertakut? Gak lagee'. Siapa sih yang takut dengan caleg yang manis budi itu? Ada, gila. Tentunya bukan manusia, tetapi pohon. Coba pergi ke pinggir jalan, hitung ada berapa paku yang menancap dan melukai batang pohon dari spanduk-spanduk caleg? Jangan anggap enteng. Batang pohon yang terlukai, apalagi dengan banyak paku di sana sini, bisa membuat dia mati. Satu pohon mati, berarti kau cerabut satu sumber nafas anak keturunanmu.
Mempersuram
Sekarang, pergilah kita ke sudut perempatan jalan. Pandangkan mata berkeliling 360 derajat. Di setiap sudut akan terpajang spanduk-spanduk besar kecil, membentang di atas tiang-tiang penyangga, menempel di mana saja. Indah? Halah....di mana indahnya. Yang ada malah mempersuram.