Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Berkat Om Tjiptadinata, Buku Narsis-ku Laku

4 Desember 2014   11:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:05 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang sahabat Kompasiana pernah bertanya 'buat apa menerbitkan buku indie, sudah mah nulis sendiri, mencetak dengan biaya sendiri eh harus menjual / memasarkan sendiri'. Pertanyaan itu terkait dengan buku pertama saya 'Cara Narsis Bisa Nulis' yang diterbitkan secara indie. Beliau heran dengan 'kerepotan' saya yang sepertinya bekerja keras memasarkan buku sendiri. Padahal sih iyes...agak repot sih. Tapi hal itu saya lakukan dengan sadar.

Menjual buku sendiri memang pilihan pribadi sehingga wajar kalau saya harus ikhlas menerima konsekuensinya bukan? Kenapa dipasarkan sendiri? Ya jawabannya sederhana 'apakah jika buku saya ada di Gramedia bisa laku terjual gitu?'. Padahal, 'da aku mah apa atuh' cuman penulis pemula yang kebetulan baik hati baik budi tidak ganteng...eh tidak sombong. Sebagai penulis awal yang nyaris datar, tidak gila, tidak nyeleneh, tidak gombal, saya agak tahu diri bahkan jika itu diterbitkan Gramedia nanti bukunya hanya sekelebatan muncul di rak utama sebelum teronggok, lalu terhina antara ada dan tiada. Perih nian. Dalam kondisi merana seperti itu, apakah mungkin bisa terjual 100 eksemplar buku dalam setahun? Hil yang mustahal sepertinya.

Namun.....lercuma menulis buku narsis kalau narsisnya tidak dipraktekan, bukan? Makanya saya pakai sistem pemasaran cara narsis: lewat wahana narsis - fesbuk. Saya simpan urat malu, saya pasang urat pede, saya perkuat urat jujur. 'Ini buku bagus...inspiratif loh'. Jujur kan, lha buku Narsis itu memang inspiratif kok. Nah, gegara kelewat pede itulah akhirnya buku Narsisku terjual lebih dari seratus dalam waktu kurang dari sebulan. Ah, ternyata beruntung menjadi cowok yang baik di fesbuk itu ya, karena selain banyak mendapatkan secret admirer, ternyata banyak yang baik hati - atau tepatnya kasihan mungkin, untuk mengikhlaskan kan uang kopinya untuk membeli buku yang saya pasarkan.

Langkah pemasaran kedua yang saya lakukan adalah memanfaatkan atau menularkan narsis lewat pasangan. Hei, jangan menguasai narsis seorang diri dong. Narsis lah bersama pasangan biar romantis. Dan siapa sangka, akibat menarsiskan suami sendiri, baik itu selesai pengajian, di arisan atau ketemu di jalan, istri saya berhasil menjual 40an buku ke teman-temannya. Itulah juga beruntungnya punya istri yang cantik, baik hati baik budi suka menolong, karena temanya banyak. Dan jangan buruk sangka, istri pasti ikhlas mendukung usaha jujur suami loh, baik itu ikhlas beneran atau ikhlas menerima komisi dua puluh persen.

Langkah pemasaran ketiga ya memamerkan karya, baik di sekolahan atau di Sasono Budoyo. Nah dalam Kompasianival itu pun saya memamerkan buku Narsis saya berbarengan dengan buku-buku lainnya di stand Peniti Community - komunitas yang terobsesi dengan peniti...haik. Nah di sinilah buku Narsisku laku, terutama berkat Pak Tjiptadinata K of the year kita.

'Laku? Emang berapa ratus eksemplar terjual?'

Plis deh. Jualan buku tentang menulis di ajang ketemuan para penulis lalu mengharapkan terjual ratusan eksemplar? Mikiiiiir. Terlepas sebelas saja sudah ikhlas. Sesuatu banget gitu loh. Bayangkan penulis keren sekelas Kang Dues Arbain saja mau-maunya beli buku Cara Narsis Bisa Nulis. What an honour.

'Hah. Mau-maunya Pak Tjip jualan buku punya Kompasianer tak tahu malu'.

Buah pala buang kedondong. Gak begitu dong. Coba bayangkan, siapa sih yang mau berkunjung ke pojokan ruangan yang disulap dari area halaman, beratap terpal berdinding plastik tebal. Tempat yang sebenarnya lebih cocok untuk menyepi di tengah keramaian, mojok untuk mengatupkan kelopak mata. Siapa coba yang mau beli buku di tempat agak pengap seperti itu.

Namun kami tertolong dengan kehadiran Pak Tjip dan istri. Beliau sudi mampir dan duduk cukup lama di stand kami, berhubung beliau juga ternyata menerbitkan buku terbarunya lewat Peniti. Dan Pak Tjip itu ibarat madu, banyak kumbang yang memendam rindu. Satu demi satu Kompasianer mampir dulu. Salaman, cipika-cipiki, berfoto - narsis. Lalu lihat-lihat meja, ada buku Pak Tjip yang keren. Eh...di sana ada juga buku keren juga mencolok mata berwarna biru. Narsis. Ah bolehlah beli satu. Bayangkan jika tidak ada Pak Tjip, mungkin buku yang lepas hanya dua, satu bertukaran dengan bukunya Pak Tjip dan satunya bertukaran dengan bukunya Mbak Titin.

Terima kasih ya Pak Tjip. Dengan tambahan sebelas buku terjual berkat Pak Tjip,Alhamdulillah sudah sekitaran 250an buku berpindah tangan, termasuk 30 buku gratis saat launching (suwer, ikhlaaaaaaas banget meski sebelumnya melambung harap dapat resensi). Rasanya tidak terbayang dalam waktu empat bulan sejak buku terbit sudah sebanyak itu terjual. Aah, bahagianya tuh di sini.

Jadi kawan. Tidak menyesal deh menerbitkan buku.

ps: sayang tidak ada fotonya. Pak TS atau Pak Dian, kemaren memfoto saya sama Pak Tjip gak ya? Minta fotonya dong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun