“Nisa, nenek Lastri meninggal”, ujar bunda pada Nisa, setelah selesai melaksanakan shalat dan berbuka puasa. “Oh Innalillahi Wa Innailaihi Raji’uun,” jawab Nisa menatap bundanya. “Bagaimana cara kita akan melayat kesana?” Tanya bunda. “Entahlah bun, belum tahu, Nisa Tanya dulu sama papanya Syauqi,” jawab Nisa, kalau dia akan mendiskusikannya bersama suaminya. Pas mau menuju ruangan tamu, ayah juga bertanya hal yang sama pada nisa, dan belum bisa dijawab karena suaminya belum pulang dari shalat tareweh dan tadarusnya. “pa nenek Lastri meninggal, barusan pa, habis berbuka, tadi bunda yang ngabarin,” ujar nisa pada suaminya, ingatkan papa, yang ito lo rumahnya dibelakang swalayan Budiman, Nisa melanjutkan penjelasannya. “Iya papa ingat, jawab suami nisa sambil meminum air putih. “Trus bagaimana kita akan melayat kesana, kan lumayan jauh dari Bukittinggi kepadang di bulan puasa begini”, tanya Nisa yang sebenarnya enggan dengan permintaan bunda tadi.
Nisa dan Suami pernah, berkunjung kerumah nenek Lastri, tapi peneriamaannya yang acuh-tak acuh sebagai tamu, merasa dirinya tidak dihargai, padahal nenek Lastri lah yang menawarkan dan bertanya kapan kalian akan main ke Air Tawar, dan menyuruhnya jalan-jalan lah kesana, dan kunjungi nenek yang sudah tua ini, kapan lagi kalian akan pergi kerumah nenek. Mendengar kata berbunyi ajakan tersebut Nisa dan suaminya langsung mengabulkan, dihari kedua lebaran. Sesampainya di rumah malah, dianggap kehadiran mereka tidak ada, alias seperti lalat saja diruang tamunya. Basa-basi yang seperti ini yang membuat mereka tidak berhastrat lagi untuk menyambung hubungan tali silaturrahmi, mereka kecewa, dan tidak ingin pergi melayat.
Baru saja keluar dari kamar, ayah langsung bertanya lagi, apakah jadi pergi kepadang atau tidak, Nisa langsung menjawab, kalau dia dan suami tidak bisa pergi. Seketika itu juga wajah ayah Nisa langsung berubah, Ayah adalah orang yang memiliki rasa kepedulian dan kebersamaan yang tinggi. Ayah selalu senang dan bersedia dengan segala aktivitas diluar rumah, apakah itu rapat organisasi, menjenguk orang sakit, melayat, kemanapun, ayah dan bunda gak pernah absen. Tapi kali ini ayah menunjukan wajah kecewanya, Nisa beralasan tidak bisa ikut, karena suaminya telah ada janji dengan para pelanggan, untuk mengantarkanya besok pagi, dan Nisa lebih memilih supaya suaminya pergi berdagang saja karena isi dompetnya semakin menipis, dan memerlukan biaya tambahan untuk persiapan lebaran, dan jajan anak-anaknya yang lagi belajar puasa.
Guratan kekecewaan ayah, begitu juga dengan bunda, karena tidak jadi melayat kepadang bersama-sama, berlanjut sampai pagi. Kenapa ayah gigih ingin ikut kita pergi kesana, padahal ayah lagi menderita penyakit stroke, dan tidak kuat untuk melakukan perjalanan jauh, bagaimana nanti kalau lokasi parkir jauh dari rumah duka, berjalan saja sangat lambat dan susah melangkah, kalau diusahakan membawa kursi roda, kapasitas mobil Daihatsu xenia tak cukup ruang untuk menempatkan kursi roda itu didalam mobil, karena tidak mungkin meninggalkan anak-anak yang masih kecil, jadi otomatis harus dibawa. Belum lagi kalau ayah mau kekamar kecil, atau sakit perut, tentu tidak mungkin dilakukan disana karena, rumah tempat semayam orang yang meninggal pasti ramai dan sesak oleh keuarga besar.
Melihat kejadian itu, Nisa merasa dalam dilema, hatinya tidak enak, tapi mau bagaimana lagi, sekarang bulan Ramadan, cuaca lagi panas-panasnya, anak-anak lagi belajar puasa, jarak dari Bukittingi ke Padang lumayan jauh, gak bisa diburu-buru, apalagi kalau berangkat pas sahur, yang bisa menyetir mobil hanya suami Nisa seorang diri saja. Nisa berfikir mengapa ayah dan bunda tidak menunjuk perwakilan saja, sebagai utusan dari rumah gadangnya, padahal dengan begitu bisa lebih ringkas dan tidak terlalu repot dalam perjalanan sampai di lokasi rumah duka. Padahal kalau mau turun dari mobil saja ayah sudah susah payah untuk turun, berjalan juga susah untuk melangkahkan kakinya. Dan selalu ada keluhan kalau dia gak kuat, atau sakit dibagian paha, betis, pinggang, pokoknya dimana bagian badan yang memerlukan kekuatan untuk berjalan sakit semuanya. Tapi ayah tetaplah ayah, semangatnya ketika masih muda, dan kuat tetap menempel dalam dirinya, begitu juga dengan bunda. Mereka tidak pernah jera, jika ada kemungkinan untuk keluar rumah, selalu tumbuh semangatnya untuk berjalan-jalan, dan naik mobil.
Nisa tidak bisa lagi bertoleransi dengan kemauan ayah dan bunda, dia terlalu capek menuruti kemauan dan keinginan mereka, dia merasa seorang diri saja melakukan tugas-tugas dirumah selama ini walaupun dibantu oleh suami, dia juga butuh istrirahat dari tututan ayah dan buda yang berkemauan keras. Ditengah perasaan yang tidak enak hati, galau, takut dikatakan durhaka, anak tak berbakti, tidak tahu balas budi, Nisa bertekat untuk tega. Bagaimanapun suaminya harus mengatarkan barang dagangan pada pelanggan hari itu juga, uang didompetnya hanya tersisa Rp. 150.000,- saja. Mau tidak mau harus ditambah, soal ayah dan bunda biarlah urusan nanti.
Benar saja, Bunda dengan percaya diri berangkat sendirian ke Padang, tanpa ditemani oleh siapa pun, Nisa tambah galau, bahkan adiknya yang nota bene kesayangan bunda, acuh saja, dengan keberangkatan bunda. Padahal dialah yang paling pas untuk menemani bunda pergi karena belum bekerluarga, hubungannya sangat akrab dan manja dengan ayah dan bunda. Saking sayangnya bunda tak mau mengajaknya dengan alasan terlalu jauh jarak antara Bukittinggi dan Padang, takut nanti adik demam dengan perjalanan yang jauh, Masya Allah, ayah dan bunda sudah kelewatan dan sudah tidak adil. “Sa berikan uang sama bunda mu Rp. 50.000,- menyumbang dong, kan kita gak ikut,” ujar ayah pada nisa, ketika bunda akan berangkat dengan nada kesal dan wajah marah yang tertahan dalam hati ayah. Nisa tidak bisa mengelak dan mengambil uang yang tersisa didompetnya, langsung memberikannya pada bunda.
Sang suami hanya mampu memandang wajah sedih istrinya, tapi Nisa memberi semangat pada suami dengan berkelakar, agar cepat berangkat, biar cepat dapat uang dari pelanggan, dan semua yang terjadi pagi ini, jangan diambil hati. Tapi suami Nisa hanya diam memandangi wajah istrinya, dan merasa bersalah, seharusnya mereka menuruti keinginan ayah dan bunda, tidak dengan nisa, dia bersikukuh untuk tetap dirumah, atau dia dan keluarga kecilnya saja yang pergi, sebagai perwakilan, biar perjalanan bisa lebih ringkas dan pulang lebih awal.
Sembari bunda bersiap-siap, ayah selalu mengoceh, dan meluapkan kekesalannya, menyindir mereka sebagai anak yang tak tahu berbalas budi, mengungkit kebaikan yang pernah dilakukan nenek Lastri, sewaktu prosesi pernikahan mereka. “Bundamu takut mengajak Sofie, takut dia kenapa-kenapa, atau demam, dengan perjalanan ini. Nisa hanya diam saja menerima ocehan ayah. Ayah yang sudah tua, mungkin tidak jernih lagi untuk berfikir, kekurangan hormone endotrin menyebabkan lansia cenderung berperilaku egois seperti anak kecil, Nisa belajar memahami itu. Selama ayah menderita stroke, Nisa dan suamilah yang menemani ayah berobat, obat alternatif dengan cara dipijat ketukang pijat, atau kedokter sekalian, tidak pernah ditemani adiknya Sofie. Bahkan pulang pun tidak ada makanan, untuk dimakan, padahal seharian Sofie dirumah, keadaan rumah pun tidak ada bedanya ketika pergi dengan ketika mereka datang, berantakan, dan tidak ada keinginan untuk merapikan rumah. Sofie benar-benar pemalas, pintarnya di akademi saja ,menjilat, tapi bisa menghibur ayah dan bunda agar tertawa ceria, sesekali menghembusankan husutan liciknya pada ayah dan bunda agar mereka menjauhi, dan marah Nisa dan keluarganya.
Bukan hanya alasan uang yang tersisa Rp. 150.000,- saja dan sudah di ambil sama bunda Rp. 50.000,- untuk sumbangan melayat. Tapi yang mengganjal selama ini di hati nisa, kemanapun ayah berobat, harus selalu diantar oleh suami dan Nisa, dan anak-anakpun tidak bisa ditinggalkan. Pulang larut malam, berdagang yang seharusnya dilakukan esok hari, tidak bisa dilakukan karena kecapekan. Keuntungan dari berdagang yang disetor kepada Nisa habis buat makan di perjalanan, selama proses pengobatan, tidak ada yang tersisa buat tabungan. Dirumah telah menunggu segudang pekerjaan, yang menumpuk untuk dikerjakan, Sofie selalu tinggal dirumah, dan tak akan membantu meringankannya. Tapi bagi ayah dan bunda, nisa sama sekali tidak ada artinya, setelah keinginan mereka terkabul, mereka seolah tak menganggap ada anak dan menantunya dirumah, dengan perlakukan seperti itu Nisa sudah sampai pada titik dimana dia merasa jenuh dan apatis.
Mungkin inilah ujian Nisa, Ikhlas itu tidak menyebut kata ikhlas, beribadah itu punya kendala dan tantangan, jika sanggup melaluinya, sudah tentu syurga balasannya. Nisa sedang berada pada posisi itu, sedang meraih syurga karena baktinya kepada ayah dan ibunya. Berbakti adalah perintah yang Maha Kuasa, tanda bertaqwa adalah berbakti kepada orang tua, tanda ikhlas hanya mengharap pahala dari Allah, tidak ada tapi-tapian untuk Nisa, bagaimana pun ayah dan bunda membalas baktinya, Nisa harus sadar, segala pengorbanan dan bakti itu urusannya sama Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang beramal shaleh, begitu Nisa menyemangati dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H