Mohon tunggu...
rifda Marma
rifda Marma Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil, pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Pariaman

Seorang yang menyukai ilmu sejarah, senang belajar hal-hal yang baru dan menantang, senang menulis buat katarsis atau menyampaikan informasi untuk saling berbagi, memiliki keingin menjadi manusia yang baik dimata Allah dan makhluknya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hukuman yang Pantas

17 Oktober 2024   10:56 Diperbarui: 17 Oktober 2024   11:43 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku hanya seonggok daging tua yang tiada artinya, renta, ringkih, tak ada yang bisa kulakukan selain hanya menunggu mati saja. Lihatlah, daun yang baru jatuh pun, enggan menimpa badanku, yang lemah ini. Sengaja menghindar, menjauh sejauh mungkin, seolah mengepakkan sayapnya ketika diterbangkan angin, dan menoleh melihatku seraya menjulurkan lidahnya, dan mendarat tepat di rumput segar lagi hijau. "Kau hanya memikirkan dirimu saja pak tua, ini akibat ulahmu sewaktu masih muda" kucing orange yang dari tapi paham isi hatiku, tapi tak berupaya menghiburku. Cara duduknya saja sangat menyinggung diriku, dia membelakangi kursi rodaku, yang diparkirkan di bawah pohon belimbing rindang, dimana setiap hari anakku menjemurku, agar dapat cahaya mata hari dan papa semakin kuat katanya.

Tapi kemana dia, kenapa tidak mau menemaniku, duduk disampingku, bicara tentang daun kuning yang jatuh mengejekku. Atau setidaknya ditangkapnya daun itu agar aku dapat menghancurkannya dengan mudah.  

"Kau bicara anak pak tua? Menanyakan kemana dia selama ini, bukankah kau yang harus ditanya kemana selama masih mereka kecil, dan kalian suami istri yang masih muda, mengejar impian?" Lagi-lagi kucing orange itu bertanya pada ku, dengan  yang masih posisi membelakangiku, pandangan matanya sinis,  melihatku hanya dari satu sudut saja, tidak adakah keinginannya, untuk berbicara secara sopan setidaknya berhadap-hadapan. 

"Kucing sialan jawabku, tatap mataku jika kamu ingin berbicara pada orang" aku memaki nya, tapi dia tidak peduli, menoleh padaku sekali, kemudian  menggoyangkan ekornya, dan tertawa. "Dasar kucing sialan, andai saja aku bisa mengambil ranting di tanah itu, aku akan memukulmu" maki ku padanya. Kucing itu bergeming dan melihat padaku hanya dari sudut mata saja, itu sudah mengejekku.

Di kursi roda ini, aku hanya bisa mengenang masa dahulu, aku yang gagah dan perlente, direktur  perusahaan nasional. Semua yang memiliki kepentingan  pasti mendekat padaku, rela menunggu ku berlama-lama di rumah, mengirimi hadiah yang mahal, atau sengaja membawa buah tangan, dengan harga yang tak biasa, asal tercapai tujuan mereka. Sekarang dimana mereka? Kemana hilangnya orang-orang yang pernah dekat dengan ku. Bahkan ditelpon pun ada yang menolak atau sengaja tidak diangkat, dihubungi lewat chatting whatsapp pun mereka hanya membaca saja. Kemana mereka yang dulunya selalu membuat aku senang, mengeluarkan leluconnya untuk membuat aku tertawa, kemana mereka, sungguh aku kangen mereka. Tidak ingatkah mereka dengan kebaikanku, rumah ini sudah seperti apotek dua puluh empat jam bagi mereka, dan kami melayaninya dengan senang hati, tentu dengan imbalan pula.

"Mereka hanya orang-orang sialan, mendekatimu hanya untuk kepentinganmu, tak ubahnya seperti dirimu, yang oportunis, maruk, serakah, untuk apa lagi kamu baginya." Kata kucing orange itu padaku. "Yah, aku dan mereka sama orang-orang sialan yang kemaruk" lirih ku, sontak saja kucing itu menguap, berdiri menggeliat dan berjalan kemudian duduk dihadapanku, padangan matanya tidak lagi sinis seperti yang sudah-sudah.

Istriku seorang juga seorang wanita karier yang super sibuk, karena aku dia bisa mendapatkan jabatan eselon II, kami bekerja sama, dalam menyusun  undang-undang dan peraturan. Asalkan ada kepentingan perusahaanku, aku adukan padanya, dan segalanya bisa diatur. Tapi kini semenjak aku mulai sakit-sakitan, akibat dikhianati jantungku, membubuhinya penyakit koroner, ditambah stroke sedang, aku hanya bisa duduk dengan bantuan kursi roda, dan dilayani oleh anak-anakku yang seperti tidak ikhlas mengurusku. Akulah yang bersalah pada mereka, yang tidak memberikan contoh teladan, dan tidak pernah bermain seperti ayah-ayah lain, apalagi mengantarkan mereka sekolah, aku gengsi, aku hanya menyuruh supir saja.

Mendadak sekali bapak walikota mengumumkan promosi dan demosi jabatan hari ini, aku sudah menduga, kalau istriku di non jobkan, dan digantikan oleh orang, yang tak lain adalah teman dekatnya ketika aku masih menjabat seorang direktur. Dia sering ke rumah, bahkan laptop yang dipakai anakku adalah pemberiannya. Tapi kini, sejak aku duduk di kursi pesakitan ini, sekalipun tidak pernah dia menampakkan batang hidungnya ke rumahku, menjengukku pun haram katam dilakukannya.

Aku paham itu, tapi tidak dengan istriku, dia histeris di depan ku, didepan kucing orange itu. "Pak aku tak rela dia mengambil kursi kepala dinas ku, orang yang dulu sering merengek ke kita pak, dia mencurinya dariku. Aku berusaha menenangkan dirinya, juga berdamai dengan kenyataan ini, andai aku masih sehat, pasti tidak pensiun dini, dan kepala dinas baru sialan itu pasti akan merengek padaku. Istriku yang malang tetap saja meraung padaku "apa yang diberikan kota ini pada kita, kita sudah mengabdi, membangun, mengangkatnya dari lumpur, menjadi ibu kota yang modern" raungnya, bahkan tisu di tangan pun sudah kuyup dan banyak berserakan di tanah akibat ingus dan air mata.

Kucing orange sialan itu datang lagi di tengah kecamuk yang melanda istriku, dia mendekatiku, dengan tatapan sinis seperti biasanya dan berbicara padaku.

" Itulah beda politikus dengan negarawan pak, politikus, memikirkan apa yang akan diambilnya dari negara, sedangkan negarawan memikirkan apa yang akan diberikannya untuk negara". 

"Istriku hanya Pegawai Negeri Sipil kucing sialan" tegas ku kepadanya, "apa? Walaupun PNS dia menjadi kepala dinas dengan berpolitik kan? Apa bedanya?" Lagi-lagi kucingi ini menjatuhkan harga diriku dengan ucapannya, belum puas dia mengejek ku, dia datang ke sudut kursi tempat duduk istriku lalu pipis di ujung kaki kursi itu. "Ini yang patut kuberikan pada kalian" katanya sambil berlalu, berjalan keluar pekarangan karena sudah ditunggu betina putih.

Aku pun tidak tahu harus bagaimana lagi, dengan kejadian yang bertubi-tubi ini menimpa keluargaku, bagaimana dengan tagihan dan hutang-hutangku, siapa yang akan membayar. Ditambah lagi biaya sekolah anak-anak yang semakin mahal, sebentar lagi mereka akan duduk dibangku kuliah, apa kah harus ku jual aset yang telah lama aku kumpulkan ini.

Pagi ini aku duduk lagi dibawah pohon seperti biasa, berjemur dibawah sinar matahari pagi yang cerah, dibawah langit yang biru  bersih, kucing itu juga masih membelakangiku, posisi aman pikirku. Aku siap dengan aksiku, merogoh cutter kecil di saku celana yang telah kusiapkan, perlahan kudorong pisau itu dari sarangnya. Dengan gemetar aku dekatkan pisau cutter itu ke nadi ku, secepat kilat kucing itu menyeringai, mengeong dengan suara amarahnya. Gangguan suara kucing itu membuat orang-orang yang ada dalam rumah keluar berhamburan. Dilihatnya pisau yang berlumuran darah jatuh dari pangkuan ku, kucing itu menatap satu-satu persatu dari kami dengan amarah dan kejijikan. "Untung hanya luka ringan dibagian luar, kalau tidak papa pasti tidak terselamatkan, dan kucing orange itu ribut, ketika papa melukai dirinya" ujar putra sulungku, pada mama.

Kucing itu menyelamatkan nyawaku, dia marah dengan kelakuanku, dalam erangannya dia berkata, "kau bukan seonggok daging, lihat lah, yang lumpuh hanya badanmu, pikiranmu bersih, ingatan mu jernih, tak ada kah rasa bertuhan sedikitpun di hatimu? Taubatlah, ajak anak dan istrimu, kembali kejalan-Nya, harta tidak ada gunanya, bayar hutang, lunasi tagihan, jangan lupa hutang pada anak-anakmu dulu." Mana ada aku berhutang pada anak-anakku, jawabku sedikit kesal, "hutang pengasuhan, ini akibatnya, kalau kau meninggalkan masa kecilnya" Aku tertunduk lesu dengan kenangan yang pahit dan akhirnya aku harus mengalah, "kau benar kucing orange" kataku disela tangisku.

Kini kami hidup lebih sederhana, kami pindah kerumah yang lebih kecil, tapi harus dekat dengan masjid, agar aktivitas agama yang ada bisa kami ikuti, dan kucing orange itu selalu menemaniku, ke masjid. Dia dengan setia menunggu, duduk di teras, atau masuk ke dalam mendengarkan ceramah wirid mingguan sampai ustadz pun mengenalnya, atau, kucing orange itu yang mengenalkanku dengan pak ustadz. Dan anak-anakku, sekarang ini, aku ajak mereka yang awalnya menolak untuk pindah rumah, dan mengurangi belanja yang tidak perlu, kusuruh membantu ibunya di dapur dan membereskan rumah, aku pun ikut juga melakukan pekerjaan rumah tangga. Awalnya memang sulit, tapi lama kelamaan mereka terbiasa dan bersyukur dengan kejadian ini. Penyakit yang kuderita, dan non jobnya istriku sebenarnya adalah hadiah dari Allah SWT. Kini wonder woman tidak lagi menangis, dia telah berubah menjadi sosok istri yang kodrati, dan shaleha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun