Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah Ingin Cepat Mati, Nak!!!

2 Maret 2013   12:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:26 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mata Suyatmi sembab. Di tengah keramaian depan loket stasiun kereta yang padat itu, wajahnya basah. Air mata yang dari tadi sudah berjatuhan belumlah kering. Di tangannya masih tersisa sepuluh lembar kertas putih kopian. Dengan lem yang dia bawa dari tadi, tangannya lalu memasang kertas putih itu di dinding. Kertas putih itu berjudul besar Orang hilang!!! , disertai sebuah foto buram dan beberapa informasi singkat. Karuan saja beberapa orang pembeli tiket kereta merubunginya. Dengan terisak, Suyatmi menjawab sebisanya. “Itu bapak. Sudah tiga hari tidak pulang ke rumah. Sudah sepuh”. Lalu dia terdiam. Pandangannya kosong. Pertanyaan orang sekitar tidak didengar. Sekali dia terlihat tersenyum, lalu tatapannya kembali kosong…..

###***###

“Abah mau ke mana? Baaah!!!”, teriak Suyatmi sambil mengejar sosok tua yang berusaha berjalan cepat. Sosok yang dipanggil Abah itu bukannya berhenti atau memperlambat jalannya, malah berjalan lebih cepat. Sebuah usaha yang sia-sia. Usia tuanya tidak memungkinkan dia berjalan lebih cepat.

Tiba-tiba orang tua itu berhenti mendadak. Diam mematung. Tangan kanannya lalu dicengkeram Suyatmi. Dengan suara yang dipelan-pelankan, meski kentara nada kesalnya, Suyatmi berkata:

“Bah. Abah mau ke mana?”.

Pertanyaan sia-sia. Sosok tua itu diam mematung. Wajah tuanya sekarang tambah terlihat tua. Wajah ramahnya yang selama 40 tahun, dikurangi masa rumah tangga, sedikit berganti. Sosok seorang Ayah sepertinya berubah menjadi seorang anak bandel.

“Abah bilang dulu dong kalo mau pergi. Nanti kalau tersesat bagaimana?”.

Wajah tua itu lalu berpaling. Tetap dengan wajah cemberut.

“Abah belum tua. Abah sanggup pergi sendiri, ke mana Abah mau”, cetusnya.

“Nanti tunggu Igo dulu Bah, sebentar lagi juga pulang sekolah. Nanti ditemeni ke mana Abah mau pergi”, sergah Suyatmi.

“Abah mau pergi sekarang. Kalian sudah tidak ada yang sayang lagi sama Abah” cetusnya lagi. Sebuah jawaban yang sering menampar diri Suyatmi, kapan pun Bapaknya lagi dilanda sebuah kesedihan, kesendirian. Keketusan yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun, sesaat setelah Emak – ibunya Suyatmi, dipanggil Allah lebih dulu. Sebuah jawaban yang inginnya dia jawab dengan berteriak sambil menangis “Abah gak ngerti. Yatmi sudah mengorbankan waktu keluarga untuk menemani Abah. Yatmi keluar kerja agar Abah ada yang jaga. Biarlah si Aa sama Si Ade semua kerja, karena keluarganya butuh mereka. Yatmi ikhlas dibentak Abah terus menerus sejak Ema meninggal. Tapi Abah ngerti dong, Yatmi punya kewajiban menjaga Abah. Tunggu sebentar, Igo bisa nemani Abah”. Namun perkataan itu hanya cukup bertahan di kerongkongannya.

Dua tahun belakangan, hidup Suyatmi bertambah rumit disebabkan perubahan sikap bapaknya.

Sudah tiga kali Abah hilang, sebelum akhirnya ketemu sore harinya. Saat ditanya, Abah dengan tenang menjawab “Abah tadi ke rumah Pak Bagyo”. Pak Bagyo adalah teman kerjanya, berusia sepuluh tahun lebih muda, namun sudah meninggal dunia. Dua kali juga Abah tahu-tahu sudah memakai motor punya Kang Wawan, yang berujung pulang dengan kakinya yang berdarah cukup parah. “Saat limbung waktu parkir, badannya jatuh tidak kuat menahan motor kayaknya”, begitu kata Mang Udi yang menuntun motor mengantar Bapak pulang.

Sikap Abah memang berubah cukup drastis. Perubahan sikap yang menjadi cermin sebuah kehilangan besar atas meninggalnya Emak sudah tampak sejak setahun setelahnya. Namun dua tahun belakangan, Abah terlihat tertekan dan kesepian. “Abah kesepian”, “Teman kerja Abah sudah meninggal semua. Pak Haji tetua mesjid saja yang umurnya lima tahun lebih muda juga sudah meninggal” adalah kata-kata yang sering Abah ucapkan. Jika kalimat itu muncul, muncul juga kalimat penutup yang selalu diikuti dengan tatapan mata yang kosong: “Kapan Abah maot nya?”.

###***###

Suyatmi duduk lemas di kursi tamu rotan yang lubang-lubangnya makin besar. Sudah dua hari Abah belum pulang. ”Moga-moga Kang Wasta hari ini pulang membawa kabar baik”, begitu pikirnya. Pikiran yang selalu ada di benaknya tiap kali suaminya pulang tanpa membawa kabar baik meski hampir seluruh penjuru kota Bandung yang dikenalnya – dan diduga sering dikunjungi Abah, dikunjunginya.

Rasa cemas makin menggunung, sementara hati belum mengijinkan untuk pasrah. “Ya Allah. Abah mungkin lagi ke Bandung, kesasar. Mungkin Abah kecopetan. Dan sekarang Abah tidur di kolong jembatan. Meringkuk, berselimut sarung seadanya. Ya Allah, jangan-jangan benar Ayah pengen cepat meninggal dan membiarkan diri tanpa makanan dan minuman. Ya Allah…….jangan-jangan…..”.

Untuk kesekian kali, Suyatmi pingsan.

###***###

Ide cerita dari tulisan HL Mbak Harlina

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun