Mohon tunggu...
rifda Marma
rifda Marma Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil, pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Pariaman

Seorang yang menyukai ilmu sejarah, senang belajar hal-hal yang baru dan menantang, senang menulis buat katarsis atau menyampaikan informasi untuk saling berbagi, memiliki keingin menjadi manusia yang baik dimata Allah dan makhluknya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hukuman yang Pantas

17 Oktober 2024   10:56 Diperbarui: 17 Oktober 2024   11:43 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Istriku hanya Pegawai Negeri Sipil kucing sialan" tegas ku kepadanya, "apa? Walaupun PNS dia menjadi kepala dinas dengan berpolitik kan? Apa bedanya?" Lagi-lagi kucingi ini menjatuhkan harga diriku dengan ucapannya, belum puas dia mengejek ku, dia datang ke sudut kursi tempat duduk istriku lalu pipis di ujung kaki kursi itu. "Ini yang patut kuberikan pada kalian" katanya sambil berlalu, berjalan keluar pekarangan karena sudah ditunggu betina putih.

Aku pun tidak tahu harus bagaimana lagi, dengan kejadian yang bertubi-tubi ini menimpa keluargaku, bagaimana dengan tagihan dan hutang-hutangku, siapa yang akan membayar. Ditambah lagi biaya sekolah anak-anak yang semakin mahal, sebentar lagi mereka akan duduk dibangku kuliah, apa kah harus ku jual aset yang telah lama aku kumpulkan ini.

Pagi ini aku duduk lagi dibawah pohon seperti biasa, berjemur dibawah sinar matahari pagi yang cerah, dibawah langit yang biru  bersih, kucing itu juga masih membelakangiku, posisi aman pikirku. Aku siap dengan aksiku, merogoh cutter kecil di saku celana yang telah kusiapkan, perlahan kudorong pisau itu dari sarangnya. Dengan gemetar aku dekatkan pisau cutter itu ke nadi ku, secepat kilat kucing itu menyeringai, mengeong dengan suara amarahnya. Gangguan suara kucing itu membuat orang-orang yang ada dalam rumah keluar berhamburan. Dilihatnya pisau yang berlumuran darah jatuh dari pangkuan ku, kucing itu menatap satu-satu persatu dari kami dengan amarah dan kejijikan. "Untung hanya luka ringan dibagian luar, kalau tidak papa pasti tidak terselamatkan, dan kucing orange itu ribut, ketika papa melukai dirinya" ujar putra sulungku, pada mama.

Kucing itu menyelamatkan nyawaku, dia marah dengan kelakuanku, dalam erangannya dia berkata, "kau bukan seonggok daging, lihat lah, yang lumpuh hanya badanmu, pikiranmu bersih, ingatan mu jernih, tak ada kah rasa bertuhan sedikitpun di hatimu? Taubatlah, ajak anak dan istrimu, kembali kejalan-Nya, harta tidak ada gunanya, bayar hutang, lunasi tagihan, jangan lupa hutang pada anak-anakmu dulu." Mana ada aku berhutang pada anak-anakku, jawabku sedikit kesal, "hutang pengasuhan, ini akibatnya, kalau kau meninggalkan masa kecilnya" Aku tertunduk lesu dengan kenangan yang pahit dan akhirnya aku harus mengalah, "kau benar kucing orange" kataku disela tangisku.

Kini kami hidup lebih sederhana, kami pindah kerumah yang lebih kecil, tapi harus dekat dengan masjid, agar aktivitas agama yang ada bisa kami ikuti, dan kucing orange itu selalu menemaniku, ke masjid. Dia dengan setia menunggu, duduk di teras, atau masuk ke dalam mendengarkan ceramah wirid mingguan sampai ustadz pun mengenalnya, atau, kucing orange itu yang mengenalkanku dengan pak ustadz. Dan anak-anakku, sekarang ini, aku ajak mereka yang awalnya menolak untuk pindah rumah, dan mengurangi belanja yang tidak perlu, kusuruh membantu ibunya di dapur dan membereskan rumah, aku pun ikut juga melakukan pekerjaan rumah tangga. Awalnya memang sulit, tapi lama kelamaan mereka terbiasa dan bersyukur dengan kejadian ini. Penyakit yang kuderita, dan non jobnya istriku sebenarnya adalah hadiah dari Allah SWT. Kini wonder woman tidak lagi menangis, dia telah berubah menjadi sosok istri yang kodrati, dan shaleha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun