Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

“Nama Saya Elis” – Sebuah Duka Manula di Jakarta

13 Juni 2013   12:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:05 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangannya yang dari tadi sibuk mencari-cari sesuatu di dalam keresek hitam itu sejenak berhenti. Wajahnya lalu menoleh kepadaku yang baru saja menduduki kursi peron rusak berwarna biru, Badannya ringkih, sedikit bungkuk. Lalu gesekan keresek kembali terdengar seiring kesibukan dia mencari sesuatu – entah apa.

Lalu suara keresek itu berhenti. Kini dia menatap tajam kepadaku. Aku pun menoleh. Kulihat mulutnya membuka, yang memperlihatkan giginya yang agak kotor di pinggirnya. Dan … keluarlah kata pembuka yang amat sangat menyakitkan saya: “kok masih muda sudah banyak ubannya”. Cetar…..

Hmm…ice breaking yang sangat sempurna. Dan inilah ceritanya.

###

Nama saya Elis. Saya mau ke Bekasi. Usia saya enam puluh tahun. Bapak? Suami saya? Suami saya sudah meninggal. Sudah lama.

Saya tinggal di sini, di Jombang sini. Di belakang stasion ini. Di rumah petak. Ya sendirian. Gak punya sodara. Anak ada. Dia udah kawin. Sekarang ya dia sama bininya. Jauh di sono.

Nenek? Mau ke mana? Ya mau naek kereta yang ke Bekasi. Ke rumah ponakan. Iya, yang selama ini ngasih uang buat hidup. Kagak enak kalo saya tinggal di sana.

Alamatnya nenek gak punya. Ya, nyang penting ke Bekasi saja. Nti turun di mana itu, setasiun apa ya? (lalu dia menyebutkan nama stasiunnya). Dari sana naek metromini. Ya,kalo gak ketemu yang tanya tukang ojek.

Ya pernah dicopet mah. Duit diambil. Ya balik lagi saja ke stasiun. Bilang aja mau ke Jombang.

Minta uang buat ongkos ke sana?

Gubraks

###

Teman,

Singkirkan dulu praduga sebuah penipuan seorang peminta-minta. Jernihkan hati, sedikit saja. Coba dengarkan saja sejenak. Jika bukan sebuah kebohongan yang dilakukan oleh seorang yang sudah lihai, kita akan bisa merasakan bahwa sebagian besar yang diceritakan adalah sebuah kenyataan, sebuah realita. Realita di belakang gemerlapnya dunia dan hiruk pikuknya kota, ternyata ada yang menderita. Orang tua, tanpa sanak-saudara. Tidak tahu harus ke mana. Hanya untuk menghidupi dirinya. Dirinya seorang saja. Dengan badannya yang ringkih, matanya yang rabun, pendengarannya yang terbatas. Mereka harus bertahan hidup. Sebagai peminta-peminta. Atau dia binasa.

Jadi….

Masihkah kau sia-siakan orang tua?
Masihkah kau tidak tergerak untuk bersedekah, sedikiiit saja?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun