Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ke Majalengka lah kami belajar Rencana Kedua (Tulisan 3 dari 3)

21 Oktober 2014   05:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:19 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada proyektor, urat pun jadi

Sevuah presentasi memerlukan visualisasi akan materi lebih bergizi. Dan visualiasi juga membutuhkan perangkat pendukung seperti halnya gambar atau foto - karena sebuah gambar berbicara beribu kata. Namun sebuah acara workshop atau training atau sejenisnya tidaklah melulu harus diartikan sebagai sebuah acara presentasi. Dengan demikian, harusnya seorang pemateri paham bahwa ketiadaan perangkat pendukung - seperti halnya ketiadaan projector karena mati lampu – bukanlah akhir dunia.

Kondisi tanpa aliran listrik seperti yang terkadi di acara Bulan Bahasa SMAN 1 Majalengka itu sebenarnya tidak membuat saya - sebagai pemateri - panik. Sepanik-paniknya saya ya gak boleh diperlihatkan dong. Masa pemateri panik. Di mana harga dirinya (halah). Pemateri itu harus cool. Kalo ada yang melihat saya panik, itu hanya karena saya ingin menunjukan empati kepada panitia yang sedang panik bahwa saya satu rasa satu penderitaan. Masa saya harus tertawa di atas kepanikan panitia. La. Tidak.

Sejujurnya saya cukup panik. Terus terang, saya persiapkan materi jauh-jauh hari dalam bentuk presentasi agar siswa lebih mengerti dan lebih gampang mengikuti. Saya perbanyak gambar agar training atau workshop tidak hambar dan wajah jenuh siswa berubah menjadi berbinar karena materi yang lucu dan segar.

Namun saat itu saya tidak mempersiapkan Rencana Kedua yang biasanya saya lakukan tiap presentasi pekerjaan: mencetak (print out) bahan presentasi untuk dibagikan kepada siswa sebagai pengganti slide presentasi. Hal ini disengaja karena percuma mencetak bahan karena yang baca hasil cetakan pun akan kebingungan. Slide saya akan tidak karuan dalam versi cetak meski yahud dalam layar. Itu karena saya menggunakan banyak animasi.

Karena saya terbiasa berada dalam posisi tersudut seperti ini dalam pekerjaan, maka saya berpikir cepat: temukan Rencana Kedua di tempat. Saya sapukan pandangan berkeliling, ke arah panitia yang tegang, ke arah siswa yang gelisah, ke arah guru yang resah, dan ke tengah ruangan yang mulai terasa gerah. Aha! Rencana Kedua itu kutemukan. Tring (sebuah bohlam muncul di atas kepala saya).

Inilah Rencana Kedua itu yang kiranya akan saya lakukan saat itu:


  • Saya coba berbicara tidak memakai TOA tapi cukup memakai otot leher dan berbicara dengan volume cukup keras
  • Jika dalam usaha pertama hal itu terdengar seperti suara marah seperti yang selalu dimispersepsikan anakku, maka saya ikhlaskan memakai TOA
  • Saya memberikan materi bukan dari panggung tapi langsung turun melantai
  • Agar semua peserta bisa mendengar apa yang saya bicarakan, maka layout satu arah - siswa duduk seperti gerbong kereta dirasa tidak tepat. Saya harus berdiri di tengah ruangan dan para siswa membentuk lingkaran mengelilingi pembicara. I am the sun!
  • Lalu saya memberi materi dengan laptop berisi presentasi ada di kursi dan berlaku hanya sebagai panduan bak kisi-kisi, sementara saya bicara dengan improvisasi


Itulah Rencana Kedua yang sebenarnya akan saya lakukan. Namun, alhamdulillah ternyata rejeki sudah kembali pulih – listrik menyala - meski Rencana Kedua itu sudah mulai sedikit dijalankan.

Itulah hakikat saya memaknai apa yang terjadi (lesson learnt). Pikirkanlah apa yang harus dilakukan jika sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi. Buatlah Plan B, Rencana Kedua atau apalah itu istilahnya. Itulah hakekat sebuah istilah MITIGASI.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun