Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Kehidupan dari Figur Mak Esih - Nenek Penjual Es Potong

23 Agustus 2012   07:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:25 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepuluh tahun lalu. Jalan Mutiara Bandung. Sesosok ibu tua dengan berjalan cukup cepat sangat menarik perhatian. Beban berat yang digendongnya kontras dengan badannya yang ringkih membungkuk. Dengan sekali melihat saja, rasa iba sekonyong-konyong muncul. Dua hari kemudian, suara lonceng khas penjual es kampung terdengar mendekat. Suara yang standar dan sering terdengar itu sebenarnya tidak terlalu menarik perhatian, sampai saya jumpai sumber datangnya suara itu. Ibu tua itu ternyata berjalan mendekat dengan lonceng di tangan kanan berbunyi nyaring dan dengan tas ice-cooler yang sangat sederhana diselendangkan di kiri badannya, sementara tangan kirinya menenteng tempat duduk plastik kecil hijau.

13457061441053187129
13457061441053187129
Itulah saat pertama kali saya mengenal ibu tua itu, panggil saja Emak Esih. Tidak banyak yang saya ketahui tentang dia, selain kenyataan dia berjualan es potong bermerk Panda – yang awalnya saya ragu untuk membelinya, seharga sekian ratus rupiah satu potong. Es potong yang dijualnya sebanyak sekitar seratus potong, tidak dibuat sendiri melainkan dipasok seseorang dan dia hanya menjualkannya saja.
13457065081956697502
13457065081956697502
Wajah Emak Esih terlihat tua dan keriput. Namun entah kenapa, saya melihat sesuatu yang lain terpancar dari wajahnya. Sebuah pancaran keikhlasan, kepasrahan sekaligus semangat. “Kalau Emak tidak jualan, bagaimana Emak hidup. Anak Emak kerja serabutan”, itu jawabannya ketika ditanya kenapa setua itu dia masih bekerja. Dengan gerak badan sopan dia melanjutkan dengan tetap menggunakan bahasa Sunda halus, “Alhamdulillah Den, rejeki mah pan Allah berikan. Emak diberi kekuatan”. Cukup dua potong es saja yang saya beli. Lalu saya berikan uang sedikit berlebih dari yang seharusnya dibayarkan. Uang itu diterima dengan dua tangannya. Dikepalnya uang itu. Lalu dia mengucapkan terimakasih yang begitu menyentuh: “Alhamdulillah. Hatur nuhun Den”. Ucapan itu lalu terhenti. Dengan tetap duduk di kursi kecilnya, tangan yang mengepalnya lalu dibuka. Kepalanya sedikit menunduk, seiring tangannya mendekat. Lalu dia mulai berdoa dengan suara pelan lamat-lamat – tapi cukup terdengar apa yang sedang dia ucapkan. Cukup lama dia melakukan hal itu di depan saya yang pegal berjongkok dengan menggendong anak saya satu-satunya (saat itu) yang masih Balita yang gembira dengan es potong di tangannya. Seiring dengan ucapan hamdalah penutup doa, dia usapkan telapak tangan ke wajahnya. Lalu dia berdiri dan pergi?
13457062381592307405
13457062381592307405
Tidak, kawan. Dia tetap diam di kursi kecilnya. Dia melanjutkan do’a nya dengan wajah segar dengan air mata di sudutnya. Kali ini dia ucapkan do’a itu dengan bahasa Indonesia di depan kami, saya dan anak saya, dengan ucapan yang sangat jelas: “Mugia Aden sekeluarga diberi kesehatan, rumah tangga yang langgeng. Eneng (sambil melihat anakku) menjadi anak yang soleh. Semoga padamelan (kerja) Aden lancar dan diberi rejeki yang halal dan berkah. Hatur nuhun”. Itu hanya beberapa penggalan do’a yang masih saya ingat, di antara do’a-do’a lainnya. Saya yang berada di depannya mau tidak mau harus mengaminkan, dan terus terang kerongkongan cukup tercekat akan kenyataan mendapatkan do’a yang syahdu begitu. Do’a yang saya tahu diucapkan secara tulus oleh Emak Esih. Ketulusan yang tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. Sejak itu, setiap saya berkunjung ke Bandung, tanpa sadar saya bertanya apakah Emak Esih masih suka lewat? Apakah keluarga saya masih suka membeli es-nya? Apakah Mak Esih sudah meninggal – ketika keluargaku berkata sudah berbulan-bulan tidak mendengar suara lonceng es potongnya. Sepuluh tahun berlalu. Dan hari ini, hari ketiga Lebaran, akhirnya saya bertemu lagi dengan kesyahduan itu. Emak Esih masih tetap berjualan es potong. Masih dengan lonceng dan kursi plastik kecilnya. Masih dengan wajah ikhlas dan pancaran semangatnya. Semangat yang terpancar dari perkataanya sekarang “kalau Emak tidak jualan, Emak tidak ada kegiatan, tamba kesel saja”. Semangat yang juga masih diperlihatkan kendati usianya sudah mencapai 75 tahun, dan sudah ditinggal suami - yang mendampinginya berjualan – dua tahun sejak memulai berjualan, 15 tahun lalu. Dan semangat untuk tidak menyusahkan anak laki-laki yang mengurusnya – salah satu dari tiga anaknya yang masih hidup dari tujuh anak – yang bekerja sebagai buruh.
13457062991128000101
13457062991128000101
Tidak ada yang berbeda dari diri Emak Esih, selain harga es potongnya yang sekarang menjadi seribu rupiah. Demikian pula tidak berubahnya keramahan, kesopanan dan DO’A-nya yang selalu dia ucapkan. Do’a yang bukan menjadi monopoli saya sendiri, karena dengan penampilan tua renta seperti itu, memang Emak Esih gampang menarik perhatian siapa saja yang melihatnya dan membantunya. Do’a yang sering menjadi alasan saya bertanya-tanya tentang keberadaannya dan keinginan bertemu lagi dengannya. Do’a yang kali ini diucapkan di depan anak keduaku, pada umur yang sama kala do’a itu diucapkan kepada kakaknya. Do’a yang rasanya makbul. Do’a yang bisa jadi memberikan kontribusi besar dalam kelancaran kehidupan saya selama ini. Do’a yang sangat sederhana – yang kali ini secara jelas saya dengar: Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falak, Annas dan ditutup oleh Do’a sapu jagat. Namun do’a sederhana itu keluar dari mulut seseorang yang melakukannya dengan ikhlas. Kawan, Hari ini saya belajar. Terkadang do’a seseorang yang begitu sederhana dan nyaris “bukan siapa-siapa” seperti Emak Esih, yang dilakukan dengan keikhlasan terhadap amal yang ikhlas bisa jadi lebih makbul. Bisa jadi pula do’a itu turut berandil dalam kelancaran kehidupan kita. Mari kita beramal dan berbuat baik terhadap siapa saja. Dan mari kita sama-sama belajar ikhlas menjauhi wasangka. Janganlah syak wasangka kita menutupi keikhlasan, dan serahkanlah kepada Allah untuk mengadili apa yang menjadi syak wasangka kita. Emak Esih – seorang penjual es potong renta, telah memberikan pelajaran berharga buat kita. Ramah, sopan, ikhlas, semangat dan do’a. Malukah kita dengan sikap dia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun