Mohon tunggu...
RIFKI FADILLAH
RIFKI FADILLAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UIN SUNAN GUNUNG JATI BANDUNG

https://linktr.ee/rifki_fadillah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kurangnya Partisipasi Masyarakat Dalam Kontestasi Pilkada 2024

12 Desember 2024   12:00 Diperbarui: 12 Desember 2024   11:04 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Rifkianto Nugroho

Menurut Beni Ahmad Saebani, dalam buku Ilmu Sosial Dasar (Bandung, Pustaka Setia, 2023:138) bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menerapkan sistem pemerintahan demokrasi, yaitu pemerintahan yang bersandarkan pada kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan atau kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung secara jujur, bebas, dan adil.

Namun, realisasi demokrasi tersebut masih belum optimal, terlihat dari tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 yang hanya mencapai sekitar 68 persen, menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU). Angka ini menunjukkan penurunan drastis dibandingkan dengan Pemilu 2024 yang mencatatkan 81,78% untuk Pilpres dan 81% untuk pemilu legislatif. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada kesenjangan antara konsep demokrasi dan implementasinya di lapangan.

Rendahnya partisipasi pemilih merupakan indikator bahwa masyarakat kurang puas dengan kualitas calon kepala daerah yang ada. Masyarakat merasa bahwa calon tersebut tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka.

Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang meningkatnya praktik politik kekerabatan, terlihat dari jumlah calon dari dinasti politik yang mencapai 605 orang pada Pilkada 2024, meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan Pilkada sebelumnya.

Contohnya adalah di Pilgub Jakarta, Partisipasi pemilih di DKI Jakarta termasuk yang paling rendah di Indonesia, dengan angka 58% pada Pilkada 2024, jauh di bawah capaian Pilkada 2017 yang mencapai 78%.

Rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 disebabkan beberapa faktor. Utamanya, kelelahan pemilih karena pelaksanaan pemilu nasional dan Pilkada yang bersamaan. Hal ini menurunkan antusiasme masyarakat, bahkan dari penyelenggara, dan partai politik sendiri.

Sebelumnya, pada 14 Februari 2024, kita sudah menyelenggarakan Pemilu yang bahkan mengharuskan pemilih untuk "menghadapi" lima surat suara sekaligus, yakni Pemilihan Presiden, Pemilihan Anggota DPR-RI, Pemilihan Anggota DPRD Provinsi, Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota, Pemilihan Anggota DPD-RI. Dengan kata lain, masyarakat kita menjalani hingga tujuh agenda pemilihan yang dibagi ke dalam dua kali pemungutan suara pada 2024 ini. (Detik.News /10/12)

Lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu, seperti politik uang, juga menjadi penyebab turunnya kepercayaan publik. Berbagai modus baru yang digunakan untuk membeli suara tidak ditangani secara efektif, sehingga masyarakat meragukan integritas proses pemilu.(Kompas.com, /02/12).

Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, juga angkat bicara terkait hal ini, ia mengatakan bahwa kurang menariknya Tempat Pemungutan Suara (TPS) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2024. Lokasi pemungutan suara yang menarik dapat meningkatkan minat pemilih pemula, terutama Gen Z yang merupakan kelompok pemilih terbesar pada Pemilu 2024. Selain itu, penempatan TPS yang kurang strategis juga berkontribusi pada rendahnya partisipasi masyarakat.

Irfa’i Afham SIP MSi, Pakar Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR), menjelaskan bahwa sejumlah masalah daerah yang tidak kunjung selesai, seperti kemiskinan, ketimpangan pembangunan, hingga maraknya kejahatan sosial, turut menyumbang rasa frustrasi publik. Praktik politik transaksional dan ketidaknetralan aparat juga semakin memperburuk kepercayaan publik.

Menurutnya, Penurunan partisipasi pemilih memiliki dampak yang signifikan terhadap legitimasi pemimpin terpilih serta kualitas demokrasi secara keseluruhan. Jika tidak segera ditangani, hal ini akan memperburuk siklus apatisme politik, melemahkan demokrasi, terutama di tingkat daerah, dan berpotensi menghambat pengambilan kebijakan yang efektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun