Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Bu Minah dan Refleksi Kasih Ibu Tak Berujung

7 Mei 2011   16:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:58 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu jam satu siang, tatkala mentari masih menyorotkan sinar panasnya. Kawasan Pondok Indah mulai kembali dilanda kemacetan, kendaraan bergerak pelan. Saat itu tanpa sengaja kulihat sesosok wanita yang sedang sibuk menggendong dengan amat susahnya. Ibu paruh baya itu berjalan menuju bundaran PI, dengan sekali-kali berhenti, membetulkan gendongannya. Dari jalur seberang tempat saya berada, kentara sekali bahwa yang berada dalam gendongannya bukanlah makhluk mungil bayi berusia balita. Dugaanku yang digendongnya pastinya seorang anak beranjak remaja, karena kaki panjangnya yang kurus tanpa daging menjulur dari kain gendongan dan tangan yang sama kurusnya pun menjuntai lebih panjang dari tangan seorang anak kecil. Kepalanya yang normal serasa tidak proporsional dengan badannya. Sepertinya remaja itu cacat, dan menderita keterbelakangan mental. Hanya orang bebal saja mungkin yang nuraninya tidak tersentuh, hatinya tidak terketuk melihat pemandangan seorang ibu yang menggending beban berat di terik sore seperti itu.

Ternyata dugaanku benar. Sewaktu saya dekati, ibu itu sedang berjongkok, beristirahat untuk mengambil nafas, sambil membetulkan kain gendongannya yang kembali merosot. Tidak terlihat roman tertekan di wajahnya. Biasa-biasa saja, bahkan cenderung terlihat senyum sabar dibandingkan cemberut lelah atau capek. Wajah anaknya pun membuatku mengurut dada. Air liur berbusa di mulutnya menetes dan makin banyak. Matanya bergulir ke kiri dan ke kanan, tetapi badannya, Masya Allah, sangat kurus, lumpuh. Ketika saya tahu bahwa ibu itu sedang menuju halte busway yang masih jauh, saya ajak dia naik ke taksi yang sedang saya naiki. Dan di taksi itulah, dalam perjalanan sekitar satu kilometer, dalam waktu sekitar sepuluh menitan, saya mendapatkan hikmah kehidupan.

Ibu itu, panggil saja dengan nama Minah, ternyata baru pulang 'jalan-jalan' dari rumah saudaranya di sekitar perkampungan Pondok Pinang atau sekitarnya. Entahlah apa maksud jalan-jalannya, silaturahim, meminta pinjaman uang atau menghibur anak cacatnya. Yang pasti dia melakukan perjalanan menggendong anak remajanya itu dengan jarak yang cukup jauh. Dari rumahnya Tanjung Priok ke Pondok Indah bukanlah jarak yang dekat.

Anak yang digendongnya - sebut saja Iwan - adalah anak bungsunya. Mengetahui berapa usianya membuatku sedikit terdiam. Anak itu telah berusia 18 tahun. Bayangkan usia emas manusia dalam mencari jati diri, baik dengan berkelompok atau mengenal lawan jenis, dia tidak mengenalnya. Tatkala orang lain seusianya sibuk dengan sekolah, dia masih digendong. Kala orang lain mengenal teman perempuannya, mungkin hanya emaknya seorang saja perempuan yang setia menemani.

Bu Minah akhirnya bercerita bahwa sejak kecil Iwan sudah seperti itu. 'Tapi, sampai usia satu tahun, dia hidup normal Om, kayak orang lain'.

Itu berarti selama tujuh belas tahun, Iwan praktis bergantung kepada emaknya, dan digendong ibunya - selain bapaknya - ke mana pun dia pergi. Hanya rasa kasihan yang bisa tumbuh atas nasib Iwan seperti itu. Bayangkan, alangkah sabarnya dan kuatnya Bu Minah selama tujuh belas tahun menggendong beban seorang Iwan seberat dua puluh delapan kilogram. 'Berat sih, tapi saya diringankan Om', katanya.

Bu Minah melanjutkan, bahwa pada usia satu tahun, Iwan terjatuh. Entah karena jatuhnya terlalu parah, Iwan akhirnya harus diambil darah dan juga sumsum tulang belakang (saya tidak bertanya terlalu jauh tentang ini meski ada pertanyaan itu di benak). Sejak itulah, lalu Iwan menjadi lumpuh.

Di kursi depan taksi itu, Iwan kembali gelisah. Kepalanya memutar ke kiri dan ke kanan. Sepertinya dia tahu ada orang lain yang berbicara dengan ibunya.

'Iwan bisa melihat Bu?' tanya saja.

Menjawab pertanyaan itu, Bu Minah menarik nafas dan berkata bahwa sepertinya Iwan hanya bisa melihat bayangan saja. Dia sendiri tidak yakin. Kalaupun mendengar, Iwan rasanya bisa mendengar katanya.

'Lalu, gimana Iwan bisa tahu ini ibunya?' tanya saya lebih lanjut.

Dan jawabnnya cukup mengharukan. 'Dia tahu ibu-bapaknya kali dari baunya'. (Sekarang saya berpikir jika pertanyaan itu mungkin agak menohok atau menyakitkan, tapi saat itu saya hanya penasaran).

'Apa sudah dibawa ke dokter?'

Ternyata setelah fisik dan kesehatan Iwan bertambah buruk, Bu Minah membawa Iwan ke RS Cipto, yang lalu akhirnya harus mendapatkan perawatan.

'Dua minggu sekali Om'

Saya langsung tertegun. Masya Allah, dua minggu sekali. Berapa besar biayanya yang harus disiapkan.

'Ditanggung pemerintah Om. Ya, kalo seperti saya gini mah, harus berani malu jadi orang miskin. Ke Cipto pakai kartu miskin kelurahan. Yang sekarang sering repot nyari uang untuk ongkos saja ke Cipto'.

'Ibu, ibunya Iwan? Bapaknya masih ada?'

'Ada Om. Yah, kerja begitu Om. Di Glodok. Jualan kaset yang sepuluh ribu tiga'.

Saat itu Iwan tambah gelisah. Lalu dengan sok tahu saya berkata 'Kayaknya Iwan bosen ya Bu?'

Jawaban Bu Minah cukup mengagetkanku.

'Bukan om. Dia lagi senang, senang karena naik mobil'. Sebuah jawaban yang begitu menyentuh nurani, apalagi diutarakan oleh Bu Minah dengan wajah berseri seorang ibu yang sedang melihat anaknya yang cacat fisik dan mental sedang menikmati kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang hanya bisa dibaca oleh seorang ibu.

Saat Bu Minah turun dari taksi, tetap dengan Iwan di gedongannya, saya hanya diam. Sepanjang perjalanan tersisa menuju rumah, kembali saya seperti orang cengeng. Inginnya saya menangis. Saya melihat sebuah persembahan makna kehidupan yang dalam. Begitu dalam, berupa sebuah kasih seorang ibu yang tak berujung.

Bagaimana seorang perempuan seperti Bu Minah - yang sering diidentikan dengan kelemahan, terpampang begitu kuat. Kuat fisik dalam menggendong dua puluh delapan kilogram berat anak bungsunya yang harusnya sidah dewasa di hari terik.   Kuat mental dalam menghadapi kenyataan hidup yang keras dengan anak yang cacat selama tujuh belas tahun dan sepertinya akan begitu terus. Dan yang paling kentara adalah pertontonan rasa kasih sayang seorang ibu yang begitu dahsyat, tetap memberikan kasih yang tidak terputus meski tahu bahwa anaknya ada kemungkinan tidak bisa sembuh dan tidak akan memberikan sesuatu.

Persis seperti syair lagu anak:

Kasih IBU kepada beta,
Tak terhingga sepanjang masa,
Hanya memberi TAK HARAP KEMBALI,
Bagai Sang Surya menyinari dunia.....

Kawan.

Marilah kita coba maknai pertemuanku dengan Bu Minah dan Iwan di atas. Kasih ibu tak berujung. Berbaktilah kepada mereka karena mengasihi kita. Jagalah orang tua kita, terutama ibumu. Rasulullah mengajarkan kita untuk berbakti dan berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat.

Janganlah kita membuat orang tua menangis karena kecewa karena setitik air matanya adalah doa. Bahkan jelas Allah bersabda untuk mengasihi orang tuamu di masa tuanya, dan bahkan sampai detail untuk jangan berkata 'Ah'...'.

Kawan.

Jangan tunggu Lebaran datang. Ambil telepon sekarang, dan bicara dengan ibumu: 'Mam, maafkan aku anakmu. Sepanjang hidupku mungkin aku pernah membuatmu kecewa, membuat hatimu menangis, membuat air matamu menetes. Sungguh Mam, aku sadar kasih sayangmu tulus. Dan aku harapkan kasihmu lagi untuk secara tulus memaafkanku'.

Ambil kunci mobilmu, dan kemudikan ke rumah ibumu yang kecil itu. Di tengah kesendiriannya, bersimpuhlah, menangislah dengan tulus. Meminta maaflah: 'Bunda, aku anakmu yang tidak tahu diri, sekarang bersimpuh memohon maafmu. Besar kecil kesalahan pernah kubuat. Kuingin dengan besar hati kau maafkan anakmu ini'. Kaget dan menangis mungkin adalah respon ibumu. Juga bangga, tatkala melihat kesungguhan anaknya memohon maaf, yang dirasakan lebih tulus dibandingkan dengan sungkeman ritual Lebaran.

Atau ambil air wudu, shalatlah dan berdoalah bagi ibumu yang sudah tidak mungkin diajak bicara lagi dan sudah tidak pada tempatnya dimintai ampunan, karena telah tiada: 'Ya Ilahi, kesadaran diri datang terlambat. Umi sudah pergi, namun aku anaknya belum sempat melihat dia berurai mata bahagia. Aku belum sempat memohon maaf secara tulus darinya, dan aku sudah tidak punya kesempatan lagi. Tapi kuasaMu untuk melihat ketulusan makhlukMu ini Ya Allah. Maafkan kesalahanku terhadap ibuku, kecil besar, sengaja atau tidak. Limpahi rahmat ibuku dengan cahaya kasihmu, karena dia telah mengasihiku dengan tulus. Rabbi, ampunilah dosa kedua orang tuaku, dan sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku waktu kecil.'

Cag, 7 Mei 2011

Makna lain yang saya dapat dari pertemuan dengan Bu Minah:

Jagalah anakmu pada usia bayi, terutama bahaya dari terjatuh.

Hati-hatilah dalam mengambil sampel dari anggota tubuh - darah, sumsum tulang belakang dll. Tanyakanlah lebih lanjutbkepada mereka yang mengerti.

Ternyata di satu sisi yang jarang terekspose, Pemerimtah sudah berusaha memberi perlindungan kesehatan terhadap mereka yang miskin. Hargailah dan dukunglah pemerintah, salah satunya dengan melakukan pengawasan dalam pengeluaran kartu miskin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun