Mohon tunggu...
Rifki Dermawan
Rifki Dermawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Hubungan Internasional di Universitas Andalas

Rifki Dermawan merupakan dosen hubungan internasional di Universitas Andalas, Padang, Indonesia. Rifki menamatkan studi magister hubungan internasional di Bristol University, Inggris. Ia memiliki minat kajian di bidang ASEAN dan keamanan internasional.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia dalam Politik Internasional di Era Senjata Nuklir

15 September 2024   17:10 Diperbarui: 15 September 2024   17:10 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan senjata nuklir telah menjadi ancaman nyata bagi komunitas internasional semenjak puluhan tahun yang lalu. Asumsi dasar dari kondisi ini adalah senjata nuklir menjadi faktor pemicu terjadinya ketidakstabilan dalam hubungan internasional. Logika ini tidak sepenuhnya benar. Dalam tulisan ini, saya mencoba menguraikan bahwa situasi yang terjadi adalah sebaliknya. Relasi antara aktor internasional yang tidak stabil yang menjadi penyebab utama pemerintah mempersenjatai negara mereka dengan nuklir.  Apabila Indonesia ingin meredam laju pesat pengembangan senjata nuklir, maka pemerintah perlu berperan aktif dalam perwujudan perdamaian dunia.

Dinamika Senjata Nuklir dan Ancaman Korea Utara

Dikutip dari laman International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), pengembangan senjata nuklir sudah dimulai dari era 1940-an. Semenjak tragedi bom atom Nagasaki dan Hiroshima, beberapa negara mulai melakukan pengetesan bom nuklir, seperti Uni Soviet, Prancis, dan Tiongkok. Keberadaan senjata nuklir mewarnai dinamika hubungan antara negara khususnya di periode Perang Dingin. Mereka berpacu untuk memperkuat aspek pertahanan dan keamanan melalui senjata mematikan tersebut.

Senjata nuklir telah menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat luas dari awal kemunculannya. Dimulai dengan manifesto di tahun 1955 yang dirilis Bertrand Russell dan didukung Albert Einstein mengingatkan dunia akan ancaman besar dari perang nuklir. Kelompok masyarakat sipil dari berbagai belahan dunia turut mendorong gerakan pelucutan senjata nuklir. Kesepakatan Non-Proliferation Treaty (NPT) dan Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW) juga menjadi bagian penting dalam upaya pengelolaan senjata nuklir di level internasional.

Hari ini, potensi dari penggunaan senjata pemusnah massal tersebut masih ada. Kalkulasi dalam data ICAN memprediksi jika ada ledakan satu bom nuklir di kota New York maka bisa memakan korban jiwa sebanyak 583.160 orang. Kekuatan dan daya ledak mayoritas senjata nuklir modern juga berkali lipat dibanding bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima.

Semenanjung Koreatitik perseteruan Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel)merupakan salah satu kawasan yang memungkinkan adanya penggunaan senjata nuklir. Data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan bahwa Korea Utara diperkirakan memiliki 50 buah senjata nuklir. Selain itu, Korut diprediksi mempunyai bahan fisil yang mencukupi untuk membuat 90 perangkat nuklir.

Jika dibandingkan dengan negara pemilik senjata nuklir lainnya, Korut kerap memberikan pernyataan yang cenderung berisikan ancaman peluncuran senjata nuklir. Pada peringatan hari berdirinya Korea Utara beberapa waktu yang lalu, Kim Jong Un selaku pemimpin Korut, menegaskan bahwa pemerintahannya akan terus meningkatkan jumlah senjata nuklir. Informasi yang dipublikasikan Korean Central News Agency tersebut juga menampilkan foto inspeksi Kim Jong Un ke sebuah lokasi pengayaan uranium di Korut. Pemberitaan ini jelas memunculkan kekhawatiran bagi masyarakat internasional.

Kontribusi Indonesia untuk Keamanan Internasional

Membangun hubungan yang stabil antar negara merupakan faktor utama dalam meredam pengembangan senjata nuklir. Terlepas dari kepentingan nasional setiap negara, mewujudkan perdamaian antara Korut dan Korsel bukanlah suatu hal yang utopis. Sebagai contoh, gesekan antar negara di sebagian besar wilayah Eropa dan di kawasan Asia Tenggara dapat dikurangi dengan adanya organisasi kerja sama kawasan yaitu Uni Eropa dan ASEAN. Tommy Koh dalam tulisannya berjudul ASEAN and the EU: Similarities and Differences memaparkan bahwa pendirian Uni Eropa dan ASEAN sama-sama didasari upaya menciptakan perdamaian bagi negara anggotanya. Kondisi tersebut membuat mereka lebih fokus kepada kerja sama dan pengembangan ekonomi. Hal serupa juga dapat diupayakan di wilayah Semenanjung Korea.

Indonesia bisa menjadi aktor kunci dalam meminimalisir intensi Korea Utara untuk menggunakan senjata nuklir. Kedekatan dengan kedua belah pihak yang bersiteru juga menjadi nilai tambah bagi kekuatan diplomasi Tanah Air. Selain itu, pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 telah mengamanatkan Indonesia untuk turut serta dalam pelaksanaan ketertiban dunia. Komitmen kuat untuk mengupayakan perdamaian ini dapat diwujudkan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan bilateral dan multilateral.

Mekanisme bilateral merupakan bentuk komunikasi langsung yang dapat dilakukan Indonesia dengan Korea Utara. Jakarta bisa mengupayakan diplomasi untuk memastikan Pyongyang tidak melanjutkan pengembangan senjata nuklir ke level yang membahayakan. Melalui proses diskusi dan dialog secara rutin, Indonesia diharapkan bisa "mengingatkan" Korut mengenai konsekuensi dari senjata pemusnah massal yang mereka rakit.

Indonesia mempunyai posisi tawar yang kuat untuk mempengaruhi perilaku negara yang dipimpin Kim Jong Un tersebut. Secara historis, Indonesia telah menjadi rekan yang baik bagi Korut semenjak berdirinya kedua negara yaitu di era Soekarno dan Kim Il Sung. Hendra Manurung dalam salah satu penelitiannya di tahun 2020 menguraikan bahwa sepanjang pergantian kepresidenan di Tanah Air, Indonesia selalu menjalin hubungan baik dengan Korea Utara. Hubungan perdagangan antara kedua negara juga berjalan dengan lancar yang dibuktikan dengan lebih kurang 10 perjanjian dagang yang disepakati dari tahun 1961 hingga 2019.

Berdasarkan aspek politis, Indonesia memiliki citra positif bagi pemerintah Kim Jong Un. Pola komunikasi yang konsisten ditargetkan dapat membuat Korea Utara tetap merasa mempunyai partner di tengah sanksi dan boikot negara Barat. Indonesia bisa dikatakan sebagai mitra yang dipercaya oleh Korut dan diharapkan proses diplomasi menjadi lebih efektif.

Mekanisme kedua untuk menghadapi Korea Utara adalah melalui pendekatan multilateral. Indonesia dapat memimpin pergerakan ini dengan mendorong keterlibatan ASEAN dan negara yang terkait dengan konflik di Semenanjung Korea. Peran Indonesia sangat dinantikan karena sering digadang-gadang sebagai 'natural leader' dan 'de facto leader' di Asia Tenggara.

ASEAN merupakan salah satu aktor yang berpotensi kuat untuk menjembatani rekonsiliasi kedua negara. Tulisan Liang Tuang Nah berjudul ASEAN and North Korea's Nuclear and Missile Programs menunjukkan bahwa secara prinsipil organisasi kawasan Asia Tenggara ini menentang keras penggunaan senjata nuklir. Kesepakatan tersebut dideklarasikan dalam perjanjian Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ). Secara praktikal, relasi antara Korea Utara dengan mayoritas negara ASEAN juga relatif berjalan dengan stabil, khususnya dari segi ekonomi.

ASEAN bertindak sebagai organisasi internasional yang mempunyai peran signifikan, baik dari perspektif Korea Utara maupun Korea Selatan. Dalam beberapa kesempatan, kedua belah pihak kerap mengkomunikasikan situasi terkini di wilayah mereka dan berharap ASEAN mengambil tindakan tertentu. Pada Maret 2017, Menteri Luar Negeri Korut menyampaikan surat kepada Sekretaris Jenderal ASEAN mengabarkan adanya latihan militer Amerika Serikat-Korsel. Momen ini menjadi justifikasi bagi Korut untuk terus mengembangkan nuklirnya dan berharap ASEAN menentang keras aktivitas militer tersebut.

Korsel juga menaruh harapan yang sama terhadap peran aktif ASEAN. Baru-baru ini, Korsel merespon pernyataan Kim Jong Un yang akan meningkatkan jumlah rudalnya. Lee Jang-keun, duta besar Korsel untuk ASEAN, menegaskan bahwa organisasi kawasan Asia Tenggara dapat menggunakan diplomasinya untuk memperjuangkan perdamaian Semenanjung Korea. Lebih lanjut, Lee menyampaikan ASEAN telah bertransformasi menjadi kumpulan negara middle power yang diperhitungkan di sistem internasional.

Sebagai salah satu negara anggota yang berpengaruh, Indonesia bisa mendorong forum ASEANseperti ASEAN Regional Forum (ARF)untuk menjadi wadah diskusi polemik nuklir Korea Utara. ARF merupakan medium dialog keamanan yang melibatkan berbagai negara dan dapat menjadi tempat pertemuan Korut, Korsel, serta negara lainnya yang berkepentingan dalam konflik Semenanjung Korea. Budaya ASEAN yang menekankan musyawarah dan mufakat diharapkan bisa lebih menstabilkan relasi negara-negara tersebut sehingga mengarah kepada perdamaian.

Berdasarkan aspek kebijakan dan pernyataan resmi pemerintah, perilaku Korut menyiratkan bahwa ia menerapkan mekanisme no-first-use. Tindakan ini bermakna Korut tidak akan menggunakan senjata nuklir untuk menyerang negara lain, tetapi hanya untuk pertahanan di saat genting. Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa cara optimal untuk menghentikan pengembangan senjata nuklir adalah dengan membangun rasa percaya dan hubungan damai antara satu negara dengan yang lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun