"Pasar adalah ruang bersosialisasi, di mana membeli dan menjual berlangsung dikelilingi oleh kegiatan lain, tempat anda datang untuk bertemu teman, mendengar cerita, berdebat mengenai gagasan. Tak seperti Starbucks atau Depertemen Store. Ia adalah ruang di mana sambutan atas kedatangan anda tidak ditentukan oleh kemampuan anda untuk membelanjakan uang"
Dougald Hine
"Tadi ada yang mau beli. Dia mau daging ayamnya dipotong kecil-kecil. Tapi nggk jadi." Jawab si pedagang melihat seorang pelanggannya yang heran karena ada potongan paha, sayap dan dada ayam yang menumpuk tinggi di antara daging ayam yang masih utuh. Demikian saya saksikan suatu kali. Sulit rasanya membayangkan kejadian itu terjadi di swalayan atau supermarket. Fleksibilitas dan toleransi dalam jual beli seperti itu hanya mungkin terjadi di pasar.
Memang pembatalan seperti itu tidak selalu. Tapi itu cukup jadi penanda bahwa di pasar, tawar-menawar sebagai esensi jual beli terus terpelihara. Seorang pembeli masih merasakan ia adalah seseorang yang memiliki kekuatan untuk menawar. Kekuatan yang dirampas oleh supermarket dan swalayan.
Perkembangan konsep marketing, melahirkan swalayan dan supermarket yang mengemas kegiatan belanja menjadi menarik dan lux. Masyarakatpun mengalihkan aktivitas belanja mereka dari pasar. Pasar tampak kehilangan wibawa.
Namun justru di titik itulah pasar muncul dengan warna yang lebih kuat sebagai representasi kultur dan budaya. Ia tidak lagi sebuah pusat tempat terjadinya transaksi. Tapi saat swalayan dan supermarket menawarkan privasi dalam berbelanja, pada pasarlah kita menemukan sensasi interaksi dengan orang lain yang sejatinya adalah kebudayaan dan kultur kita. Pasar hari ini mengembalikan ingatan kita tentang hangatnya hubungan.
Hangatnya hubungan itu ada pada sapaan kepada siapa saja yang lewat. "Cari apa Pak"? atau "Murah Bu. Mampir lihat dulu barangnya". Kehangatan itu bahkan agak mengenyampingkan hitungan untung rugi. Seorang ibu penjual cabai, setelah memasukan sesuai takaran yang diinginkan pembeli, akan menambahkan sejumput cabai lagi. Terenyuh rasanya. Dan dilepasnya kita dengan senyuman. Ucapan selamat datang dan terima kasih serta konsep bonus di swalayan hari ini sudah lama dipraktikan dan menjadi ruh penjaja di pasar.
Perlakuan yang akrab semacam itu memungkinkan komunikasi terbangun. Dari sebatas tawar-menawar, meningkat menjadi bertukar cerita. Bahkan sampai pada level saling memperhatikan kondisi kesehatan satu sama lain seperti tutur Pak Tjiptadinata Effendi dalam tulisannya http://www.kompasiana.com/tjiptadinataeffendi21may43/tanah-kongsi-bukti-sejarah-urgensinya-pasar-rakyat_587b7062737a61ac038b456b . Bentuk hubungan yang semacam ini membuat seseorang selama di pasar mencium, meminjam istilah dari Korea Selatan tentang pasar tradisional, saram naemse, "The smell of people". Istilah yang tidak hanya merujuk pada aroma tubuh orang-orang yang berbelanja di pasar. Tapi juga semua sisi kemanusiaannya. Di pasarlah seseorang mengetahui orang lain hampir secara utuh. Kebutuhannya, kabar dirinya, cara bicaranya, gaya berjalannya, model tawanya atau pakaian yang menurutnya paling nyaman untuk dikenakan.
Lebih dari ini semua, di pasar rakyat lah konsep keadilan sosial yang merupakan cermin budaya gotong royong kita mewujud. Pasar adalah ruang di mana secara bersama sama, misalnya, pembuat kue rumahan kecil-kecilan, perintis usaha tahu atau petani pisang memasarkan hasil yang telah mereka usahakan. Dan karena konsep sebagai sebuah ruang bersama inilah, kesan hegemoni pemusatan keuntungan pada satu pihak tak terasa di dalam pasar. Berbeda dengan yang muncul dalam benak saat melihat supermarket atau swalayan.
Di barat dengan individualisme yang mendikte, konsep belanja menjadi semakin privat. Yang paling baru dari konsep belanja privat ini adalah munculnya situs jual beli online seperti E-bay dan Amazon. Ini adalah model transaksi di mana penjual dan pembeli tak lagi bertatap muka dan jauh dari persentuhan dengan orang lain. Sebagai bagian dari dunia global, adalah keniscayaan bahwa konsep belanja tanpa pasar -dan otomatis nir interaksi- akan melanda Indonesia. Ini jelas akan mempengaruhi pola hubungan sosial dalam masyarakat Indonesia yang selama ini dibangun di atas kepedulian dan kebersamaan. Di sinilah pasar rakyat menemukan urgensinya sebagai sebuah tempat di mana kesadaran tentang kebersamaan itu terus hidup. Tidak hanya selama ini pasar rakyat telah menjadi penyangga ketahanan sosial kita. Tapi ia juga adalah token pengingat karakter kita sebagai sebuah bangsa.
Yang perlu terus diusahakan adalah bagaimana kita terus memperbaharui kesadaran kita mengenai posisi vital pasar rakyat ini. Hari Pasar Rakyat Nasional sangat relevan sebagai jawaban.