Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ah, Lebaran selalu tak lebih dari cerita menyedihkan

4 September 2011   14:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:14 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu, 4 September, sehari sebelum kebanyakan pegawai masuk kantor, adalah hari yang diperkirakan sebagai puncak arus balik. Balik dari mudik di kampung halaman, yang berarti juga balik ke rutinitas semula serta meninggalkan bahagianya bertemu saudara. Peristiwa balik itulah yang saya sebut sebagai cerita menyedihkan yang berulang tiap tahun, selalu terjadi dan terus terjadi. Cerita menyedihkan itu bukanlah hanya karena terjadinya kecelakaan lalu lintas yang telah merenggut lebih dari 490 jiwa selama mudik. Juga bukan hanya karena Virginia istrinya Saipul Jamil berpulang karena kecelakaan. Cerita yang menyedihkan yang terus berulang dan terus membekas adalah ketika para pemudik meninggalkan kampung halamannya, dalam arti meninggalkan orangtuanya SENDIRIAN.


Pagi ini saat saya pamit ke mertua untuk membawa anak istriku kembali ke Jakarta, ibu mertuaku bercucuran air mata. Bapak mertuaku terisak. Wajah amat bahagia mereka seminggu belakangan sudah sirna. Wajah ceria mereka tatkala melihat anak bungsuku 'berkicau' dengan bahasa tidak jelas sudah memudar. Demikian pula wajah cerah saat mendengar anak gadisku beserta sepupu sepantarannya bercengkerama dan bersenandung lucu khas remaja, saat itu berganti wajah duka. Mertuaku mengantarkan kami pergi balik dengan kesedihan karena dua hal: hilangnya keceriaan anak-cucu-mantu dan kembali ke kesendirian.


Itulah yang terjadi pada mertuaku, yang semua anaknya merantau ke kampung orang beserta anak-istri/suami. Sedih, karena mereka sekarang kembali berdua. Menjalani hidup hari demi hari nya pun nyaris berdua. Berdua, dua orang tua berusia di atas tujuh puluh dua. Padahal kawan, anak-anaknya itu merantau hanya di Jakarta. Mereka pun sering mengunjungi orang tua yang tinggal di Bandung, atau kebalikannya orang tua mereka yang berkunjung ke Jakarta. Tetapi, tetap saja rasa SENDIRI lebih menguasai. Sendiri sebagai orang tua yang kembali hanya berdua - hanya karena merka tidak mau meninggalkan tanah kelahirannya.


Lalu, kasus yang sama menimpa Uwa sepuh, kakak bapaku, yang sudah berusia 90 tahun. Beliau kembali merasakan kesepian, hanya ditemani seorang anaknya yang tidak menikah. Itupun jika anaknya itu tidak banyak kesibukan. Tidak ada lagi canda tawa cucunya yang sudah kembali ke rumahnya beserta bapak-ibunya. Tidak ada lagi tanya ponakannya yang begitu membahagiakan tentang masa lalunya. Sekarang dia praktis SENDIRI.

Bahkan seorang Tante Elsye, tetanggaku dulu yang peranakan Belanda, juga merasakan hal yang sama. Sebagai seorang Kristiani taat, dia juga mendapatkan berkah Lebaran tatkala pembantunya mudik. Itulah saat dua orang anaknya harus secara bergiliran tinggal dengannya. Dan itulah saat-saat membahagiakannya lagi, berdekat-dekatan dengan darah dagingnya. Saat-saat yang kembali menghilang tatkala pembantu yang menemaninya telah kembali, dan dia kembali merasakan keSENDIRIan.

Kawan. Saya yakin pikiran seperti ini ada di benak anda. Namun kita sama-sama dilanda kebingungan, bagaimana harus menemani orang tua yang beranjak sepuh sementara diri sendiri mempunyai tuntutannya masing-masing. Padahal kawan pun tahu apa yang sebenarnya orang tua kita sedihkan. Ya, perasaan SENDIRI dan sepi. Dan kawan pun tahu apa yang orang tua kita inginkan - seperti yang mereka rasakan selama Lebaran? Ya. Itulah kedekatan fisik dan bathin.

Bagaimana jika kita di saat setelah fitri kali ini membuat sebuah terobosan baru. Terobosan untuk orang tua kita. Kita dekatkan fisik ini melalui kedekatan bathin. Kita perkuat kedekatan fisik juga dengan teknologi.

Mari kita rajin menelpon orang tua kita minimal seminggu sekali, hanya untuk menyapa 'Apa kabar, Ayah?', 'Aku kangen masakanmu, Mah'. Jangan jadikan sibuk sebagai alasan. Bukankah tidak ada alasan sibuk untuk tidur? Kenapa tidak kita telepon sebelum tidur atau sejenak sebelum beraktivitas. Jangan juga jadikan 'nelpon kan mahal' sebagai alasan. Bukankah kau sudah habiskan berpulsa-pulsa untuk chatting (atau berKompasiana ;) )?

Jika jarak kita dengan orang tua kita dekat kawan, kunjungilah mereka secara rutin, entah seminggu sekali atau sebulan sekali. Tidak usah melulu bawa oleh-oleh, tapi datanglah hanya untuk mencium tangannya. Datanglah hanya untuk mendengar nasihatnya. Datanglah hanya untuk memeluknya. Itu lebih dari cukup.

Dan jika kawan tidak bisa melakukan hal itu karena satu dan banyak hal yang logis, kuatkan bathin anda dengan orang tua dengan cara berdo'a. Isilah kesendirian mereka dengan hangatnya doa anak dari jauh. Karena bagaimanapun, tali kasih orang tua anak akan tetap terjalin secara bathin, jika bathin itu dilatih. Dan latihlah bathin itu dengan do'a.

Kawan.

Mari kita buat sedikit perubahan agar Lebaran tahun depan, orang tua kita akan melepas kita tidak dengan kesedihan yang sangat. Karena mereka yakin bahwa kita akan selalu membahagiakan mereka dan menghangatkan kesendirian mereka kapanpun dan dengan cara apapun.

Salam hangat untukmu, keluargamu dan orangtuamu Kawan.

Cag, 4 September 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun