Mohon tunggu...
Rifki GG
Rifki GG Mohon Tunggu... -

“Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian.” (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita, Rizieq, Patrialis dan Skandal

2 Februari 2017   19:59 Diperbarui: 2 Februari 2017   20:17 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Etika dalam dunia politik sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat AS. Tapi hal itu tidak berlaku bagi Donald Trump. Ia berhasil melenggang ke Gedung Putih meski punya segudang skandal. Sebuah koran menulis kurang lebih ;  seorang presiden bebas skandal akan digantikan oleh presiden yang namanya tak pernah sepi dari skandal. Penyebabnya mungkin karena pemilih di AS sebenarnya tidak sebenci itu terhadap skandal. Sebaliknya di bawah alam sadar mereka, skandal adalah sesuatu yang dinanti.

Bagaimana di Indonesia? Tampaknya kita juga demikian.

Status kasus Habib Riziek sudah dinaikkan ke tahap penyidikan. Tapi perhatian publik lebih tertuju pada dugaan adanya chat tidak senonoh antara dirinya dengan seorang wanita. Masalah hukumnya menjadi tidak begitu penting lagi. Memang pemberitaan di media-media masih memberi porsi pada masalah hukumnya. Tapi tidak sebesar ruang mengenai isu hubungannya dengan sang wanita.

Konten berita penangkapan Patrialis Akbar juga menjadi bukti bahwa kita mendamba munculnya skandal. Ketika ia ditangkap, yang muncul di media, berdampingan dengan berita penangkapannya, adalah berita mengenai seorang gadis cantik yang dikesankan menjalin hubungan spesial dengannya.

Ada banyak sebab mengapa skandal mendapat tempat di tengah masyarakat. Tapi yang paling dominan adalah karena manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan judgement, penilaian moral. Skandal menyediakan ruang untuk melakukan  judgement itu. Sekaligus memberikan sensasi superioritas secara moral atas orang yang terlibat skandal.

Apalagi bila yang terlibat skandal adalah orang yang memiliki posisi dalam masyarakat seperti Patrialis Akbar yang merupakan seorang hakim dan Habib Riziek yang sangat kental dengan simbol agama.

Hal ini tentu saja bukan tanpa konsekuensi. Terkait kasus LGBT, Patrialis pernah menyampaikan bahwa HAM dibatasi oleh Moral dan Agama. Pernyataannya ini belum lama diangkat dan disandingkan dengan berita mengenai kedekatannya dengan seorang gadis. Sedikit banyak ini akan mempengaruhi bagaimana masyarakat bersikap terhadap pernyataan tersebut. Secara objektif pernyataan itu bisa jadi memiliki kebenaran. Tapi kesan yang terbangun dari dugaan hubungan Patrialis dengan gadis itu dapat membuat orang meragukan nilai kebenaran pernyataan itu.

Konsekuensi lain dari sebuah skandal adalah betapa orang-orang teralihkan dari inti utama sebuah permasalahan. Munculnya dugaan percakapan via chat antara Habib Rizieq dan seorang wanita, menyebabkan substansi masalah hukum Ketua Umum  FPI itu menjadi kabur. Ketimbang mendapatkan edukasi seputar masalah hukum dari kasus ini orang-orang justru membicarakan hal yang belum pasti kejelasannya serta tidak menawarkan apa-apa kecuali sensasi semata.

Ketertarikan pada skandal ini menjadi sebuah pemandangan tersendiri yang penuh ironi. Di satu sisi, lewat skandal orang-orang memenuhi hasrat psikologis mereka. Di sisi yang lain, mereka juga tahu betapa salahnya skandal itu sendiri. Layaknya menyaksikan pertunjukan bullfighter di Spanyol. Di mana seorang matador mempermainkan seekor banteng, melukainya sedikit dan demi sedikit dan pada akhirnya membunuhnya. Salah tapi seru.

Yang lebih memiriskan hati tentu apabila skandal digunakan demi tujuan politik. Sebab  lewat skandal kelemahan seseorang tampak. Sedang melalui politik kekuasaan direbut dengan penuh kesadaran. Menggunakan skandal demi keuntungan politik berarti mengeksploitasi kelemahan orang lain secara sadar demi kekuasaan. Dan ini tidak mungkin mendapat pembenaran

Tentu yang demikian itu jika ruh politik kita adalah sila kedua dan keempat Pancasila. Namun jika kita menganggap politik adalah perang yang harus dimenangkan dengan cara apa saja, ada adagium "In war and love, everything is fair".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun