Indonesia mempunyai posisi tawar yang kuat untuk mempengaruhi perilaku negara yang dipimpin Kim Jong Un tersebut. Secara historis, Indonesia telah menjadi rekan yang baik bagi Korut semenjak berdirinya kedua negara yaitu di era Soekarno dan Kim Il Sung. Hendra Manurung dalam salah satu penelitiannya di tahun 2020 menguraikan bahwa sepanjang pergantian kepresidenan di Tanah Air, Indonesia selalu menjalin hubungan baik dengan Korea Utara. Hubungan perdagangan antara kedua negara juga berjalan dengan lancar yang dibuktikan dengan lebih kurang 10 perjanjian dagang yang disepakati dari tahun 1961 hingga 2019.
Berdasarkan aspek politis, Indonesia memiliki citra positif bagi pemerintah Kim Jong Un. Pola komunikasi yang konsisten ditargetkan dapat membuat Korea Utara tetap merasa mempunyai partner di tengah sanksi dan boikot negara Barat. Indonesia bisa dikatakan sebagai mitra yang dipercaya oleh Korut dan diharapkan proses diplomasi menjadi lebih efektif.
Mekanisme kedua untuk menghadapi Korea Utara adalah melalui pendekatan multilateral. Indonesia dapat memimpin pergerakan ini dengan mendorong keterlibatan ASEAN dan negara yang terkait dengan konflik di Semenanjung Korea. Peran Indonesia sangat dinantikan karena sering digadang-gadang sebagai 'natural leader' dan 'de facto leader' di Asia Tenggara.
ASEAN merupakan salah satu aktor yang berpotensi kuat untuk menjembatani rekonsiliasi kedua negara. Tulisan Liang Tuang Nah berjudul ASEAN and North Korea's Nuclear and Missile Programs menunjukkan bahwa secara prinsipil organisasi kawasan Asia Tenggara ini menentang keras penggunaan senjata nuklir. Kesepakatan tersebut dideklarasikan dalam perjanjian Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ). Secara praktikal, relasi antara Korea Utara dengan mayoritas negara ASEAN juga relatif berjalan dengan stabil, khususnya dari segi ekonomi.
ASEAN bertindak sebagai organisasi internasional yang mempunyai peran signifikan, baik dari perspektif Korea Utara maupun Korea Selatan. Dalam beberapa kesempatan, kedua belah pihak kerap mengkomunikasikan situasi terkini di wilayah mereka dan berharap ASEAN mengambil tindakan tertentu. Pada Maret 2017, Menteri Luar Negeri Korut menyampaikan surat kepada Sekretaris Jenderal ASEAN mengabarkan adanya latihan militer Amerika Serikat-Korsel. Momen ini menjadi justifikasi bagi Korut untuk terus mengembangkan nuklirnya dan berharap ASEAN menentang keras aktivitas militer tersebut.
Korsel juga menaruh harapan yang sama terhadap peran aktif ASEAN. Baru-baru ini, Korsel merespon pernyataan Kim Jong Un yang akan meningkatkan jumlah rudalnya. Lee Jang-keun, duta besar Korsel untuk ASEAN, menegaskan bahwa organisasi kawasan Asia Tenggara dapat menggunakan diplomasinya untuk memperjuangkan perdamaian Semenanjung Korea. Lebih lanjut, Lee menyampaikan ASEAN telah bertransformasi menjadi kumpulan negara middle power yang diperhitungkan di sistem internasional.
Sebagai salah satu negara anggota yang berpengaruh, Indonesia bisa mendorong forum ASEANseperti ASEAN Regional Forum (ARF)untuk menjadi wadah diskusi polemik nuklir Korea Utara. ARF merupakan medium dialog keamanan yang melibatkan berbagai negara dan dapat menjadi tempat pertemuan Korut, Korsel, serta negara lainnya yang berkepentingan dalam konflik Semenanjung Korea. Budaya ASEAN yang menekankan musyawarah dan mufakat diharapkan bisa lebih menstabilkan relasi negara-negara tersebut sehingga mengarah kepada perdamaian.
Berdasarkan aspek kebijakan dan pernyataan resmi pemerintah, perilaku Korut menyiratkan bahwa ia menerapkan mekanisme no-first-use. Tindakan ini bermakna Korut tidak akan menggunakan senjata nuklir untuk menyerang negara lain, tetapi hanya untuk pertahanan di saat genting. Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa cara optimal untuk menghentikan pengembangan senjata nuklir adalah dengan membangun rasa percaya dan hubungan damai antara satu negara dengan yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H