RESENSI BUKU
Identitas buku
Judul : ADAM HAWA
Pengarang : MUHIDIN M. DAHLAN
Penerbit : ScriPtaManent
Tebal buku : 166 HALAMAN
Cetakan : CETAKAN KETIGA, JULI 2017
Selayang PandangÂ
Adam Hawa termasuk dalam genre fiksi yang menceritakan kisah pertemuan Adam Hawa beserta problematika yang mengikuti. Muhidin atau Gus Muh, memberi sentuhan drama dengan meromantisasi cerita legendaris itu. Terdiri dari 6 bab dengan judul bab yang hemat.
Saran saya, jangan berekspektasi apapun pada buku ini. Mbleset. Judul sederhana nan sarat nuansa religi ini, ternyata tidak menyajikan cerita Adam & Hawa yang kita kenal pada pelajaran agama islam. Muhidin memberi tanjakan, kelokan, gangguan hingga tabrakan cerita di dalamnya.
Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan memang diramu dari beragam sudut pandang. Setidaknya ada tiga sumber inspirasi yang ia letakkan di pembuka buku. Genesis kitab peristiwa yang merupakan kitab pertama dari Alkitab dan kitab Taurat Musa atau Tanakh, Al-Quran dan buku Menulis Dalam Air karya H. Rosihan Anwar.
Dari keragaman itu, lahirlah nama-nama tokoh yang asing terdengar seperti Maia, Idris, Munah dan Marfuah (dalam perspektif muslim). Muhidin bahkan menobatkan Maia sebagai tokoh antagonis dalam ceritanya. Maia bahkan mendapat porsi terbesar dalam cerita melebihi Adam dan Hawa.
Buku ini dalam hemat saya, dikemas dengan nuansa feminisme. Maia dan Hawa diceritakan sebagai dua perempuan berbeda dalam kehidupan Adam. Maia adalah gambaran ketangguhan, keberanian dan kekuatan. Sedangkan Hawa adalah perempuan penurut, setia dan pelayan cermat bagi Adam.
Gus Muh menggambarkan keduanya berdampak besar bagi laki-laki di sekitarnya, meskipun dengan kepribadian berbeda. Maia dengan keberanian mampu meningkatkan kewaspadaan Adam dan Hawa dengan ketabahan dapat meredam emosi Adam. Ini sekaligus meneguhkan bahwa perempuan dapat berperan besar dengan karakternya masing-masing.
Kelebihan & Kekurangan
Adam Hawa memiliki kelebihan pada plot cerita yang kompleks dan rapi. Gus Muh membuat latar cerita yang kokoh. Cerita yang disajikan juga tidak mudah ditebak sehingga mampu meningkatkan rasa penasaran pembaca.
Gus Muh amat berani menjahit cerita Adam Hawa ini. Ia tak segan menerabas norma-norma di masyarakat. Tanpa gentar ia menempatkan Maia sebagai tokoh sentral pada cerita fenomenal ini. Bahkan seandainya boleh di revisi, Maia bisa menjadi judul dari buku tipis ini.
Bagian yang paling mematikan sekaligus amat membekas pada benak saya adalah bab ketiga. Berjudul Maia dan Idris, berhasil membuat sesak napas dan ngilu yang tak habis-habis. Saya bahkan harus berhenti beberapa kali untuk meredakan kengiluan yang digambarkan sempurna oleh Gus Muh. Mengerikan, sungguh.
Kelebihan selanjutnya adalah meski penulis adalah seorang laki-laki, ia tidak segan menempatkan laki-laki dalam posisi inferior. Gus Muh turut memberi kritik pada kehidupan patriarki dan mengakui hal kurang ajar dari laki-laki. Oleh karena itu, buku ini tidak terasa diskriminatif bagi kaum perempuan.
Adapun kelemahan yang saya temukan dalam buku ini ialah intensitas cerita yang semakin menurun pada bagian akhir. Hal tersebut sangat disayangkan, mengingat Gus Muh mampu membawa gebrakan cerita dari paruh awal buku. Selain itu, penulis juga terlihat tergesa-gesa dalam menuntaskan ending cerita Adam Hawa ini sehingga ada beberapa plot cerita yang kurang optimal.
Kelebihan dan kelemahan buku di atas tentu bersifat subjektif. Anda boleh setuju atau tidak setuju dengan pendapat saya. Terlepas dari penilaian saya, buku ini tetap masuk daftar rekomendasi buku fiksi yang patut dibaca. Namun, perlu saya peringatkan, Anda harus mampu bersikap bijak dalam menikmati cerita liar karya Gus Muh ini. Selamat mencoba!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H