Mohon tunggu...
Rifki GG
Rifki GG Mohon Tunggu... -

“Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian.” (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Money

Pemain Utama Era Ekonomi Digital

8 Februari 2017   07:02 Diperbarui: 8 Februari 2017   08:49 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kira - kira antara tahun  80an dan 90an, hanya dengan pengetahuan dasar mengenai HTML, Adam Landry, 15 tahun, berhasil membuat sebuah laman web. Di laman yang sederhana ini, ia cantumkan profil dan foto diri, musik kesukaan, olahraga favorit serta semua yang dapat membantunya mencapai tujuannya : mendapatkan pacar.

Siapa Adam Landry? Tidak ada yang informasi yang spesifik tentangnya kecuali apa yang dicatat Don Tapscott dalam bukunya The Digital Economy. Tapi ia mungkin tidak menyangka konsep yang ia gunakan pada laman webnya di kemudian hari menjadi magnet yang menarik jutaan manusia. Pada 1997 Sixdegrees, situs jejaring sosial dengan konsep web contact lahir dan mencapai lebih dari satu juta pengguna. Tahun 2002 Friendster muncul, merajai asia serta menjadi primadona di Indonesia. Friendster diakses sekitar 115 juta pengguna. Myspace menyusul satu tahun kemudian dan menembus 130 juta user. Facebook datang pada 2008 dan sejak itu meningkat pesat. Hari ini Facebook memiliki 1.86 milyar user. Atau dengan kata lain sekitar 25 % dari total populasi dunia adalah pengguna Facebook. Magnet yang besar ini tentu juga mendatangkan keuntungan yang selangit. Myspace misalnya, mencatatkan keuntungan 800 juta dollar US pada tahun 2008. Sementara Facebook menurut laporan Reuters, tahun lalu meraup laba sekitar  8.8 milyar dollar US.

Memasang foto diri serta menuliskan beberapa detil mengenai diri adalah aktivitas simpel. Banyak orang tidak melakukannya kecuali untuk buku angkatan atau mengurus KTP.  Tapi digitalisasi datang, mengadopsinya dan membuatnya lebih interaktif : dapat dimodifikasi sesuai selera & cukup dengan satu klik dapat dihilangkan. Dan darinya mengalirlah laba yang menggiurkan. Ini barulah kapling kecil dalam peta ekonomi yang merupakan efek dari layanan digital. Belum termasuk keuntungan sosial media lainnya dan transaksi e-commerce secara global.

Sentuhan digital telah merubah lanskap aktivitas ekonomi di planet bumi. Seperti yang dikatakan Don Tapscott di era industri untuk menjadi kaya seseorang harus punya modal, baja, dan tanah. Modal harus besar agar keberlangsungan usaha terjamin. Baja sebagai bahan baku produk. Dan tanah untuk membangun pabrik. Tapi lihat bagaimana era digital mereduksi peran tiga hal ini menjadi faktor nomor sekian dalam membangun kemakmuran. Amazon, sebelum menjadi perusahaan retailer online terbesar di AS, awalnya hanya bermodal koneksi internet dan garasi. Ahmad Zacky sukses dengan Bukalapak bermodal utamakan pengetahuan dan pengalaman di bidang IT.  

Perubahan lanskap itu juga tampak dari kualitas produk yang ditawarkan. Jauh sebelum hadirnya layanan digital, produk rata-ratanya sangat seragam. Dulu, jika seseorang membeli kaos dari pemanufaktur tertentu, ada kemungkinan ia akan terheran-heran ketika di jalan berpapasan dengan orang lain yang menggunakan kaos yang sama. Tapi dengan layanan internet saat ini, barang menjadi terkostumisasi. Seseorang bisa memesan kaos, mug, cashing smart phone, sepatu, dan hampir apa saja dengan desain menurut preferensi pribadinya. Ini disebabkan oleh konektifitas yang dijembatani oleh internet mampu menghubungkan antar produsen dan masyarakat dengan cepat serta menjawab kebutuhan spesifik yang mereka punya. Ini pula yang menghindarkan mereka dari problem kosongnya penyalur saat ingin mendapatkan barang tertentu. Pernak-pernik grup JKT48 yang tentunya tak bisa didapatkan fans grup ini di toko konvensional, kini dapat dipesan lewat tokopedia.  

Yang mengesankan dari perubahan lanskap aktivitas ekonomi yang disebabkan oleh layanan digital ini adalah ripple effect yang ditimbulkan. Yaitu lebih terbukanya peluang dan proyek bisnis baru bagi siapa saja. Di Amazon, lewat layanan kindlenya seseorang bisa menulis buku dan langsung menjualnya tanpa perantara. Layanan ini memberi kesempatan pada siapa saja yang ingin menulis tapi terbentur pada lika-liku penerbitan konvensional yang memakan waktu dan tak jarang membutuhkan modal. Di Indonesia sendiri ripple effect itu tampak dari apa yang Bukalapak lakukan. Lewat layanannya, 1.2 juta UKM berhasil lahir. Ini jelas membantu membangun kemandirian  ekonomi masyarakat. Tambah lagi bisnis jasa pengiriman yang menunjukan peningkatan sebagai konsekuensi dari terus tumbuhnya transaksi online Indonesia.

Statista dalam statistiknya, menulis bahwa pada tahun 2016 kontribusi ekonomi digital terhadap GDP AS berkisar  5.4 %.  Sedangkan sumbangan ekonomi digital untuk GDP Indonesia kira kira 1.5 %. Masih di tahun yang sama The Economist merilis data statistik bahwa sektor ekonomi digital Britania bertotal 118 milyar poundsterling. lebih rendah dari yang diberikan sektor manufaktur sebesar 151 milyar poundsterling. Secara persentase dan jumlah, share ekonomi digital terhadap ekonomi global memang masih kecil dibanding sektor ekonomi konvensional. Namun seiring waktu, banyak yang meyakini gap ini akan menyusut. Di antara penyebabnya adalah meski baru lahir dua dekade yang lalu, ekonomi digital berkembang sangat cepat. Perkembangan situs jejaring sosial, Google dan Amazon dapat menjadi contohnya. Di samping itu, tren menunjukan bahwa hampir semua lini yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak  mulai dari data kependudukan sampai fasilitas perbankan sudah terdigitalisasi. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur produk fisik seperti General Elektrik di AS atau retailer seperti Hypermart di Indonesia telah hadir online.

Hanya butuh sedikit waktu hingga ekonomi digital menjadi pemain utama dalam perekonomian global. Yang perlu ditanyakan sekarang adalah "Bagaimana cara bertahan di era ekonomi digital"? Sebab meski melahirkan banyak terobosan, digitalisasi juga menegaskan bahwa ada banyak ketidakpastian. Rasanya baru kemarin popularitas Friendster dan Yahoo menggema, tapi dua nama ini tidak lagi dalam daftar utama kunjungan orang-orang. Bila cepat berpuas hati, raksasa seperti Facebook dan Twitter serta pelaku usaha mana saja bisa tergilas.

Ketika demam emas melanda Amerika ada ucapan bijak : untuk menjadi kaya ada dua cara. Satu menjadi penggali emas. Dua, menyediakan infrastruktur untuk para penggali emas. Pesan yang sama mungkin dapat  diaplikasikan dalam topik ini. Untuk memastikan kokohnya peran di era ekonomi digital ada dua yang mesti dilakukan. Terus menerus melakukan inovasi di bidang teknologi dan informasi yang merupakan produk utama era digital. Atau menjadi pemain utama penyedia layanan dan infrastruktur bagi  lalu lintas teknologi dan informasi itu sendiri.

Terobosan Telkomsel dengan satelit 3Snya dapat dibaca sebagai usaha memperluas jangkauan konektifitas bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sekaligus merupakan satu langkah lebih maju sebagai pemain utama penyedia layanan lalulintas IT di era ekonomi digital yang niscaya.

Sumber :

1. The Digital Economy Don Tapscott

2. Facebook Result

3. Forecast of Internet Economy as Percentage og GDP in G-20 Countries

4. Digital Economy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun