Amerika Serikat dan Cina sampai saat ini terus berada di tengah-tengah persaingan dalam hal ekonomi. Persaingan tersebut muncul karena keinginan yang sama dari kedua negara untuk menjadi penguasa di perekonomian dunia.
Salah satu indikator meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara yaitu melalui perdagangan internasional. Namun, sengitnya perdagangan yang dilakukan antar negara dapat memicu konflik yang kemudian menjadi perang dagang. Amerika Serikat dan Cina menggunakan mekanisme proteksionisme untuk menekan perdagangan internasional satu sama lain.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Goncalves et al dan Jain et al, keduanya membuat kronologi dari perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dengan Cina sepanjang tahun 2018 sebagai berikut.
Pertama, pada bulan Januari 2018, Amerika Serikat memberikan penambahan tarif impor Cina untuk produk panel surya dan mesin cuci serta mengecam untuk memberikan sanksi kepada Cina akibat adanya dugaan pencurian HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual)
Kedua, pada bulan Maret 2018, berlanjut Amerika Serikat menaikkan tarif impor untuk produk alumnium dan baja. Di bulan April 2018, terdapat respon balasan dari Cina dengan memberikan tambahan tarif untuk 128 produk asal Amerika Serikat. Kemudian dibalas kembali oleh Amerika Serikat melalui penaikan tarif untuk teknologi tingkat tinggi milik Cina.
Ketiga, pada bulan Juli 2018, Cina membuat serangan balik dengan mengumumkan kenaikan tarif impor untuk Amerika Serikat sebesar 34 miliar US dollar. Serangan tersebut dibalas Amerika Serikat dengan mengubah tarif hingga 25% untuk produk impor milik Cina.
Banyaknya serangan yang dilakukan oleh kedua negara, bagaimana kemudian perkembangannya di masa sekarang?
Pada saat ini, perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina disinyalir menjadi penyebab terjadinya resesi ekonomi pada tahun 2023 mendatang. Hal tersebut dikarenakan adanya penurunan pertumbuhan ekonomi negara adikuasa Amerika Serikat akibat perang dagang yang kembali mencuat dari sebelumnya sempat mereda pada tahun 2020 sampai 2021 akhir dimana Covid-19 mencapai puncaknya. Perang dagang mereda disebabkan kedua negara fokus untuk memulihkan ekonomi nasional yag disebabkan oleh wabah Covid-19 sehingga keduanya sama-sama mencabut kebijakan proteksionismenya dan menghilangkan kenaikan tarif kembali seperti semula dari 25% menjadi 7,5%. Namun, setelah pandemi mulai mereda, perang dagang justru kembali memanas dan mendorong terjadinya resesi ekonomi
Apa itu resesi ekonomi? resesi ekonomi menurut Otoritas Jasa Keuangan(OJK) merupakan kondisi memburuknya perekonomian suatu negara dilihat dari tren penurunan kearah negatif Produk Domestik Bruto (PDB) negara dan berlangsung selama dua kuartal berturut-turut.
Resesi ekonomi dapat terjadi dari berbagai faktor. Pertumbuhan ekonomi saat ini yang terus menurun merupakan dampak dari banyaknya permasalahan dunia yang menggangu stabilitas ekonomi global seperti pandemi Covid-19 dan juga perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina
Perang dagang Amerika Serikat dengan Cina memang membawa pengaruh yang signifikan terhadap dinamika hubungan internasional di dunia, terutama stabilitas ekonomi. Dari tingkat regional, perang dagang sudah berdampak nyata kepada terhambatnya proses menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2025, pasalnya Cina dan Amerika Serikat merupakan mitra dagang terbesar negara-negara anggota ASEAN. Produk dari kedua negara tersebut memberikan sumbangan 20% dari total ekspor negara-negara ASEAN.