Kepedulian Cak Gombloh kepada kaum minor yang dipinggirkan keadaan, mutlak menaklukkan gengsi "ngartis" yang jamak di dunia hiburan. Ia sama sekali tidak peduli apa itu namanya eksistensi, popularitas.Â
Ia tidak kenal nama baik, image, citra. Yang Cak Gombloh pedulikan adalah apa yang tak dipedulikan orang lain. Yang Cak Gombloh kenal adalah memanusiakan manusia.
Cak Gombloh berupaya mengangkat derajat kaum WTS khususnya, yang oleh bawah sadar umum, terlanjur "dihakimi" sebagai kaum hina dina.Â
Butuh keluasan hati yang luar biasa untuk selalu menyisihkan honor manggung yang dipergunakan membeli bra dalam jumlah banyak nan dibagikan secara cuma-cuma kepada kaum WTS.Â
Butuh ketangguhan mental bagi Cak Gombloh untuk membagikannya langsung kepada kaum WTS.
Kaya yang pernah disingkapkan Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib) pada sebuah acara Sinau Bareng Kiai Kanjeng. Mbah Nun diajak oleh Cak Gombloh membagikan 500 helai bra bermacam warna dan ukuran dari atas becak, di sepanjang jalan wisma yang berderet-deret di lokalisasi Dolly.Â
Para kaum WTS menanti dimuka wisma, menangkap bra yang dilempar acak oleh Cak Gombloh dari atas becak.
Penulis membayangkannya. Ini pemandangan sungguh indah, drama luar biasa. Seorang musisi terkenal dan serta tokoh nasional dengan tanpa tedeng aling-aling, berani membagikan bra dari atas becak yang disambut raihan tangkapan tangan kaum WTS yang menanti di pinggir-pinggir jalan.
Satu lagi, terakhir. Tembang Cak Gombloh "Hong Wilaheng" yang khusyuk itu. Siapa kira, Cak Gombloh mampu menitik-temukan serat-seratÂ
Wedhatama dan Pangkur yang berpencaran pupuhnya, nun menalinya menjadi sebuah tembang yang sukar dideskripsikan oleh kata-kata pikiran.Â
Lamun sarat akan makna. Penulis kira, inilah tembang makrifat. Hanya yang punya bekal spiritualitas tak biasa yang mampu melaksanakannya.