Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Selamat karena Pantat

3 Oktober 2011   10:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:23 1231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu ditanya seorang temanku dulu tentang bagian tubuh manakah yang tidak saya sukai, dengan sedikit malu saya bilang ‘pantat’. Sebenarnya ada bagian tubuh lain yang saya tidak sukai, yaitu perut buncit, tapi cowok-cowok lain seusiaku ternyata bernasib sama, gagal total dalam menggapai perut six pack. Sementara pantat, sangat jarang cowok membanggakan mempunyai pantat sepertiku, yang bahkan sering menjadi bahan lelucon karena ‘bahenol’ untuk ukuran cowok, meskipun tidak seperti pantat cewek. Kalau ditakdirkan saya terlahir kembali, akan saya minta Tuhan memberikanku pantat yang datar seperti cowok normal lainnya.

Tetapi kawan, saya sekarang berpikir sebaliknya. Saya bahagia mempunyai pantat seperti itu, karena saya pernah lolos dari maut terselamatkan pantat.

Kisahnya terjadi pagi itu, tatkala saya yang belakangan itu menjadi pemalas dengan segala aktifitas rumah tangga, sedikit bersemangat untuk membetulkan pompa air di tangki atas. Saya bukanlah seorang ahli listrik atau ahli pompa, tetapi karena saya lulusan sekolah teknik, maka sebagai tukang insinyur, saya merasa mempunyai kewajiban moral untuk bisa melakukan apapun. Engineer can do everything kan, persis seperti MacGyver. Apalagi secara tradisional bapakku memberi dogma bahwa sebagai kepala keluarga harus bisa melakukan segala hal.

Pagi itu saya siapkan tangga besi, dan mulailah saya memanjat atap dimana tangki air berada. Saya tidak meminta bantuan siapapun untuk menjaga tangga. Kepercayaan diri terhadap kualitas tangga dan kemampuan saya memanjat terlalu besar. Di titian teratas, yang notabene adalah langkah tersulit untuk pindah jejakan dari ujung tangga ke posisi atap, insting saya berbicara untuk mencari pegangan. Dan saya peganglah sebuah genteng. Saya tidak membutuhkan sesuatu yang kokoh kan, hanya untuk pegangan awal, karena saya akan jaga momentum tubuh agar tetap berada di atas jejakan kaki.

Namun apa mau di kata, ternyata saya salah hitung. Saya pikir berat badanku masih seperti sepuluh tahun lalu, padahal perutku saja sudah buncit. Berat tubuhku sepertinya sudah tidak lagi bisa ditahan tangga besi itu, dan tangga itu - yang ternyata hanya metal biasa meleot sedikit. Dan goyahlah posisi tubuhku. Dan bergeser pula lah momentum tubuhku ke luar, sementara genteng yang dipegang otomatis tidak bisa membantu. Saat itu saya masih sadar dan berkata pada diri sendiri, ‘nih, jatuh ni gue….’. Dan ……. Gubrak, gedebum, praaaak.

Sebuah kumpulan daging padat dengan berat 79kg, jatuhlah dengan bebasnya. Secara refleks, tanganku berusaha mencari pegangan, apapun itu. Tapi apa daya, di sana haya ada pot gantung dua buah saja. Hanya itu. Sehingga terdengarlah bunyi ‘praaak’ ketika sekitar tiga buah pot hancur tertindih tubuhku, bunyi ‘gubrak’ jatuhnya tangga besi itu dan istri dan pembantuku mendengar suara ‘gedebum’. Gedebum badan gedeku memeluk bumi. Saya resmi dinyatakan jatuh dari atap, setinggi tiga meteran, dan secara resmi pula itulah pertama kalinya saya jatuh dari atap.

Dengan terkejutnya, istri, anak dan pembantuku mendatangiku. Alhamdulillah saya masih sadar. Lalu, beberapa saat setelah berdiri barulah saya tahu jika saya ‘mendarat’ dengan pantat terlebih dahulu. Ini terbukti dari bagian pantat di celanaku berlepotan tanah kebun, dan rasa sakit memar di pantat yang cukup luar biasa. (itulah mungkin kenapa saya rasakan jatuh itu seperti empuk qiqiqi). Ternyata pantatku - yang saya tidak sukai dan menjadi bahan tertawaan orang lain dulu - itulah yang menyelamatkanku.

‘Ah, lebay. Begitu saja kok menyelamatkan jiwa’. Begitu mungkin ada yang bertanya. Tapi mari kita sejenak berpikir, bahwa jatuh dari ketinggian yang tidak seberapa itu sebenarnya fatal dan berbahaya.

Tetanggaku yang sedang menyiram taman, tangannya patah hanya karena menahan tubuh ketika jatuh dari pembatas taman, yang notabene hanya setinggi sepuluh sentimeter. Teman istriku sampai menderita kelainan mata, dan lalu rusak sehingga harus dioperasi, ketika dia terpeleset dan jatuh dengan tulang ekornya yang jatuh terlebih dahulu. Sementara kakekku meninggal di tempat setelah dia jatuh dan kepalanya membentur lantai. Bisa jadi jika pantatku tipis, tulang dudukku retak, dan saya menderita tidak bisa duduk seumur hidup. Boleh jadi, jika tulang ekorku rusak sehingga saya buta. Bisa jadi syaraf belakangku pun sobek tersayat tulang duduk yang berantakan. Dan besar kemungkinan terjadi pula semuanya mengantarkan kepada kematian.

Karenanya, beruntunglah saya mempunyai pantat dengan persedian lemak berlebih di sana. Karena saat itu, pantatku bukanlah sekedar pantat yang berfungsi untuk membantu duduk sehingga berbeda dengan primata lainnya. Pantatku ternyata menghindarkanku dari maut. Saya harus bersyukur karena itu. Alhamdulillah.

Kawan. Bisa jadi ada salah satu bagian dari tubuhmu yang tidak kamu sukai. Entah itu hidungmu yang tidak terlalu mancung, pipimu yang terlalu tembem, gigimu yang terlalu menonjol ke depan, dadamu yang tidak terlalu menonjol atau bahkan ada yang mempersoalkan ukuran ‘you know what’. Boleh saja kita tidak menyukai itu, tetapi PASTI ada alasan kenapa hal itu diberikan Tuhan kepadamu. Dan PASTI bahwa alasan hal itu diberikan kepadamu karena banyak hal baik yang disiapkan untukmu. Tidak mungkin tidak, karena bukankah DIA yang menciptakan kita sehingga Dia tahu yang terbaik bagi kita.

Mari kawan kita bersyukur dengan apa yang telah ada pada tubuh kita. Karenanya, nikmat Tuhan mana lagi yang bisa kita dustakan, kawan.

Cag, September 2011

“Pain is temporary. It may last a minute, or an hour, or a day, or a year, but eventually it will subside and something else will take its place. If I quit, however, it lasts forever.”

“Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi Anda rasakan dalam semenit, sejam, sehari, atau setahun. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya”
(Lance Armstrong, Mantan Atlet Balap Sepeda AS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun